AdvertisementAdvertisement

Harus Siap Menghadapi Kemungkinan Terburuk CoVid-19

Content Partner

Oleh: Asih Subagyo

Pekan lalu 03/04/2020, Menteri BUMN, Erick Tohir dalam sebuah teleconference untuk dengar pendapat dengan anggota DPR, menyampaikan asumsi dan prediksi bahwa secara ekonomi, Indonesia ada  beberapa sekenario dari yangringan hingga yang terburuk selama dan pasca pandemi Covid-19.

Menurut dia, sekaligus mempertegas dan mengkonfirmasi pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya, bahwa sekenario berat mata uang Rupiah terhadap US Dolar sekitar Rp. 17.500,-. Sedangkan kondisi terburuk, sampai Rp.20.000,-. Demikian juga terkait pertumbuhan ekonomi, sekenario berat adalah 2,3%, sedangkan skkenario terburuk ada di minus 0,4 persen. Sedangkan tingkat inflasi dari 3,9% menjadi 5,1%.

Belum lagi jika ditambah dengan indikator lain misalnya: anjloknya IHSG, negatifnya reraca perdagangan, beberapa perusahaan mulai gulung tikar, daya beli rakyat yang mulai menurun, dan seterusnya.

Sebagaimana pada tulisan sebelumnya, dan juga prediksi beberapa pengamat, situasi seperti ini, akan tambah mempercepat dan membuat krisis multidimensi.

Tentu saja pernyataan itu bukan hanya keluar begitu saja. Tidak main-main. Bukan kaleng-kaleng. Pasti diikuti dengan kajian data dan analisa yang njlimet. Tidak mungkin seorang Menteri, dalam kondisi  seperti ini melakukan spekulasi dengan memberi pernyataan yang menakut-nakuti rakyatnya. Dan tidak memberikan rasa aman dan nyaman kepada rakyatnya. Kecuali mereka sudah gila beneran.

Apalagi Erik, juga memiliki background seorang pengusaha. Pasti hitung-hitungannya matang. Kalkulasinya presisi. Sebab, dia tahu konsekwensi dan risikonya. Dia tentunya sadar bahwa, setiap  pernyataan yang keluar dari lisannya (dan pejabat yang terkait dengan ekonomi), akan menjadi acuan bagi para koleganya, dan juga mempengaruhi pasar pada umumnya.

Pertanyaaannya kemudian adalah, jika semua indikator tersebut terjadi, sebenarnya apa yang dirasakan oleh rakyat. Jika rupiah turun hingga Rp. 20.000, sementara pada awal tahun ini di kisaran Rp.14.000, artinya melemah Rp.6.000,- atau melemah 30%. Sehingga akan berpengaruh terhadap hutang luar negeri dalam bentuk dollar, dan berpengaruh terhadap APBN.

Disamping itu, barang-barang impor yang biasanya dibayar juga dengan dollar, mengalami kenaikan. Sehingga akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak  terhadap produk dan jasa  lokal. Produk dan jasa itu akan menyesuailan pasar. Sehingga akan mengalami kenaikan harga, sebab terimbas dari melemahnya nilai rupiah tersebut. Ini yang akan langsung dirasakan rakyat, dan masih banyak lagi.

Sedangkan terkait dengan inflasi, meski “hanya” 5,1 persen, secara teori memang masih masih masuk dalam katagori inflasi ringan. Tetapi jika tidak bisa dikendalikan, bisa menjadi ke katagori sedang, bahkan berat. Ingat perubahan saat ini akan terjadi sangat cepat dan masif. Unpredictable , uncontrolabe. Nggak dapat diprediksi, dan nggak bias dikontrol. Ini sebuah alarm dan Early warning, bagi siapa saja. Sebab pada saat itu terjadi , maka beberapa dampak yang mengikutinya akan sistemik.

Melemahnya daya beli, ekspor yang menurun,barang dan jasa naik, nilai rupiah yang melemah, nilai gaji yang menjadi kecil (karena tidak naik), dan lain sebagainya. Intinya kita akan membayar lebih mahal pada produk dan jasa seelumnya. Sigkatnya nasi, sayur plus telor yang biasanya 10 ribu, bisa naik menjadi 12 ribu atau lebih.

Tentang pertumbuhan 2,3% atau bahkan pada sekenario terburuk di kisaran minus 0,4%, maknanya, selain ekonomi mengalami pelemahan dan kemunduran dari tahun sebelumnya, juga akan banyak tenaga kerja dan angkatan kerja yang menganggur.

