PADA tahun 2012 di ruang aula sebuah hotel di Kota Malang. Pada sebuah gelaran diskusi yang diselenggarakan Pandawa Institute bersama dengan aktivits dari lintas gerakan lain, saya duduk berhadapan dengan Budiman Sudjatmiko, aktivis 98, politisi PDI-P, dan penggagas UU Desa.
Dari sekian banyak ide dan gagasan yang dia sampaikan ada satu hal yang sampai saat ini masih terngiang dalam pikiran saya, “generasi kalian dalam hal gerakan, tidak akan bisa atau akan sangat sulit melampaui generasi kami yang mampu mendobrak rezim panjang dan membawa bangsa ini pada satu sistem yang demokratis melalui reformasi”.
Ungkapan beliau itu menjadi satu tanda tanya besar bagi saya tentang perjalanan negeri ini, apakah reformasi yang beliau gerakkan itu sudah memberikan suatu peningkatan kehidupan bagi Indonesia? Apakah kehidupan sosial, ekonomi, politik saat ini jauh lebih baik ketimbang sebelum reformasi?
Yang lebih membuat saya bertanya-tanya lagi adalah setinggi itukah gerakan reformasi hingga generasi muda selanjutnya tidak akan bisa melakukan satu gerakan melampaui gerakan yang telah mereka lakukan?
Hari ini apa yang diungkapkan Budiman Sudjatmiko sepertinya menjadi kenyataan bahwa di tengah kondisi sosial ekonomi politik yang “tidak” stabil, penuh dengan kritik dari para intelektual senior, para kaum intelektual muda seperti tertidur seakan tidak lagi bisa menghadirkan satu format gerakan baru yang mampu menghadirkan suatu perbaikan fundamental pada negeri.
Kaum muda seperti telah tercelup dalam fatamorgana tentang keadaan stabilitas Indonesia. Atau mari kita bertanya kepada diri kita sendiri apakah negeri ini sudah betul-betul kondusif bagi kita untuk mewujudkan visi dan apakah kita sebagai kaum muda memang betul-betul tidak mampu melahirkan suatu gerakan perubahan melampaui gerakan reformasi?
Paradoks Sistem Ekonomi
Data perbulan Maret 2023, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,9 juta orang. Berdasarkan standar BPS, yang dimaksud dengan penduduk miskin adalah penduduk yang pengeluaran perharinya di bawah Rp. 17.851. Sedangkan berdasarkan Bank Dunia, dikatakan penduduk miskin apabila pengeluaran perhari di bawah Rp. 32.745/ USD 2,15.
Sehingga jika mengacu pada standar Bank Dunia pada tahun 2017 saja jumlah penduduk miskin Indonesia berjumlah 67 juta penduduk. Indek ratio gini Indonesia dalam 5 tahun terakhir di range angka 0,3 – 0,4 yang berarti masih terdapat ketimpangan pendapatan yang menurut UNICEF masih berada pada ambang relatif masuk akal.
Namun jika kita bedah lebih dalam pada tabel di berikut:
rasio gini pada daerah perkotaan di range 0,4 – 0,5 poin. Ini berarti mengindikasikan adanya ketimpangan pendapatan yang tinggi di perkotaan.
Mengutip CBNC, harta 50 orang terkaya usia >50 dan usia <50 tahun setara dengan 14% PDB Indonesia. Pada triwulan II- 2023 PDB Indonesia mencapai Rp.5.266,7 Triliun rupiah, artinya Rp. 737,3 triliun kekayaan dikuasai hanya oleh 50 orang saja. Pada titik ini tentu saja kita bertanya-tanya sekeras apa mereka bekerja atau seproduktif apa mereka hingga mampu menguasai 14% dari total PDB Indonesia.
Mengapa kita para kader yang juga begitu produktif mengajar, membuka cabang, atau bertugas tidak memiliki kekayaan yang layak? Dalam aspek sosial yaitu pendidikan, ketimpangan juga terjadi.
Sekolah-sekolah unggulan yang memiliki fasilitas terstandar nasional atau bahkan internasional hanya bisa diakses oleh keluarga dengan penghasilan minimal Rp. 15 juta sebulannya.
Pertanyaannya, berapa banyak anggota Hidayatullah yang memiliki pendapatan minimal 15 juta setiap bulannya? Tentu tidak banyak, hal ini disokong pula dengan kuota masuk untuk masyarakat menengah ke bawah hanya di kisaran maksimal 10%, tentu fenomena ini menjadi topik diskusi sendiri.
Demikian juga untuk perguruan tinggi, mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) melakukan demo karena beratnya uang masuk kuliah. Demikian di UI, mahasiswa baru mengundurkan diri karena beratnya biaya SPP.
Di Perguruan Tinggi Hidayatullah, biaya SPP masih murah namun mengakibatkan tidak berkembangnya sarana dan prasarana serta masih kecilnya honor dosen.
Mengutip artikel Muhammad Chatib Basri, dunia tengah mengalami kegamangan masa depan ekonomi. Di USA, tingkat pengangguran saat ini di angka 3,5% menurun dibandingkan bulan Juni sebesar 3,6%.
Tingkat pengangguran yang lebih baik ini justru akan meningkatkan inflasi karena ekonomi terlalu panas. Hal ini karena ambang indikator NAIRU (Non-accelerating Inflation rate of Unemployment) di USA adalah 5%, apabila tingkat pengangguran di bawah 5% maka inflasi akan meningkat, tetapi jika pengangguran di atas 5% inflasi akan menurun.
Ini adalah paradoks sistem ekonomi kita saat ini, ada satu kondisi di mana pengangguran harus dijaga eksistensinya karena jika tingkat pengangguran terlalu cepat diturunkan, ia akan menciptakan suatu kondisi kekurangan tenaga kerja.
Kekurangan kondisi tenaga kerja ini akan mengakibatkan tingginya nilai tenaga kerja dan pada akhirnya akan terjadi dorongan inflasi. Hal ini pernah terjadi di Indonesia ketika booming perusahaan teknologi terjadi, permintaan akan tenaga IT begitu cepat sementara supply tenaga IT lambat.
Akibatnya, setiap perusahaan berlomba-lomba memberikan penawaran harga yang tinggi kepada para tenaga IT, hal ini memicu inflasi karena terjadi harga yang overrated hingga pada satu titik perusahaan sudah mencapai fase klimaks produksi dan supply tenaga IT mulai banyak maka terjadilah layoff/ pengurangan besar-besaran tenaga kerja IT.
Fenomena ini membuat kita bertanya apa sebenarnya yang dikehendaki oleh sistem ekonomi modern saat ini?
Ketika kita berusaha untuk menurunkan tingkat pengangguran ada hantu inflasi yang mengikuti kita. Dan untuk mengatasi hantu inflasi tersebut dinaikkanlah suku bunga, kenaikan suku bunga akan menurunkan permintaan agregat, permintaan agregat yang turun akan menggerus penyerapan barang dan jasa.
Penyerapan barang dan jasa yang turun akan menyebabkan produsen menurunkan tingkat produksi, menurunnya tingkat produksi akan mengakibatkan turunnya pertumbuhan ekonomi, turunnya pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan pengangguran yang tinggi.
Resep ekonomi modern hanya membuat kita masuk pada putaran kegamangan, ketidakpastian, dan kekhawatiran. Tiga hal yang sesungguhnya membuat kita jauh dan tidak mampu menemukan kesejatian hidup.
Selain itu, proses pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibus Law), proses putusan inkonstitusional di Mahkamah Konstitusi, dan proses terbit PERPPU-nya menjadi satu fenomena betapa sistem hukum kita sedang tidak baik-baik saja.
Perdebatan tentang nilai aliran uang hingga ratusan triliun di lingkungan kementerian keuangan c.q. direktorat pajak juga semakin membuka mata kita betapa antar pejabat saling sandera masalah hukum hingga akhirnya kasus itu saat ini sudah tidak terdengar dan terlihat asap penyelesaiannya.
Politik uang, manuver hukum, dan peristiwa-peristiwa yang kerap kali hadir dalam lintasan aktivitas kita menjadi satu persoalan penting tentang apa sebab itu semua bisa terjadi? Seakan manusia terbaik pun harus mengikuti arus pusaran sistem hukum dan politik hingga manusia itu bisa menjadi rusak.
Akar Masalah
Beberapa isu dan permasalahan yang sedikit kami paparkan pada dasarnya memiliki pertalian akar yang sama. Kami tidak akan membahas akar masalah ini pada tataran mikro tetapi akan kami coba bawa pada tataran makro.
Pada tataran mikro, sudah jelas akar masalahnya adalah pada karakteristik individu yang belum mendapatkan suatu pencerahan Tauhid hal mana masalah tersebut telah lama coba disolusikan oleh Hidayatullah dalam formula Pendidikan Integral Berbasis Tauhid (PIBT).
Namun secara makro kita perlu jauh melihat pada dimensi kenegaraan karena apa yang terjadi saat ini adalah pertalian antara ekonomi, hukum, dan politik yang saling mengikat sehingga apapun kondisinya apabila tiga aspek tersebut tidak diretas maka kita tidak akan pernah keluar dari situasi yang ada.
Pertalian itu sangat erat hingga masing-masing aspek saling menjaga dan mengunci yang menyebabkan kita begitu sulit keluar dari belenggu dan kuncian sistem tersebut.
Pertama, sistem ekonomi kita yang anomali dan penuh paradoks ini dilegitimasi pelaksanaannya oleh tiga perundangan dan satu TAP MPR. Yaitu pasal 6 UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 4 ayat 2 UU No 23 Tahun 1999, PBI tentang pengelolaan uang, Pasal 9 TAP MPR RI Nomor XVI/MPR/1998.
Jika kita membedah Peraturan perundang-undangan tersebut secara detail kita akan menemukan suatu kebuntuan absolut atas bagaimana kita harus keluar dari paradoks sistem ekonomi yang saat ini berjalan.
Debat calon presiden tahun 2019 menjadi saksi bahwa dalam konteks ekonomi adalah tentang ketidaktersediaan uang sebagaimana yang disampaikan Prabowo Subianto kala itu.
Namun hal itu dibantah Joko Widodo bahwa kita memiliki uang yang banyak namun faktanya hingga saat ini, proses pembangunan yang gencar dilakukan pembiayaannya banyak dilakukan melalui skema utang.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena sekali lagi peraturan perundangundangan yang kami sebutkan di atas adalah sebabnya.
Peraturan perundang-undangan tersebut akan membelenggu setiap pemimpin Indonesia untuk meningkatkan produktivitas bangsanya. Mengapa demikian? Pada pasal 6 UU No 17 Tahun 2003 disebutkan ayat 1 “Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.”
Di sisi lain, pada ayat 2 huruf d disebutkan “tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, yang antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dalam undang-undang”.
Pertanyaannya adalah siapakah pihak yang berweangan di bidang moneter untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang? Jawabannya ada pada TAP MPR Nomor XVI dan UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Namun demikian, di dalam TAP MPR pasal 9 bahwa “….. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak luar lainnya….”. Di dalam UU Bank Indonesia pasal 4 ayat 2 disebutkan pula bahwa “Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, …..”.
Dalam peratuan itu sudah jelas bahwa siapapun presidennya ia tidak akan mampu keluar dari lingkaran paradoks ekonomi modern karena presiden sudah dikunci kewenangannya untuk tidak bisa mengatur kondisi monoter agar ekonomi bisa berjalan sesuai dengan cita-cita kemerdekaan.
Sementara, satu sisi Bank Indonesia tunduk dan patuh pada konsesi Basel di mana setiap aturan tentang pengendalian uang diatur penuh dalam konsensi Basel tersebut. Sehingga jika kita coba membedah apakah bank syariah yang menjadi harapan kebangkitan ekonomi ummat di Indonesia benar-benar ada? Jawabannya tentu saja tidak ada. Karena bank sentral kita masih menganut sistem interest dalam pengelolaan uang yang mengacu pada hukum Basel.
Jika kita juga mau berusaha keras mencari asal-usul dan konsideran hukum dari terbentuknya bank sentral kita maka kita akan menemukan suatu bukti hukum yang sangat pahit bahwa ternyata penjajahan ekonomi itu betul-betul ada bukan karena opini atau suara suara tentang investasi dan seterusnya tapi karena adanya legitimasi hukum yang mengunci intinya inti (core of the core) dari putaran ekonomi kita.
Kedua, jika kita ingin merombak sistem keuangan kita tersebut maka kita akan berhadapan dengan satu kondisi politik yang mengharuskan terjadinya demokrasi voting. Demokrasi voting lahir karena sistem pemilu yang tidak mampu mengakomodir kedaulatan rakyat secara utuh.
Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” pasal 28 E UUD 1945 amandemen bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
Salah satu hak konstitusional dan hak kedaulatan yang termaktub dalam dua pasal tersebut dikebiri oleh undang-undang tentang Bank Indonesia dan UU tentang Pemilu. Mengapa demikian?
Dalam sistem pemilu yang kita jalankan, kita menyerahkan kedaulatan secara sukarela tanpa adanya kejelasan mandat kedaulatan apa yang kita berikan kepada siapa dan konsekuensi apa yang akan terjadi bagi penerima mandat apabila mandat kita tidak dijalankan.
Apa yang kita lakukan dengan mencoblos sosok yang ada pada lembaran surat suara adalah penyerahan dan pemasrahan secara total tentang hidup kita kepada pihak tersebut tanpa ada syarat dan ketentuan.
Perampokan kedaulatan itu tidak kita sadari sehingga kelak jika sosok tersebut terpillih dia dapat dengan seenaknya melanggar janji-janjinya dan kita tidak bisa berbuat apapun untuk menarik kedaulatan atau mandat kita karena tidak ada bukti bahwa kita telah menyerahkan mandat kepada yang bersangkutan.
Sebagai contoh, katakanlah Anda pada Pilpres nanti mencoblos sosok B dengan harapan Anda dapat keluar dari jerat kemiskinan. Setelah mencoblos, katakanlah si B mendapat suara terbanyak, ketika B memimpin Anda belum juga keluar dari jerat kemiskinan dan saat itu Anda protes kepada B bahwa Anda memilih dia agar Anda tidak miskin.
Tapi ketika Anda protes, B bisa saja menjawab apa bukti Anda memilih dia? Tentu saja tidak ada karena surat suara Anda telah tergabung dengan surat suara rakyat yang lain, dan masing masing surat suara tidak bisa diidentifikasi milik siapa.
Sistem pemilihan rahasia adalah metode sistematis untuk merampok kedaulatan kita untuk membuat kita tidak mampu mengontrol pemimpin yang kita beri mandat.
Selanjutnya, pasal 28 E telah terciderai dengan implementasi UU Bank Indonesia yang mengunci Bank Indonesia untuk menyelenggarakan sistem tata kelola keuangan dengan berbasis bunga atau interest.
Dengan demikian, kita tidak mampu menjalankan keyakinan kita bahwa dalam Islam sebagaimana disampaikan Imam Al-Ghazali uang adalah cermin yang memantulkan produktivitas seseorang.
Uang tidak lahir dari utang dan tidak berbunga karena sejatinya uang sebagaimana penjelasan UUD pun adalah alat tukar dan alat ukur dari produktivitas setiap masyarakat.
Ketiga, paradoks sistem ekonomi modern adalah karena ketidakmampuannya dalam menilai dan mengakui produktivitas individu. Sebagai contoh saja, peristiwa dibuangnya sayuran dan telur di Malang karena harga pasar yang begitu rendah menyebabkan petani menderita rugi. Apakah produktivitas petani selama merawat tumbuhan dan ternak tidak diakui dan diukur oleh sistem? Mengapa produktivitasnya bergantung pada pasar? Siapakah pasar?
Contoh kedua adalah guru-guru di Hidayatullah yang dengan etos kerja dan semangat mengajar dengan penuh dedikasi, memberi manfaat dan turut menyokong cita-cita kemerdekaan, namun apa yang terjadi saat ini?
Produktivitas yang dilakukan para guru itu tidak diakui dan dicatat secara adil. Guru masih saja kekurangan dan miskin hanya karena ia dengan sukarela mendidik anak-anak dari kalangan tidak mampu.
Tiga akar masalah tersebut tidak akan bisa diretas tanpa adanya satu gerakan revolusioner. Sesungguhnya hal ini telah disadari oleh para bapak bangsa kita dalam suatu pembukaan UUD 1945, disebutkan bahwa kemerdekaan yang telah diperjuangkan para bapak bangsa baru mencapai tahap “…mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur…”.
Tugas kita saat ini adalah membuka gerbang dan masuk ke dalam alam yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, makmur itu.
