![](https://hidayatullah.or.id/wp-content/uploads/2024/07/hijrah-habit.jpg)
HIJRAH dalam konteks Islam memiliki makna yang mendalam dan luas. Bukan hanya merujuk pada peristiwa historis ketika Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya berpindah dari Makkah ke Madinah, tetapi juga mencerminkan transformasi spiritual dan moral. Sehingga hijrah dapat diartikan sebagai semomentum perubahan diri yang wajib diinternalisasikan dalam kehidupan setiap muslim.
Kata “hijrah” menurut bahasa memiliki dua arti, pertama secara zhahiriy, yaitu perpindahan dari suatu tempat menuju ke tempat yang lebih baik. Yang kedua secara ma’nawiy, yaitu perubahan dari satu kondisi kepada kondisi yang lebih baik. Sedangkan hijrah merupakan akar kata hajara juga memiliki arti meninggalkan/menjauhkan diri.
Al-Quran dan hadits memberikan dasar kuat tentang pentingnya hijrah. Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa (4:100), “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.”
Selain itu, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang Muslim adalah orang yang tidak mengganggu Muslim lainnya dengan lisan dan tangannya, dan seorang muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah” (HR. Bukhari). Kedua dalil tersebut menggarisbawahi bahwa hijrah adalah perintah yang mendalam, mencakup perubahan perilaku dan pola pikir untuk mencapai keridhaan Allah.
Memaknai Hijrah
Berkenaan dengan hijrah ini, Abdullah At Tustary رحمه الله )w. 283H), sebagaimana terdapat dalam kitab Hilyatul Aulya : I/196, berkata :
الْهِجْرَةُ فَرْضٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ؛ مِنَ الْجَهْلِ إِلَى الْعِلْمِ وَمِنَ النِّسْيَانِ إِلَى الذِّكْرِ وَمِنَ الْمَعْصِيَةِ إِلَى الطَّاعَةِ، وَمِنَ الْإِصْرَارِ إِلَى التَّوْبَةِ
“Hijrah itu hukumnya wajib sampai hari kiamat; dari kebodohan menuju ilmu, dari lalai menuju ingat kepada Allah, dari maksiat menuju taat, dan dari biasa berbuat dosa menuju taubat”
Dari pernyataan ini menegaskan bahwa hijrah bukan hanya aktifitas tunggal dan sesaat, melainkan menjelaskan bahwa baganimana urgensi hijrah sebagai pekerjaan multidimendi dan sekaligus sebagai momentum perubahan yang berkelanjutan. Selalanjutnya secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut :
Pertama, Hijrah: Dari Kebodohan Menuju Ilmu, hijrah dari kebodohan menuju ilmu adalah langkah pertama menuju pencerahan intelektual dan spiritual sekaligus. Ilmu merupakan cahaya yang membimbing kita dalam kehidupan. Dalam Surah Al-Mujadila ayat 11, Allah berfirman, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” Pengetahuan agama dan duniawi harus seimbang dan menjadi fokus utama dalam hidup kita, karena dengan ilmu kita dapat memahami ajaran Islam dengan benar dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, Hijrah: Dari Kelalaian Menuju Ingat kepada Allah, kelalaian atau ghaflah adalah kondisi di mana seseorang lupa akan tujuan hidupnya dan jauh dari mengingat Allah. Hijrah dari kelalaian menuju ingat kepada Allah adalah perubahan yang harus terus-menerus dilakukan. Allah berfirman dalam Surah Al-Ahzab ayat 41, “Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” Dzikir menguatkan hati dan jiwa, serta menjaga kita agar selalu berada dalam naungan rahmat Allah. Pada saat yang bersamaan mengingat Allah juga dimaknai bahwa setiap aktifitas yang kita lakukan juga berawal dari nawaitu karena Allah dan bermuara kepada Allah ta’ala.
Ketiga, Hijrah: Dari Maksiat Menuju Ketaatan, meninggalkan maksiat dan beralih kepada ketaatan adalah esensi dari hijrah spiritual. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak adam sering berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi: 2499). Ketaatan adalah manifestasi dari ketaqwaan kepada Allah ta’ala, yang meliputi menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ketaatan ini membawa keberkahan dan ketenangan dalam hidup kita.