Sebab, secara teori setiap kenaikkan pertumbuhan 1% sama artinya dengan menyerap tenaga kerja 300-400 ribu orang. Sedangkan saat ini angkatan kerja terus bertambah (lulusan sekolah dan perguruan tinggi) ditambah dengan pengangguran sebelumnya. Dus artinya akan banyak pengangguran.

Belum lagi ditambah tenaga kerja yang di PHK, akibat krisis ekonomi. Jika memang hal-hal itu terjadi, maka tidak menutup kemungkinan akan memicu kerawanan sosial, sekali lagi jika salah kelola.

Siapkah Kita?

Kondisi di atas, mesti kita antisipasi sejak dini. Bukan untuk menakut-nakuti. Tetapi justru saat inilah, waktunya yang tepat mempersiapkan diri menghadapi situasi terburuk itu. Mau tidak mau, suka tidak suka, pasti berdampak, bahkan menghantam kita juga.

Memang simpang siurnya berita yang tak terkendali, terutama di media sosial, menyebabkan secara psikologis publik tertekan. Sehingga, publik dalam kondisi yang paranoid. Kondisi ini tentu saja menjadi tidak sehat, ditengah himpitan ekonomi yang semakin berat. Namaun fakta-fakta di bawah ini bisa menjadi alat untuk memotret kondisi bangsa ini.

Untuk masyarakat kelas bawah, yang memang hidupnya tergantung dengan apa yang diusahakan hari ini, itulah yang dimakan hari ini, tentu ssangat berat. Merekalah yang sering dinamakan dengan pekerja informal. Dalam statistik sekitar 70% dari populasi penduduk.

Bagi mereka, untuk bisa survive di saat seperti ini, menjadi kemewahan yang luar biasa. Kita bisa dapatkan informasi yang viral misalnya: tukang ojol yang diusir dari kontrakan, pegawai rendahan yang dipecat menjual TV untuk di tukar dengan beras, ibu-ibu yang terpaksa mengemis (dijalan yang sepi) karena suami dan anak-anaknya jatuh sakit, dan banyak lagi kisah yang memilukan lainnya. Tetutama bagi mereka yang tinggal diperkotaan (urban).

Bagi masyarakat yang tinggal di desa-desa, yang basisnya pertanian, mungkin tidak merasakan suasana seperti ini. Sebab beberapa bahan makanan masih bisa didapatkan disekitar rumahnya. Inilah yang menyebabkan arus mudik, tidak bisa di bendung lagi.

Mereka tidak peduli physical distancing, harus dirumah saja, ataupun PSBB. Tidak peduli, terinfeksi COVID-19 atau tidak. Yang jelas, mereka ingin tetap hidup. Dan mudik itu, dalam kalkulasi mereka merupakan salah satu cara menjaga agar bisa tetap hidup.

Sebab di kampung mereka masih bisa mendapatkan kehidupan dari memanfaatkan tanah/pekarangan disekitarnya. Di kota mereka ngontrak, dan nggak ada tempat untuk bercocok tanam itu.

Bagi karyawan, meskipun mereka mendapatkan gaji bulanan, ternyata juga masih dihantui dengan berbagai hal, misalnya: pengurangan gaji, hilangnya bonus dan THR, rasionalisasi karyawan hingga PHK, dan seterusnya. Dan kini, sudah mulai berhitung, uang tabungan yang ada ,bisa untuk  bertahan hidup berapa bulan lagi.

Suasana kebatinan seperti ini, juga dialami oleh mereka yang selama ini disebut dengan kelas menengah (middle class). Saking takutnya mereka melakukan panic buying, menimbun makanan, untuk menyetok kebutuhan beberapa hari atau bulan. Justru perilaku seperti ini sesungguhnya yang menciptakan tambhan keruhnya suasana. Sehingga, sama-sama ingin survival, tetapi cara dan dampa yang ditimbulkan berbeda.

Kondisi yang serupa juga dirasakan bagi pengusaha. Baik yang UKM maupun usaha besar. Sama-sama mengalami tekanan. Produksi menurun. Karena berbagai sebab, baik dari bahan baku, produksi hingga pemasaran, semua bermasalah. Terkecuali mungkin pengusaha sembako,makanan dan alat-alat kesehatan, masih bisa survive.

Mereka yang bergerak di usaha jasa, jika tidak melakukan pengurangan gaji, pengurangan karyawan, maka sudah mulai gulung tikar. Meski ada stimulus dari pemerintah untuk UKM, yang nilainya sekitar 150 trilyun, juga kebijakan penangguhan pembayaran  pinjaman diperbankan, nampaknya belum bisa menolong bisnis mereka.

Sebab saat ini yang dibutuhkan adalah bagaimana sebuah iklim dan ekosistem yang menggerakkan semua sektor ekonomi, sehingga aspek demand dan supply bisa saling melengkapi. Ini PR yang berat, ditengah situasi yang sulit seperti ini.

