AdvertisementAdvertisement

Menyingkap Ayat-ayat Allah dan Rahasia Tersembunyi di Balik Hujan

Content Partner

UMUMNYA kita menganggap hujan sebagai kejadian normal. Kita memperbincangkannya sebagai fenomena fisika atau kejadian alam yang biasa. Oleh karenanya pula, anak-anak di usia SD pun seringkali sudah bisa menjelaskan proses pembentukannya secara mendetil.

Sayangnya, apa yang sebenarnya terjadi di balik hujan itu, di alam metafisika, seringkali tidak terpikirkan.

Menurut Al-Qur’an, hujan merupakan salah satu ayat Allah, sebagaimana firman-Nya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya” (QS. Ar-Ruum: 24).

Di negeri kita, hujan jarang dipersepsi sebagai keluarbiasaan, karena memang bukan kejadian langka. Tentu, hal ini berbeda dengan kondisi Jazirah Arab, tempat pertama penurunan Al-Qur’an. Di sana, kapan hujan turun tidak bisa diprediksi.

Ketika Makkah diguyur hujan deras pada musim haji 2005 dan timbul banjir, orang Arab pun mengingat-ingat bahwa hujan serupa terakhir kali turun 64 tahun sebelumnya, tepatnya pada Agustus 1941.

Beberapa foto lama menunjukkan bagaimana Ka’bah dan jalan-jalan di sekitar Masjidil Haram – pada saat itu – terendam air setinggi pinggang orang dewasa. Bahkan, banyak orang yang mengerjakan thawaf dengan berenang.

Cukup mudah bagi bangsa Arab untuk memahami keluarbiasaan hujan. Sebab, tidak lama setelah hujan turun, tanah yang semula kosong dan kering kerontang mendadak dipenuhi tetumbuhan dan bunga berwarna-warni. Inilah makna ayat-ayat Al-Qur’an yang meminta mereka untuk memperhatikan bagaimana Allah menghidupkan bumi setelah matinya, sebagaimana dalam surah ar-Ruum di atas.

Namun, tidak demikian dengan kita di Indonesia. Sebab, di sini hujan bisa turun setiap hari dan tanah menghijau di mana-mana sepanjang tahun. Akibatnya, hujan sebagai salah satu tanda kekuasaan Allah sering kita abaikan begitu saja. Kita pun lupa memperhatikannya.

Dalam surah Yusuf: 105-107, Allah menyindir kenyataan ini: “Dan berapa banyak tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling darinya?”

Padahal, ada banyak keajaiban metafisika di balik turunnya hujan. Sebagai misal, tahukah Anda bahwa setiap tetes airnya diiringi satu malaikat? Al-Hafizh Ibnu Katsir menulis dalam al-Bidayah wan Nihayah (I/105):

“Mika’il diberi tugas untuk mengurusi hujan dan tetumbuhan, yang mana dari keduanya diciptakan aneka rezeki di dunia ini. Mika’il mempunyai sejumlah pembantu. Mereka melaksanakan perintahnya atas perintah Tuhannya. Mereka menggerakkan angin dan awan sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Telah diriwayatkan kepada kami bahwa tidak setetes pun air hujan yang turun dari langit melainkan ia disertai seorang malaikat yang akan menetapkan di mana tempatnya di muka bumi.”

Jika demikian, sungguh kita tidak tahu sebanyak apa malaikat yang turun ketika hujan mengguyur kampung kita, kota kita, pulau kita, negeri kita, seluruh dunia. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri.” (QS. Al-Muddatsir: 31).

Mungkin, ini pula rahasia di balik mustajabnya doa di saat hujan turun. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Carilah (waktu) terkabulnya doa pada saat bertemunya pasukan (di medan perang), dilaksanakannya shalat, dan turunnya hujan.” (Riwayat asy-Syafi’i dalam al-Umm. Hadits mursal-shahih, dan terdapat penguatnya dalam Sunan Sa’id bin Manshur dengan sanad maqthu’-jayyid, dan dihukumi mursal).