Keempat, Hijrah: Dari Dosa Menuju Taubat, taubat adalah langkah hijrah yang sangat fundamental. Allah berfirman dalam Surah Az-Zumar ayat 53, “Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” Taubat adalah pintu kembali kepada Allah, dan ini adalah hijrah yang paling mulia karena menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang telah dilakukan.
Konteks Kontemporer dan Tantangan
Di era modern ini, banyak tantangan yang menguji iman dan komitmen kita kepada ajaran Islam. Fenomena kerusakan moral seperti riba, pinjaman online, judi online, korupsi, kolusi, nepotismi, perbuatan zhalim, tindakan asusila, dan berbagai perbuatan maksiat lainnya merajalela di masyarakat. Kondisi ini menuntut kita untuk melakukan hijrah dalam arti yang lebih luas dan mendalam.
Sehingga dengan menggunakan kerangka dari Abdullah At Tustary رحمه الله, maka tahapan Hijrah menuju sistem Islami sebagai momentum perubahan dapat dirumuskan, sebagai berikut :
Pertama, hijrah dari kebodohan menuju ilmu: Melalui pendidikan yang baik dan pembelajaran agama yang mendalam dan komprehensip. Dalam hal ini menyedikan fasilitas pendidikan baik infrastuktur hingga sistemya, juga memperbanyak majelis-majelis ilmu dalam rangka untuk membesarkan nama Allah ta’ala, dan mengimplemtasikannya dalam semua kehidupan kehidupan untuk membangun peradaban Islam.
Kedua, hijrah dari kelalaian menuju ingat kepada Allah: manusia adalah tempatnya salah dan lupa, sehingga dengan menyadarinya, maka tidak ada cara lain selain dengan memperbanyak dzikir, shalat, dan ibadah lainnya. Selain itu, juga berusaha mendekat dengan orang-orang sholeh melalui halaqah, majelis taklim dan lain sebagainnya.
Ketiga, hijrah dari maksiat menuju ketaatan: saat ini fasilitas, sarana dan kesempatan untuk maksiat sngat bebas untuk diakses siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Oleh karenanya, setiap kita harus sekuat tenaga untuk menghindari dan meninggalkan perbuatan dosa dan menggantinya dengan amal shaleh melalui berbagai jenis aktifitas yang bermanfaat dan tidak syubhat serta tidak melanggar syari’at.
Keempat, hijrah dari dosa menuju taubat: setiap Bani Adam itu bersalah, dan sebaik-baik orang yg bersalah yaitu bertaubat. Sehingga senantiasa untuk memohon ampunan kepada Allah dan berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Kelima, hijrah dari sistem jahiliyah menuju sistem Islami: kehidupan jahilyah tanpa kita sadari telah berada disekitar kita, jika tidak hati-hati dan waspada, maka kita akan dengan mudah terjerumus didalamnya. Dengan demikian maka salah satu kuncinya adalah mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari individu, keluarga, masyarakat, hingga kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penutup
Tahun baru Hijriyah 1446 Hijriyah, sudah hadir membersamai kita, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menjadikannya sebagai momentum perubahan sekaligus dalam rangka untuk introspeksi dan perbaikan diri. Salah satu kuncinya adalah dengan meninggalkan sistem jahiliyah dan menuju sistem Islami.
Dengan demikian maka, hijrah adalah proses yang berkelanjutan. Kita harus terus berusaha untuk menjadi lebih baik setiap hari. Oleh karenanya patut untuk menjadikan momentum Hijrah ini sebagai awal yang baru untuk melakukan perubahan positif dalam hidup kita. Abdullah At-Tustary رحمه الله mengingatkan kita, yang pernyataan terus relevan hingga saat ini, bahwa hijrah adalah kewajiban yang berlanjut hingga hari kiamat.
*) ASIH SUBAGYO, penulis adalah Ketua Bidang Pembinaan dan Pengembangan Organisasi Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah