
“Dan (ingatlah) ketika Kami telah memberikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan pembeda (antara yang benar dan yang batil) agar kamu mendapat petunjuk.”
Demikianlan kandungan makna atau terjemah dari lafaz kitabullah surah Al-Baqarah ayat 53: وَاِذْ اٰتَيْنَا مُوْسَى الْكِتٰبَ وَالْفُرْقَانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
Ayat ini bukan sekadar penggalan sejarah, tetapi sebuah pesan universal bahwa wahyu adalah nikmat terbesar. Allah mengingatkan Bani Israil tentang anugerah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa.
Kitab itu bukan beban, melainkan cahaya yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan, halal dan haram, serta petunjuk dari kesesatan.
Wahyu sebagai Cahaya Kehidupan
Tafsir Jalalain menegaskan bahwa kata al-Furqaan adalah penjelasan dari Taurat itu sendiri, yakni fungsi kitab suci sebagai pembeda antara hak dan batil.
Tafsir al-Muyassar menyebutnya nikmat yang menyelamatkan dari kegelapan menuju jalan lurus. Sementara Ibnu Katsir memperluas makna dengan menyebutkan fungsi kitab sebagai baṣā’ir (pelita hati), hudā (petunjuk), dan raḥmah (rahmat).
Allah juga mengabadikan fungsi ini dalam QS. al-Qashash: 43:
وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ مِنْ بَعْدِ مَا أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ الْأُولَى بَصَائِرَ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepada Musa al-Kitab setelah Kami membinasakan generasi-generasi terdahulu, sebagai pelita bagi manusia, petunjuk, dan rahmat, agar mereka mau mengambil pelajaran.” (QS. al-Qashash: 43)
Tiga fungsi ini berlaku untuk semua kitab suci yang diturunkan Allah Ta’ala, termasuk Al-Qur’an. Ia adalah cahaya batin yang membuka mata hati, penunjuk jalan kehidupan, dan rahmat yang membimbing menuju keselamatan dunia dan akhirat.
Hikmah dan Pelajaran
Dari ayat ayat ini, kita mendapati kepingan kepingan hikmah, bahwa Wahyu adalah nikmat terbesar. Allah mengingatkan Bani Israil bahwa Taurat adalah nikmat, bukan beban.
Begitu pula kita hari ini. Al-Qur’an adalah anugerah yang harus disyukuri, bukan sekadar dibaca tanpa penghayatan. Syukur itu diwujudkan dengan membacanya, memahaminya, dan mengamalkannya.
Wahyu sebagai pembeda kebenaran dan kebatilan. Di tengah derasnya arus informasi yang bercampur antara fakta dan manipulasi, Al-Qur’an adalah furqān. Ia membantu kita memilah mana yang benar dan salah, yang baik dan buruk, yang halal dan haram.
Tanpa wahyu, manusia mudah terjebak dalam kabut opini dan kepentingan duniawi.
Wahyu juga merupakan petunjuk bukan hanya untuk diketahui, tapi diikuti. Bani Israil mengenal isi Taurat, namun sebagian enggan mengamalkannya.
Itulah kesalahan yang tidak boleh kita ulang. Ilmu yang tidak diiringi amal hanya menjadikan seseorang tahu arah jalan, tetapi tetap tersesat karena tidak mau melangkah.
Lebih jauh lagi, Wahyu adalah nikmat besar yang hendaknya disertai tanggung jawab besar. Wahyu tidak hanya membawa keistimewaan, tetapi juga amanah. Allah menegaskan dalam QS. Al-Baqarah: 143:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
“Dan demikianlah Kami menjadikan kalian umat yang pertengahan, agar kalian menjadi saksi atas manusia…”
Menjadi saksi kebenaran berarti menyampaikan kebenaran melalui ilmu dan dakwah, memperlihatkan ajaran itu melalui akhlak nyata, serta menjaga kemurnian wahyu dari penyimpangan.
Dari sini kita juga belajar dari sejarah umat terdahulu. Kisah Bani Israil bukan sekadar dongeng, tetapi cermin bagi kita. Mereka lalai mensyukuri wahyu, bahkan ada yang meremehkannya. Kesalahan itu menjadi peringatan agar kita tidak bersikap sama terhadap Al-Qur’an.
Renungan untuk Zaman Ini
Di era modern, manusia sering merasa lebih percaya pada data, algoritma, atau opini publik dibanding wahyu. Padahal, segala teknologi dan pengetahuan hanyalah alat. Tanpa wahyu, manusia kehilangan kompas moral.
Al-Qur’an datang untuk menghidupkan hati, mengajarkan keadilan, dan mengokohkan nilai kemanusiaan. Jika ia benar-benar menjadi pedoman, maka kehidupan akan tertata, bukan hanya secara spiritual, tetapi juga sosial, politik, dan peradaban.
Namun, nikmat wahyu bisa berubah menjadi bencana bila diabaikan. Tanpa kesadaran, Al-Qur’an hanya dibacakan di acara seremonial, tetapi tidak dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Inilah titik rawan yang harus kita waspadai.
Maka disinilah kewajiban kita sebagai mukmin untuk selalu berupaya menghidupkan wahyu dalam kehidupan.
Menghargai wahyu berarti menjadikannya sebagai sumber inspirasi hati, membaca dengan tadabbur, sehingga ayat-ayatnya menggerakkan hati untuk berubah.
Mari kita menjadikan wahyu Qur’ani sebagai kompas moral. Menjadikannya sebagai penentu benar-salah dalam keputusan pribadi maupun sosial.
Wahyu adalah panduan kita dalam beramal juga menerjemahkan nilai-nilainya dalam ibadah, muamalah, hingga dalam sikap berbangsa dan bernegara.
Al Qur’an adalah rahmat yang menyatukan. Wahyu yang dikandungnya merupakan perekat yang membawa manusia pada kebaikan bersama, bukan sumber perpecahan.
Akhirnya, kita diajak untuk merenung, apakah wahyu sudah kita syukuri sebagai nikmat terbesar, ataukah masih kita biarkan sekadar hiasan? Jawaban ini tidak cukup dengan kata, tetapi harus tampak dalam laku hidup sehari-hari.
*) Ust. Drs. Khoirul Anam, penulis alumni Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, Jatim, Anggota Dewan Murabbi Wilayah (DMW) Hidayatullah Sumut, pengisi kajian rutin Tafsir Al Qur’an di Rumah Qur’an Yahfin Siregar Tamora dan pengasuh Hidayatullah Al-Qur’an Learning Centre Medan