Hujan adalah rahmat Allah dan penuh berkah, sehingga Rasulullah pernah membuka sebagian bajunya agar terbasahi oleh sebagian dari airnya. Ketika ditanya mengapa beliau melakukannya, beliau menjawab, “Sebab hujan itu baru saja diciptakan oleh Tuhannya.” (Riwayat Muslim, dari Anas). Menurut Syaikh Muhammad Fu’ad Abdul Baqiy, maksudnya: “hujan merupakan rahmat Allah, dan ia baru saja diciptakan oleh-Nya (alias masih fresh), sehingga beliau pun berusaha mendapatkan berkahnya.”

Hanya saja, akibat ulah manusia sendiri, kesegaran rahmat Allah ini banyak ternodai di zaman sekarang. Asap industri, pembangkit listrik berbahan bakar fosil, dan kendaraan bermotor telah mengubah sifat air hujan menjadi beracun dan membahayakan, terutama di kawasan Cina, Eropa Barat, Rusia, dan daerah arah anginnya. Jelas, Sunnah Nabi tadi tidak bisa ditiru di tempat-tempat tersebut. Aduh, betapa ruginya!

Air hujan sebetulnya tidak turun begitu saja, namun sudah diukur dengan sangat cermat. ‘Ali bin Abi Thalib berkata:

“Tidak setetes air pun yang turun (dari langit) melainkan dengan suatu takaran di tangan seorang malaikat. Namun, ketika banjir (di zaman) Nabi Nuh terjadi, Allah mengizinkan air (untuk turun) tanpa melalui (takaran dari) para penjaganya, sehingga air pun menenggelamkan gunung-gunung. (Pada saat itu), ia keluar (begitu saja). Itulah yang dimaksud dalam firman Allah: “Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (para leluhur)mu ke dalam bahtera.” (QS. al-Haqqah: 11). Tidak sedikit pun angin yang turun melainkan dengan suatu takaran di tangan seorang malaikat; kecuali pada hari (terjadinya bencana terhadap) kaum ‘Ad. Sebab, Allah mengizinkannya (untuk turun) tanpa melalui (takaran dari) para penjaganya. Lalu, ia pun keluar (begitu saja). Itulah makna firman Allah: “…dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang.” (QS. Al-Haqqah: 6). Yakni, angin yang memberontak dan tidak mampu dikendalikan oleh para penjaganya.” (Lihat: Tafsir ath-Thabari, penafsiran Qs. al-Haqqah: 6).

Riwayat di atas mauquf kepada ‘Ali, namun mustahil dari hasil ijtihad beliau sendiri. Berita-berita gaib semacam ini biasanya langsung bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ada riwayat lain yang senada, bersumber dari Ibnu ‘Abbas yang statusnya marfu’, meski sanad-nya lemah. Riwayat terakhir ini dikutip Abu asy-Syaikh dalam al-‘Azhamah, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, juga Ibnu Jarir sendiri di tempat yang sama.

Terlepas dari status sanad-nya, sebetulnya makna hadits ini dibenarkan oleh banyak ayat Al-Qur’an, diantaranya:

“Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.” (QS. Al-Mu’minun: 18).

Juga, firman Allah lainnya:

“Dan yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan), lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati. Seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).” (QS. Az-Zukhruf: 11)

Kemudian, dalam surah al-Hijr: 21-22 dijelaskan pula:

“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan suatu ukuran yang tertentu. Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.”

Alhasil, hujan sebenarnya bukan sesuatu yang biasa-biasa saja. Sebab, ia merupakan salah satu ayat Allah. Dan, selalu ada keajaiban di dalam ayat-ayat-Nya. Wallahu a’lam.

*) Ust. M. Alimin Mukhtar, penulis adalah pengasuh Yayasan Pendidikan Integral (YPI) Ar Rohmah Pondok Pesantren Hidayatullah Batu, Malang, Jawa Timur

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Rakerwil V Hidayatullah Jatim Ditutup, Ketua DPW Apresiasi Pelayanan Tuan Rumah

Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) V Hidayatullah Jawa Timur resmi ditutup pada hari Ahad, 19 Januari 2024, di Situbondo. Dalam...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img