Solidaritas Sosial

Tidak salah jika Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2018 , menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan se-dunia, dengan skor 59 persen. Hal ini dibuktikan dalam suasana yang sulit seperti saat ini, kita masih menjumpai beberapa komunitas masyarakat, ORMAS, LSM, bergerak untuk meringankan beban dengan berbagi makanan dan sembako. Dimana-mana banyak kita temukan. Disaat negara tidak hadir, justru rakyatnya yang hadir.

Kita bisa saksikan Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan lembaga non pemerintah lainya melakukan penyemprotan disinfektan ke rumah-rumah ibadah, pesantren, panti asuhan, bahkan ke beberapa perumahan. Meskipun kemudian oleh WHO, cara tersebut dinyatakan tidak sesuai dengan protocol kesehatan, bahkan dbilang sia-sia.

Namun point saya disini adalah bahwa, kepekaan dan kepedulian sosial itu tumbuh subur di negeri ini. Disamping itu, kegiatan donasi untuk pengadaan APD (alat pelindung diri) bagi dokter dan tenaga kesehatan, merupakan bentuk kegatan yang diapresiasi dn di dukung oleh publik.

Belum lagi, kita bisa saksikan dijalan-jalan, dapat kita temui banyak relawan yang berbagi makanan/nasi kotak ke driver ojol, ataupun rakyat lain yang membutuhkan. Demikian juga di beberapa masjid. Meski ada pembatasan untuk kegiatan keagamaan, namun dibeberapa Masjid melakukan pembagian amakanan gratis dan juga sembako kepada rakyat yang mebutuhkan, tentu tetap dengan tetap menjaga physical distancing.

Demikian juga pembagian masker, kepada bebepa masyarakat, menjadi sesuatu yang menarik. Serta masih banyak lagi aktifitas yang menunjukkan solidaritas dan kesetiakawanan sosial, atau dengan bahasa lain gotong-royong di negeri ini masih hidup.

Hal ini membuktikan kelas menengah dan atau mereka yang memiliki kelebihan masih berbagi dengan sesama. Dan dalam konteks ini, sesungguhnya negara justru diuntungkan oleh sikap dan perilaku rakyatnya yang dermawan itu.

Jangan Paranoid

Dengan melihat fakta di atas, dan saat ini terus berkembang, maka Kita pasti akan memeasuki masa-masa sulit itu. Namun kita juga optimis bahwa masa-masa sulit itu akan bisa kita lalui. Banyak kemungkinan memang yang terjadi. Kita akan larut, sedih, takut cemas dan tenggelam dalam masa sulit itu, sehingga kita tidak bisa lolos di situasi sulit ini.

Namun jika kita memiliki sikap mental petarung dan pemenang, sebagai mujahid , in syaa Allah kita akan lolos melewati dan memenangkan masa sulit itu, bahkan mendapatkan ibrah dan kebaikan sesudahnya. Kata kuncinya jangan paranoid. Jangan takut. Tetapi juga jangan gegabah dan sembrono.

Oleh karena itu, selain persiapan-persiapan manusiawi, yang bisa dikalkulasi secara manajemen, jangan lupa kita masih punya Allah SWT. Sebagai tempat bergantung dan memohon pertolongan. Yang bagi-Nya mudah saja untuk membolak-balikkan situasi dan keadaan ini, diluar dari prediksi yang manusia buat.

Sehingga cara transendental yang kita tempuh adalah, dengan mempertebal keimanan dan ketakwaan kepada-Nya. Langkah ini, akan menjadi pilihan utama ketika kita dalam memasuki masa-masa sulit itu. Dan terus berdo’a agar kita bisa lepas dari situasi sulit ini dengan tetap beriman dan dalam kondisi yang lebih baik lagi.

Tentu saja tetap dibarengi dengan ikhtiar secara manusiawi tersebut. Bila sikap mental kita demikian,  maka sebagai orang beriman kita punya panduan yang akan memandu kita. “Dan Jangan kamu berputus asa dari Rahmat Allah. Sesungguhnya tidaklah berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” QS Yusuf (12) : 87.

Sehingga, menghadapi situasi ini semboyan kita,siap nggak siap in syaa Allah siap !

,*Dosen STIE Hidayatullah Depok

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Membangun Generasi Islami Berdaya melalui Pesantren Masyarakat Cibuntu

KUNINGAN (Hidayatullah.or.id) -- Pengurus Persaudaraan Dai Indonesia (PosDai) baru-baru ini melakukan anjangsana silaturrahim ke komunitas warga binaan Pesantren Masyarakat...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img