Jawaban Kita
Ada satu pertanyaan yang selalu timbul di dalam benak saya, sederhana saja, dengan kondisi yang seperti ini, apakah kita mampu melampaui capaian-capaian para perintis dan senior kita di Hidayatullah?
Loncatan apa kiranya yang mampu membawa saya paling tidak sejajar perjuangannya dengan para perintis dan senior-senior di Hidayatullah?
Pertanyaan itu selalu terngiang sebagaimana pernyataan saudara Budiman Sudjatmiko di atas. Istilah rejuvenasi yang bergaung dan cukup populer dengan kaum muda sebagai porosnya kami dalami punya konsekuensi yang amat dalam.
Rejuvenasi tidak hanya bersifat inkremental karena jika demikian secara simulatif masa depan kita tidak akan ada bedanya dengan organisasi Islam kebanyakan.
Inkremental berarti ia bergerak maju dengan tolok ukur kuantitas dengan perlahan pada satu saat mencapai titik jenuh karena tidak lagi hadirkan pionir-pionir yang ia hanya terlihat lebih besar, lebih wah, dan lebih mapan.
Tetapi rejuvenasi berbeda, ia melompat ke ruang-ruang inti yang terdalam hingga mencapai titik pantul yang mengakibatkan daya dorong sangat kuat sehingga dengan cepat ia melesat ke atas melawan gravitasi (maintstream), kembali menjadi pusat perhatian, memberikan harapan dan jawaban, serta melesat membawa ummah beyond imagination.
Manhaj Sistematika Wahyu menyadarkan kita untuk menggali terus dan terus agar tercipta satu kondisi yang unknown atau infinity sehingga pada setiap titik kita mampu menjadi pionir suatu gerakan kemaslahatan.
Para perintis dan senior telah sukses menghadirkan dan mengimplementasi satu manhaj pada sebuah model prototype atau miniatur yang dalam hal ini kami sebut pada kondisi mikro. Kondisi personal yang menikmati spiritulitas yang mengakar, kehidupan berbasis syariat yang diterapkan pada skala jama’ah itulah yang kita rasakan saat ini.
Lima Gerakan
Namun kita mengalami hambatan ketika kita bertemu pada satu keadaan makro yang kami sebutkan sebelumnya di atas. Yaitu kondisi politik, ekonomi, dan hukum yang begitu kita kaji jauh daripada yang kita cita-citakan. Kondisi mikro dan makro saling terkait satu sama lain disadari atau tidak.
Paling terlihat adalah bagaimana pengakuan atas produktivitas para da’i kita, kondisi ini kadangkala mengganggu kenyamanan kehidupan mikro kita baik dalam hal yang sifatnya spiritualitas maupun hubungan antar personal.
1. Al – Alaq: Gerakan Pemantapan Visi Sosial Ekonomi Kita
Sebagaimana Rasulullah SAW mendapatkan suatu visi ketika tengah ber-tahannuts di gua Hira, demikian kita sebagai pemuda dan mahasiswa untuk menemukan kesadaran visi itu dalam ruang-ruang pembelajaran kita saat ini.
Sebagai perguruan tinggi yang menghadirkan program studi Hukum Ekonomi Syariah kesadaran utama yang perlu lahir adalah bahwa ekonomi tidak hanya bicara tentang hubungan antar personal atau mikro sebagaimana yang kita pelajari pada bab-bab fiqh
muamalah, Ia juga berdimensi sistem atau makro.
Maka kajian dan pembelajaran di program studi hukum ekonomi syariah juga harus tajam membedah problematika makro ekonomi dari sudut pandang hukum. Kita perlu tajam mengkaji substansi pengaturan ekonomi negara yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para khulafaurrasyidin mungkin juga para khalifah setelahnya.
Kita perlu dengan tajam membedah tata hukum perundang-undangan di negara kita yang berkaitan dengan ekonomi. Dari situlah kita akan mendapatkan suatu idealitas dan visi tentang apa hukum ekonomi yang seharusnya berlaku dan terimplementasi dalam negara kita yang itu mampu mendukung visi organisasi kita.
Ketajaman dan kedalaman kita membedah hukum ekonomi syariah secara makro akan mengantarkan kita pada kesadaran bahwa ada hak dan kedaulatan yang masih terbelenggu dan karenanya perlu kita rebut dan perjuangkan kembali agar tegak visi membangun peradaban Islam itu.
