BALIKPAPAN (Hidayatullah.or.id) — Karena tidak punya ilmu, jadi kemana-mana saya bawa parang atau cangkul. Kerja apa saja. Asal bermanfaat bagi orang lain. Itu saya lakukan setiap hari
Kebiasaan itu diungkap seorang warga Kelurahan Teritip, Balikpapan, Kalimantan Timur dalam satu silaturahim jamaah Masjid Ar-Riyadh Kampus Induk Pondok Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur, pertengahan Syawal 1440 lalu.
Seiring usianya menginjak paruh baya, kebiasaan itu disebutnya berjalan sejak belasan tahun silam. Yakni berkeliling di sekitar rumah mencari proyek “jariyah”. Baginya, pantang sarapan pagi sebelum berinvestasi Akhirat lebih dulu.
Berbagai pekerjaan sosial lalu dilakukan. Menimbun jalan berlubang, mengalirkan genangan air di jalan, sampai memanjat tangga, sekadar menyambung kabel listrik yang terjuntai.
Masih dengan modal “jariyah” atau pahala yang terus mengalir, pemilik warung kecil di rumahnya itu juga dikenal dengan kegemaran bersedekah.
Menurutnya, infak atau sedekah tersebut tak harus menunggu jadi kaya. Tidak mesti dengan nominal yang banyak. Sebagaimana sedekah tak melulu menggunakan uang atau harta.
“Tak masalah sedekah seribu atau dua ribu rupiah. Asal istiqamah setiap hari,” ucapnya sambil mengutip satu hadits Nabi tentang keutamaan kontinyu dalam beramal. Untuk itu, ia memilih kotak celengan di masjid dekat rumah sebagai sarana berlatih membersihkan hartanya.
Dengan kebiasaan di atas, bapak itu mengaku punya pengalaman unik yang susah dilupakan. Pernah satu ketika, tiba-tiba ada orang menanyakan nomor rekeningnya dan langsung mengirim uang dalam jumlah besar.
Kejadiannya, ayah lima orang anak tersebut sedang dilanda gelisah. Bukan karena apa. Ia baru saja mendengar ada “lelang infak” untuk kebutuhan renovasi lantai masjid, tempat ia biasa shalat lima waktu berjamaah.
Sayangnya, saat pengumuman, ia merasa benar-benar paceklik. Tak ada yang dipunyai kecuali sekadar menutupi kebutuhan sehari-hari. Anehnya, tetap saja ada bisikan optimis untuk terus bisa berpartisipasi nanti.
Dalam kondisi gelisah, hape jadulnya tiba-tiba berbunyi. Tampak sederet nomor memanggil. Minta segera dijawab. Satu persatu angka itu diamati pelan. Aneh berulang dibaca, nomor tersebut tak kunjung dikenalnya pula.
Ia bahkan heran. Maklum, saban waktu, ia hanya melayani pelanggan warung atau membersihkan halaman rumahnya. Ia bukan pengguna android. Tidak juga punya akun medsos. Layaknya orang yang punya banyak relasi dan kenalan di dunia maya.
.
Penasaran. Ia pun mengangkatnya.
Halo. Ini dengan Bapak Fulan ya? Sambil menyebut namanya, menirukan suara si penelepon.
Iya benar. Ada apa ya?
Saya minta nomor rekening Bapak. Ini ada titipan rezeki buat Bapak.
Tak sempat melunasi penasarannya. Kini rasa itu malah meloncat berlipat-lipat Bagaimana mungkin ada orang tak dikenalnya, tiba-tiba mau mengirim uang kepadanya.
“Awalnya sempat ragu juga. Tapi seolah ada yang membisik tentang keajaiban infak dan sedekah. Ini pasti pertolongan Allah,” ujarnya yakin.
Usai kejadian “aneh”, Bapak itu mengaku langsung menelepon seorang ustadz. Kepadanya, ia langsung menceritakan peristiwa takjub tersebut.
Menurutnya, tidak terbayangkan bagaimana kalau seluruh jamaah masjid rutin bersedekah setiap hari. Bagaimana kalau satu lingkungan masyarakat, semuanya bersedekah seribu atau dua ribu rupiah setiap waktu. Bagaimana kalau orientasi manusia berubah, dari senang menerima jadi gemar berbagi dan memberi.
“Sederhana. Ringan. Tapi penuh keajaiban. Itulah pertolongan Allah,” jelasnya memberi motivasi.
“Sayang waktunya sudah habis ya? Sebenarnya saya bukan penceramah. Tapi rasanya banyak betul mau dibilang di mimbar ini,” tutupnya sambil disambut senyum para jamaah.*/Masykur Suyuthi