
BULAN Ramadhan malam 1446 itu terasa lebih hangat dari biasanya. Seusai sholat tarawih di Masjid Ummul Quraa Pondok Pesantren Hidayatullah Depok, aku duduk santai bersama Faishal Daariy, sahabat masa kecilku sejak PAUD di Hidayatullah Bima.
Kami mengobrol soal kenangan kami di Bima, tanah kelahiran jiwa kami, tempat kami pertama kali belajar mengenal dunia. Obrolan itu membuka kembali lembaran-lembaran masa kecil yang selama ini hanya tinggal dalam ingatan.
Setelah perbincangan itu, hatiku terasa bergejolak. Rindu. Dalam diam aku bertanya, “Kapan ya bisa ke sana lagi?” Sudah tujuh tahun aku tak menginjakkan kaki di tanah Mbojo. Tapi entah mengapa, malam itu, rasa rinduku jauh lebih kuat. Seolah ada panggilan untuk pulang, untuk kembali.
Waktu terus berjalan. Saat daurah Al-Qur’an pada bulan April, Bima tetap saja tak pergi dari pikiranku. Aku mulai berdoa lebih sungguh-sungguh.
“Ya Allah, Vano pengen ke Bima lagi. Pengen ketemu teman dan guru-guru lama. Ya Allah, kabulkan…”
Doa itu menjadi rutinitasku setelah setiap sholat fardhu. Sampai suatu hari, kedua orang tuaku datang menjengukku. Dengan penuh harap, aku sampaikan keinginan itu. Alhamdulillah, mereka mengizinkan. Katanya, “Anggap saja ini sebagai menyambung silaturrahim keluarga juga.”
26 Juni 2025 menjadi hari yang tak terlupa. Aku berangkat dari Depok, ke Bandara Internasional Soekarno Hatta Jakarta, lalu terbang ke Bima. Sendiri. Menempuh lebih dari 1.200 km, dengan total waktu perjalanan sekitar tujuh jam.
Ketika akhirnya kakiku menapak tanah kelahiran itu, air mata hampir jatuh. Aku tak menyangka. Aku benar-benar kembali.
Selama empat hari di Bima, waktuku padat. Aku tahu, kunjungan ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Aku kunjungi kembali sekolah masa kecilku — Hidayatullah Bima.
Tempat ini menyimpan banyak cerita. Dulu, hanya ada masjid, TK, dan SD. Tapi setelah banjir bandang 2018 menghancurkan masjid, banyak perubahan terjadi.


Kini, SMP Hidayatullah pun telah hadir. Gedung baru berdiri di belakang lapangan. Masjid baru mulai dibangun. Semua itu membuktikan bahwa waktu memang mengubah segalanya, tapi semangat tetap hidup.
Yang paling berkesan adalah pertemuanku dengan Pak Pri dan Bu Sri — dua sosok guru yang amat aku hormati.
Di rumah sederhana mereka, kami mengenang masa lalu, membahas kondisi sekarang, dan menyisipkan doa-doa untuk masa depan.
Pak Pri berkata padaku, “Tali silaturrahim itu harus dijaga, Mas Vano. Pokoknya nggak boleh putus, apa pun keadaannya. Dan Mas Vano sudah melakukan itu.”
Kami juga berbincang tentang perjalananku sekarang: mondok di Hidayatullah Depok, menulis artikel di website Hidayatullah.or.id, hingga fotoku yang muncul di Republika, Antara, dan Detik.
Pak Pri tersenyum bangga, “Bima berhasil mencetak murid-murid hebat. Bahkan ada yang sampai ke Dubai dan Mesir.” Masya Allah.
Empat hari berlalu sangat cepat. Tapi dalam waktu yang singkat itu, aku mendapatkan banyak pelajaran: bahwa rindu tak harus disimpan, ia harus diperjuangkan. Bahwa silaturrahim adalah kekuatan, bukan sekadar kunjungan.
Saat pesawatku lepas landas meninggalkan Bima, aku merasa sedang membawa satu pesan, bahwa waktu adalah anugerah yang tak bisa diputar.
Maka, selagi ada kesempatan, temui orang-orang yang pernah mewarnai hidupmu. Sampaikan terima kasih. Peluk masa lalu. Dan doakan masa depan.
Karena mengenang itu seperti memutar waktu, meski hanya dalam hati.[]
*) Mercyvano Ihsan, penulis santri kelas X MA dan peserta kelompok Program Lifeskill Jurnalistik Sekolah Integral Hidayatullah Depok