2. Al – Qalam: Gerakan Merebut Kembali Kedaulatan
Ketika kita sudah menyadari tentang sebab-sebab paradoksial sistem ekonomi modern, maka gerakan selanjutnya adalah bagaimana menyelesaikan sebab-sebab itu.
Pada kebanyakan orang, gerakan yang dilakukan adalah dengan memodifikasi atau menginfiltrasi satu konsep dan nilai Islam pada sistem ekonomi yang berjalan saat ini. Namun ternyata gerakan itu hanya menyentuh kulitnya saja tidak pada inti dari permasalahan yang ada.
Gerakan kita selanjutnya adalah agar mandat kedaulatan kita tidak lagi dirampas secara legal. Gerakan kita adalah gerakan yang tidak populer karena seakan menabrak peraturan perundangan tentang penyerahan mandat yang berlaku umum.
Gerakan kita adalah gerakan penyerahan kedaulatan disertai mandat yang nyata, tertulis, dan memiliki dokumentasi hukum. Mandat apa yang akan kita tulis, nyatakan, dan serahkan adalah mandat untuk hidup sebagaimana idealitas yang telah kita susun dan visikan bersama. Mandat yang sesungguhnya sesuai dengan UUD pasal 28 E dan pasal 29 ayat 1.
Hanya saja proses penyerahan mandat ini mungkin akan dikatakan aneh dan gila tapi Allah sudah berfirman dalam Al-Qalam ayat 2,5,6, dan 7.
Kelak ketika gelombang gerakan ini sudah membesar akan terbelalaklah kesadaran pihak lain dan berbondong bondonglah masyarakat mengikuti apa yang telah kita lakukan. Di posisi ini, kader Hidayatullah sekali lagi kembali menjadi pionir gerakan kemaslahatan sebagaimana para perintis dan senior.
3. Al – Muzammil: Gerakan Kepemimpinan Spiritual dan Intelektual
Adalah manhaj kita mengharuskan lahirnya kepemimpinan spritual dan intelektual. Bukan karena kepemimpinan popularitas atau pun kepemimpinan uang. Itulah kenapa pada mandat yang akan dinyatakan dan dituliskan satu paket dengan pemilihan siapa kiranya pemimpin yang menurut kita sesuai syarat spiritual dan intelektualnya.
Kita tidak lagi terkungkung pada pilihan yang dihadirkan para pemililk modal sebagaimana kondisi saat ini, pilihan kita tidak terbatas pada tiga Bacapres yang ada sekarang.
Lebih dari itu karena mandat yang akan kita berikan adalah mandat mulia maka sudah seharusnya kita memberikan mandat itu pada pihak yang memiliki kapasitas intelektual dan spiritual yang mapan, yang pada saat ia terpilih mampu mengeksekusi mandat kita dengan baik dan membebaskan sistem hukum dari sistem ekonomi modern yang paradoksial.
Agar kita mampu menemukan pemimpin yang cukup spiritual dan intelektualnya maka kita pun harus meng-upgrade kapasitas spritual dan intelektual kita. Selain itu juga agar kita kuat untuk menjaga gerakan dari berbagai macam prasangka, bully, dan anasir-anasir lain yang menganggap bahwa gerakan kita menggoyang status quo.
4. Al – Muddattsir: Gerakan Produktivitas dan Pembebasan Utang
Dengan wirid kita agar dijauhkan dari utang dan agar selalu mampu beramal shaleh bermanfaat bagi sesama manusia, secara bersamaan kita menggaungkan gerakan produktivitas dan pembebasan utang baik untuk diri sendiri maupun masyarakat.
Mari kita mulai dengan mengadministrasikan produktivitas kita sehari-hari karena kami yakin bahwa tidak ada kader Hidayatullah yang tidak produktif. Persoalannya hanya bagaimana cara kita mencatat dan mengakui produktivitas itu.
Kemudian kita juga perlu mengakui produktivitas para muslimah yang berjibaku dalam mengurus rumah tangga dan anak. Adalah tugas program studi Hukum Keluarga untuk memenumukan suatu formula tentang bagaimana seorang anak, istri, dan suami diakui dan dicatat produktivitasnya ketika ia memiliki cita-cita menjadi keluarga yang bermanfaat bagi sesama.
