
BALIKPAPAN (Hidayatullah.or.id) — Dalam kehidupan rumah tangga, istilah “suami takut istri” sudah lama menjadi bahan canda sekaligus stigma sosial. Banyak pria yang merasa harga dirinya akan runtuh bila dianggap menuruti keinginan pasangan.
Namun, dalam pembekalan pra nikah di Teritip, Gunung Tembak, Balikpapan, pandangan itu mendapat tanggapan berbeda dari Sekretaris Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah (YPPH) Balikpapan, Ustadz Abul A’la Maududi.
Maududi mengingatkan bahwa kesuksesan rumah tangga tidak hanya ditentukan oleh besarnya penghasilan atau seberapa kuat seorang suami menunjukkan otoritas.
Lebih dari itu, cinta, kesabaran, dan keberanian untuk menanggalkan ego justru menjadi fondasi yang membuat biduk rumah tangga mampu berlayar jauh.
Maududi menegaskan bahwa seorang suami seharusnya tidak perlu takut dicap sebagai “suami takut istri”.
“Jangan takut menjadi suami yang dicap takut istri,” ujarnya saat memberikan materi di ruang rapat utama Gedung WKP YPPH, Selasa pagi, 8 Rabi’ul Akhir 1447 (29/9/2025).
Menurut Ustadz Maududi, cap tersebut seringkali muncul hanya karena seorang suami membantu pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci pakaian, menjaga anak, atau sekadar memenuhi keinginan istrinya.
Padahal, terangnya, tindakan itu tidak meruntuhkan martabat seorang suami. “Itu hal yang biasa, tidak masalah bagi seorang suami. Yang penting tidak melanggar syariat dan tidak mendzalimi orang lain,” jelasnya.
Stigma yang berkembang di masyarakat, lanjutnya, kerap menghalangi seorang pria untuk bersikap hangat dan penuh perhatian terhadap keluarganya. Padahal, jika semua permintaan istri masih dalam koridor kebaikan, seharusnya tidak ada alasan untuk merasa direndahkan.
Dengan gaya lugas, Ustadz Maududi mengingatkan para calon pengantin bahwa rumah tangga membutuhkan lebih banyak kerendahan hati dibandingkan ego.
Selain menyinggung soal stigma, ia juga memberikan nasihat mengenai cara menyelesaikan konflik rumah tangga. “Menyelesaikan konflik dengan istri itu ada momentumnya, gak sembarangan,” ujarnya, disambut tawa ringan para peserta.
Ia menambahkan, kesabaran menjadi kunci utama. “Sabar itu maksudnya bisa mengendalikan diri. Istri maunya diperhatikan,” katanya lagi, dilansir laman ummulqurahidayatullah.id.
Pesan ini disampaikan kepada puluhan calon pengantin yang mengikuti pembekalan pra nikah sebagai bagian dari program Pernikahan Mubarak 1447 H. Para peserta tampak serius menyimak penjelasan yang tidak hanya bernuansa akademik, tetapi juga disampaikan dengan jenaka sehingga terasa membumi.
Lebih jauh, Ustadz Maududi menekankan bahwa rumah tangga adalah perjalanan panjang yang penuh dinamika. Kesabaran dan kemampuan saling memahami antara suami-istri tidak bisa dibangun dalam sehari. “Ada yang butuh tujuh tahun, ada yang sepuluh tahun, dan bisa terus berlanjut sepanjang usia pernikahan,” tuturnya.