
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, KH. Naspi Arsyad, Lc., menyampaikan arahan strategis dalam rangkaian Musyawarah Nasional (Munas) VI Muslimat Hidayatullah (Mushida) yang digelar di Hotel Grand Dafam Ancol, Jakarta, Kamis, 6 Jumadil Akhir 1447 (27/11/2025).
Dalam arahannya, KH. Naspi menegaskan bahwa pembangunan peradaban Islam bukan lagi sekadar wacana ideal, melainkan kerja kolektif yang harus dirancang secara sistematis, terukur, dan berlandaskan pada nilai-nilai fundamental Al-Qur’an dan Sunnah.
Mengangkat tema besar pembangunan peradaban Islam, Naspi membuka paparannya dengan menegaskan bahwa peradaban adalah konsep universal yang selalu bergerak, berkembang, dan dibentuk oleh interaksi manusia dengan lingkungannya.
“Peradaban, sebagai sebuah konsep universal, adalah refleksi dari dinamika yang senantiasa berubah dan bergerak menuju kemajuan,” kata Naspi.
Menghubungkan visi besar Hidayatullah, KH. Naspi menegaskan bahwa terbangunnya peradaban Islam adalah visi inti yang mencakup misi pendidikan, dakwah, dan pembinaan umat. Ia mengutip ayat Al-Qur’an sebagai fondasi perjuangan ini, di antaranya QS. Al-Anbiya ayat 107 dan QS. Saba’ ayat 28 yang menegaskan tugas kerasulan sebagai rahmat bagi seluruh alam dan bagi seluruh manusia.
Dalam perspektif pria kelahiran Ujung Pandang ini, peradaban Islam adalah peradaban yang dibangun di atas nilai iman yang menyatu dengan realitas kehidupan. Peradaban bukanlah upaya memisahkan spiritualitas dari kemajuan modern, tetapi mengintegrasikan keduanya agar kehidupan manusia lebih bernilai dan bermartabat.
Ia juga mengutip pesan penting dari Rais ‘Aam Hidayatullah, KH. Abdurrahman Muhammad, bahwa, kalau Hidayatullah ingin berpengaruh, maka ada dua syaratnya; harus punya keunggulan serta punya keunikan, dan Sistematika Wahyu memberikan dua hal tersebut. Pesan ini, menurutnya, menjadi arah strategis organisasi dalam menjawab tantangan zaman.
Masih dalam arahannya, KH. Naspi menguraikan lima faktor eksternal yang akan sangat memengaruhi gerak dakwah dan organisasi dalam dekade mendatang.
Pertama, disrupsi teknologi yang mencapai puncaknya dan menuntut kemampuan adaptasi cepat. Kedua, periode bonus demografi 2030–2040 yang membuka peluang besar tetapi sekaligus tantangan bagi stabilitas sosial-ekonomi.
Ketiga, fragmentasi sosial global yang memunculkan penurunan modal sosial dan meningkatnya polarisasi. Keempat, ketidakpastian ekonomi global dan tekanan terhadap daya tahan ekonomi nasional.
Dan, Kelima, fragmentasi politik umat yang mengancam kohesi internal organisasi Islam.
Ia menyampaikan bahwa kesiapan mental, spiritual, dan kelembagaan sangat diperlukan agar organisasi tetap solid dan mampu mengarahkan umat menuju kesatuan pemikiran dan harmoni sosial.
KH. Naspi kembali menggarisbawahi prinsip yang diajarkan pendiri Hidayatullah, Abdullah Said, bahwa peradaban Islam dibangun melalui integrasi iman, ilmu, dan amal.
“Peradaban Islam dibangun melalui integrasi iman, ilmu, dan amal, serta mewujudkan visi Islam dalam setiap aspek kehidupan. Pesantren Hidayatullah sebagai miniatur peradaban Islam mencerminkan ajaran Islam secara menyeluruh, mulai dari hal spiritual hingga keterampilan intelektual seperti analitis,” katanya.
Menurutnya, Mushida sebagai pilar penting organisasi memiliki peran strategis dalam mencetak generasi rabbani, membangun keluarga beradab, dan menguatkan ketahanan sosial umat.
Ia menjelaskan bahwa tarbiyah dan dakwah merupakan dua kekuatan yang saling melengkapi. Tarbiyah membentuk karakter dan iman individu, sedangkan dakwah menggerakkan individu tersebut untuk memperbaiki masyarakat. Keduanya memastikan pembangunan peradaban Islam tidak hanya fokus pada kemajuan material, tetapi juga kematangan moral dan kesejahteraan holistik.
Ia mengajak Muslimat Hidayatullah untuk terus memperkuat peran pendidikan keluarga dan dakwah komunitas, sehingga keberadaan Mushida menjadi pusat penguatan nilai-nilai Islam yang hidup dan menggerakkan.

Syura dan Akselerasi Keanggotaan
Dalam aspek tata kelola organisasi, KH. Naspi menekankan pentingnya kepemimpinan syura sebagai instrumen utama dalam merumuskan kebijakan dan arah gerak organisasi. Kepemimpinan yang kolektif, terukur, dan berkesinambungan menjadi kunci agar organisasi mampu melewati pergantian kepemimpinan secara mulus sekaligus menghasilkan keputusan strategis.
Saat ini, Hidayatullah telah memasuki fase transformasi dari organisasi sosial menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas). Perubahan ini harus disikapi dengan akselerasi yang masif, inklusif, dan berbasis kapasitas kader serta ada empat hal diperkuat yakni identitas nilai, struktur dan manajemen kerja, pengelolaan SDM, serta integrasi teknologi.
KH. Naspi memberi penekanan khusus pada pentingnya percepatan rekrutmen anggota melalui berbagai jalur, termasuk Gerakan Mahasiswa Hidayatullah (GMH), Pemuda Hidayatullah, dan Annisa Keputrian. Mahasiswa dan pemuda, menurutnya, adalah aset strategis dalam transformasi menuju peradaban Islam yang unggul.
Mengakhiri arahannya, KH. Naspi mengajak seluruh Muslimat Hidayatullah menjadikan Munas VI sebagai momentum konsolidasi, sinergi, dan pembaruan. Ia menegaskan bahwa keluarga, perempuan, dan para ibu adalah pusat keberlangsungan nilai peradaban.