Gerakan dakwah yang telah kita lakukan saat ini kita improve dengan gerakan pembebasan utang bagi masyarakat yang terjepit utang karena kondisi dan situasi. Sebagaimana para sahabat awal membebaskan para budak dan para gharimin, inilah saat di mana gerakan dakwah kita mampu mengeluarkan masyarakat dari kubangan utang untuk kemudian diberdayakan produktivitasnya sehingga mampu memberikan manfaat nyata bagi sesamanya. Maka hiduplah hadits Rasulullah SAW tentang sebaik baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
5. Al – Fatihah: Gerakan Hidup Berjama’ah (berkumpul, berserikat, small area)
Kira-kira tiga bulan yang lalu dalam satu diskusi di kantor DPP Hidayatullah, salah satu ustadz bercerita ketika mengisi acara pembekalan di STIS Hidayatullah Balikpapan, ada peserta akhwat bertanya kurang lebih sebagai berikut, “jaminan masa depan apa kiranya yang akan didapatkan apabila kami bertugas di Hidayatullah?”.
Jawaban yang paling sederhana adalah masa depan milik orang yang berjama’ah, berserikat, atau berkumpul. Mengapa demikian? Sistem ekonomi individualis kapitalistik yang saat ini menjadi ruh sistem ekonomi modern adalah antitesa dari sistem ekonomi yang kita perjuangkan.
Model ekonomi yang akan dibangun adalah ekonomi berjama’ah, ekonomi koperasi, ekonomi yang titik tumpunya pada ukhuwah dan semangat gotong royong. Kekacauan sistem ekonomi kita saat ini terjadi karena tidak adanya keteraturan peredaran produksi barang dan jasa.
Sementara kejama’ahan memungkinkan kita mampu menghitung dan menentukan kebutuhan supply dan demand akan suatu
produk atau jasa secara presisi. Konsep jama’ah Hidayatullah yang telah tersebar hingga ranting bahkan pembinaannya hingga mencapai kelompok terkecil yaitu keluarga adalah prototype sempurna dari gerakan sosial ekonomi masa depan.
Demikian juga dakwah kita ke depan adalah menganjurkan dan menghimbau kepada masyarakat untuk berkumpul berserikat sesuai dengan visi dan nilai yang cocok antara satu sama lain.
Pada titik ini kita akan kembali merasakan bahwa orang-orang akan bergabung ke Hidayatullah karena visi dan nilai yang dijalankan sebagaimana para perintis dan senior kita dahulu bergabung dan mendeklarasikan suatu gerakan karena adanya kesamaan visi dan nilai bukan karena kebesaran, kemewahan, apalagi kekayaan.
Lima gerakan tersebut adalah gerakan yang dilakukan satu paket secara simultan untuk menghadirkan satu perubahan sistem sosial ekonomi kita, dimulai dari Indonesia merambah hingga dunia.
Epilog
Air mata tidak terasa tumpah, terisak sedu sedan, mendengarkan nasihat gurunda Ustadz Abdul Latif Hafizhahullahu ta’ala, tentang bagaimana beliau dan para sahabatnya tengah menyiapkan generasi yang akan melanjutkan estafet perjuangan. Beliau berkisah tentang generasi Al-Fatih dan generasi muda lain yang mampu mengemban risalah perjuangan.
Membayangkan bagaimana dahulu mereka merintis dengan penuh keterbatasan, kepedihan, dan kesusahan saja telah membuatku sesak. Tetapi sejarah apa yang hendak kucatat jika hidupku hanya ibadah, bekerja, istirahat, dan bercanda?. Tetapi sejarah apa yang hendak kuukir jika tidak merasakan pedih dan sakitnya perjuangan?.
Pekikan perubahan telah diteriakkan, aku membayangkan kelak gerakan perjuangan ini akan mengantarkan kita pada kondisi keteraturan sebagaimana alam bergerak dan beredar pada garis edarnya. Keteraturan itu melahirkan kedamaian dan ketenangan dalam beraktivitas. Hingga akhirnya kita berjumpa dengan- Nya.
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya dan masuklah ke dalam surgaku”
*) MUHAMMAD SADDAM, penulis adalah Ketua STIE Hidayatullah. Tulisan ini disampaikan pada Studium Generale Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan, Senin 18 Shafar 1445 H/ 4 September 2023.