Press Release
Diskusi Publik Islamic Lawyer Forum
Legalitas FPI dan Dakwah Khilafah dalam Tinjauan Hukum:
”nilai-nilai yang sudah terkristal menjadi idiologi tidak ada lagi kemampuan negara untuk membubarkan”
Hiruk pikuk opini tentang perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar bagi Ormas Front Pembela Islam (FPI) terus ramai dibicarakan diruang public, seiring dengan Perpanjangan SKT Ormas FPI yang tak kunjung dikeluarkan oleh Kemendagri RI. Tema ini yang diangkat dalam Diskusi Publik Islamic Lawyer Forum edisi 12 (dua belas).
Bertempat di Hotel Amaris Tebet Jakarta Selatan Diskusi Publik Islamic Lawyer Forum berlangsung hari Ahad (18 Agustus 2019). Diskusi yang dipandu oleh Ahmad Khozinudin, SH ini menghadirkan para pembicara lintas organisasi hukum, antara lain Dr. Dudung Amadung Abdullah (Direktur LBH Hidayatullah), DR. Taufikurrahman (Direktur LBH Sahid), KH. Ali Bayanulloh (Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Bayan Sumedang), Candra Purna Irawan, SH MH (Sekjen LBH Pelita Ummat) serta KH. Awit Masyhuri (Ketua Bidang Penegakan Khilafah DPP FPI). Acara yang dimulai pukul 09.00 diawali dengan Narasi Pemancing dari Ust. Wahyusi AlMaroky (Ketua Dewan Pembina LBH Pelita Ummat). Seyogyanya, Ust. Akhmad Michdan, SH (Wakil Ketua Dewan Pembina TPM) juga hadir, namun sampai dengan acara usai tepat pukul 12.30, yang bersangkutan tidak nampak datang.
Dalam paparan pertama, Dr. Dudung Amadung Abdullah, S.H, MH, Direktur LBH Hidayatullah, menjelaskan bahwa apa yang terjadi sekarang sesungguhnya memiliki hubungan historis dengan apa yang terjadi sebelum Indonesia merdeka, saat Indonesia masih terjajah oleh Belanda.
Dudung melihat sisi pendirian lembaga pendidikan yang menjadi cikal bakal perlawanan rakyat terhadap Belanda. Saat itu, kata Dudung, Belanda hanya mampu memberikan layanan pendidikan 6% di tengah masyarakat, sehingga sebagian besar anak Indonesia tidak bisa mengenyam Pendidikan.
Saat itulah para Kyai dan Ustadz mendirikan lembaga pendidikan alternatif bagi anak Indonesia. Mereka mendirikan pondok pesantren, madrasah, surau, menasah, langgar, tajug dan mushola, dimana didalamnya dididik anak-anak Indonesia.
Lewat pendidiaknnya, para Kyai menanamkan semangat cinta tanah air dan mengobarkan jiwa nasionalisme. Ini lanjut Dudung, membuat Belanda khawatir sehingga para Kyai dan ustadz pun anggap musuh.
Terkait dengan apa yang terjadi sekarang ini, Dudung mengkhawatirkan adanya hubungan historis antara masa kolonial dahulu dengan rezim sekarang dalam memperlakukan para kyai.
FPI menurut Dudung adalah organisasi yang taat hukum. Setiap kali akan melakukan tindakan, FPI selalu kordinasi dengan pihak keamanan. Bahkan untuk mengurus administrasi organisasinya, ia mengikuti aturan resmi yang ditetapkan negara. Selain itu, tambahnya, FPI juga sangat peduli sosial dengan menurunkan anggotanya di setiap bencana yang terjadi di tanah air.
FPI juga sangat pancasilais dan menghormati kebhinekaan, buktinya FPI tidak pernah menyerang rumah ibadah atau memusuhi orang atas nama suku tertentu. Dudung menjelaskan bahwa Disertasi S3 Habib Rizieq Shihab justeru mengambil tema Pancasila.
Bahkan, Dudung menambahkan, dalam cerita Permadi yang tersebar di beberap media, HRS telah menunjukkan jiwa Pancasilaisnya secara ril saat berjumpa dengan Permadi, S.H.
Saat Permadi berkunjung ke rumah HRS dan tiba waktu shalat, HRS justru meminta izin kepada Permadi untuk sholat berjamaah, dan mempersilahkan Permadi memasuki ruang perpustaan pribadinya. “Pak Permadi silakan duduk di dalam kantor saya,” ujar Dudung menirukan perkataan HRS dengan Permadi.
Dudung menyampaikan bahwa jika pemerintah tidak memberikan SKT bagi FPI padahal seluruh prasayarat administrasi sudah dipenuhi, maka pemerintah sudah melanggar Undang-Undang, terutama pasal 28 UUD 45, selain itu pemerintah juga akan rugi karena selama ini banyak mendapatkan manfaat dengan adanya FPI. Coba tengok kerjasama FPI dengan Kemensos dalam menangani sigap bencana selama ini, demikian halnya dengan kemenhan.
Pada closing statementnya Dudung menyampaikan bahwa nilai-nilai yang sudah terkristal menjadi idiologi tidak ada lagi kemampuan negara untuk membubarkan, secara formal organisasi mungkin dibubarkan, tapi idiologi tidak bisa. (LBHH)