
RAMADHAN adalah bulan penuh keberkahan, rahmat, dan ampunan. Di penghujung sepuluh hari terakhir ini, umat Islam diajak untuk semakin mendekat kepada Allah SWT, mencari malam Lailatul Qadr yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Spirit Lailatul Qadr membawa pesan mendalam tentang transformasi, kebangkitan, dan penyucian jiwa—baik secara pribadi maupun kolektif sebagai bangsa.
Dalam konteks Indonesia saat ini, Kabinet Merah Putih yang tepat 6 bulan ini dilantik menjadi simbol harapan baru untuk mengarahkan bangsa menuju keadilan, kemakmuran, dan keberkahan. Momentum Ramadhan, khususnya Lailatul Qadr, dapat menjadi cermin bagi kita untuk merefleksikan upaya kolektif menyucikan jiwa bangsa di tengah berbagai tantangan kebangsaan yang masih membelenggu.
Kabinet Merah Putih, dengan nama yang mengandung makna nasionalisme dan kesucian, hadir di tengah harapan rakyat akan perubahan. Merah melambangkan keberanian dan semangat juang, sementara putih mencerminkan kesucian dan kejujuran. Nama ini seolah menjadi pengingat bahwa kepemimpinan bangsa harus berpijak pada nilai-nilai luhur, sebagaimana spirit Lailatul Qadr menyerukan kita untuk kembali pada fitrah yang suci.
Malam Lailatul Qadr, yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai malam penuh kedamaian hingga terbit fajar (QS. Al-Qadr: 5), adalah waktu di mana malaikat turun membawa rahmat dan keberkahan. Dalam konteks kebangsaan, ini bisa diartikan sebagai seruan untuk membawa perbaikan dalam tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang selama ini tercabik oleh berbagai problem seperti korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), ketimpangan sosial, kemiskinan, supremasi hukum yang rapuh, hingga ketidakadilan yang masih terasa di berbagai lapisan masyarakat.
Tantangan kebangsaan yang kita hadapi hari ini bukanlah hal baru. Korupsi, misalnya, telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan bernegara. Data Transparency International menunjukkan bahwa indeks persepsi korupsi Indonesia masih jauh dari harapan, mencerminkan betapa sulitnya memberantas praktik ini.
Kolusi dan nepotisme turut memperparah situasi, menciptakan lingkaran setan yang hanya menguntungkan segelintir elit, sementara rakyat kecil terus terpinggirkan.
Masih meluasnya ketimpangan sosial dan kemiskinan juga menjadi bukti bahwa keadilan ekonomi belum sepenuhnya tercapai. Di sisi lain, supremasi hukum yang lemah dan ketidakadilan dalam penegakan hukum membuat kepercayaan rakyat terhadap institusi negara kian terkikis.
Di tengah semua itu, Ramadhan hadir sebagai momentum untuk “menyucikan” jiwa bangsa, sebagaimana Lailatul Qadr menjadi puncak penyucian jiwa individu.
Spirit Lailatul Qadr mengajarkan kita tentang kekuatan doa, ikhtiar, dan tawakal. Dalam Al-Qur’an, malam ini adalah waktu di mana segala urusan ditetapkan oleh Allah SWT (QS. Al-Dukhan: 4).
Perbaikan Tatanan Kehidupan Bernegara
Bagi bangsa Indonesia, Lailatul Qadr ini bisa menjadi metafora bahwa di penghujung Ramadhan, kita perlu menetapkan langkah baru untuk memperbaiki tatanan kehidupan bernegara. Kabinet Merah Putih, sebagai representasi kepemimpinan nasional, memiliki tanggung jawab besar untuk mewujudkan visi tersebut.
Penyucian jiwa bangsa tidak akan tercapai hanya dengan retorika, tetapi melalui aksi nyata: memberantas korupsi dengan tegas, memutus rantai kolusi dan nepotisme, menegakkan hukum secara adil, serta mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan sosial dengan kebijakan yang berpihak kepada rakyat.
Ramadhan adalah bulan refleksi dan perbaikan. Puasa yang kita jalani bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga melatih kesabaran, empati, dan kepekaan sosial. Ketika seorang pemimpin atau anggota Kabinet Merah Putih menjalani Ramadhan dengan penuh kesadaran, ia akan memahami penderitaan rakyat yang kelaparan, yang tidak memiliki akses terhadap kebutuhan dasar, atau yang terzalimi oleh ketidakadilan.
Spirit ini selaras dengan pesan dalam Lailatul Qadr: kembali kepada Allah SWT dengan hati yang bersih, meninggalkan segala bentuk kezaliman, dan berkomitmen untuk membawa kebaikan bagi sesama. Jika setiap elemen bangsa—dari pemimpin hingga rakyat—menjadikan Ramadhan sebagai titik balik untuk memperbaiki diri, maka penyucian jiwa bangsa bukan lagi utopia, melainkan sebuah keniscayaan.
Namun, “penyucian jiwa bangsa” tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah atau Kabinet Merah Putih semata. Rakyat juga memiliki peran penting. Lailatul Qadr mengajarkan kita untuk aktif berikhtiar, bukan pasif menunggu keajaiban.
Dalam konteks kebangsaan, ini berarti rakyat harus turut mengawasi, mengkritik, dan mendukung kebijakan yang membawa keadilan. Melawan korupsi, misalnya, tidak hanya tugas penegak hukum, tetapi juga tanggung jawab kolektif untuk menolak budaya suap dan menanamkan integritas dalam kehidupan sehari-hari.
Begitu pula dengan ketimpangan sosial: solidaritas rakyat dalam membantu sesama, terutama di bulan Ramadhan, adalah wujud nyata dari spirit Lailatul Qadr yang penuh rahmat.
Di penghujung Ramadhan ini, mari kita jadikan Kabinet Merah Putih sebagai simbol harapan yang tidak hanya berhenti pada nama, tetapi terwujud dalam tindakan. Sebagaimana Lailatul Qadr membawa kedamaian hingga fajar menyingsing, semoga kepemimpinan baru ini mampu membawa “fajar” kebangsaan yang lebih cerah. Sebuah tatanan negara di mana korupsi diberantas, hukum ditegakkan, dan keadilan sosial menjadi nafas kehidupan.
Penyucian jiwa bangsa adalah perjalanan panjang, tetapi Ramadhan memberi kita kekuatan spiritual untuk memulainya. Dengan ikhtiar bersama antara pemimpin dan rakyat, didasari niat tulus untuk kebaikan, kita bisa mengatasi tantangan kebangsaan yang ada.
Kita panjatkan doa agar Ramadhan kali ini benar-benar mengantarkan Indonesia menjadi negeri yang berkah, adil, makmur, dan sentosa. Sebagaimana janji Allah SWT dalam Al-Qur’an, “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” (QS. Saba’: 15)—sebuah negeri yang baik lagi indah dengan Tuhan yang Maha Pengampun—semoga cita-cita itu tercapai.
Dan kepada kita semua, Ramadhan ini adalah panggilan untuk menyucikan hati, memperbaiki diri, dan bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik. Selamat menjemput Lailatul Qadr, semoga rahmat dan ampunan Allah SWT senantiasa menyertai langkah kita menuju negeri yang diridhai-Nya.
*) Suhardi Sukiman, penulis Sekretaris Dewan Pengurus Wilayah Hidayatullah Daerah Khusus Jakarta, Pembina Pondok Pesantren Tahfidz Global Jayakarta Ciracas