CHARITIES Aid Foundation (CAF) menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan pada 2020. Berdasarkan World Giving Index 2021 yang disusun CAV, Indonesia memiliki skor 69%, naik dibandingkan pada 2019 yang sebesar 59%, yang juga pada urutan pertama. Faktor utamanya adalah kontribusi muslimin Indonesia yang menyumbangkan uangnya karena didorong kewajiban berzakat serta didukung sedekah dan infaq.
Dalam laporan tersebut menunjukkan bahwa pembayaran zakat secara global sangat tinggi pada 2020. Dan Ramadhan biasanya identik dengan banyaknya muslimin yang membayar zakat, infaq, sedekah serta wakaf. Meski tidak ada kewajiban dan syariat yang mengatur untuk melakukannya khusus di bulan Ramadhan, kecuali zakat fitrah, akan tetapi ini sudah menjadi budaya yang baik bagi kaum muslimin Indonesia, melihat keutamaan Ramadhan itu sendiri.
Hal ini juga didorong adanya semangat untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai manusia yang sempurna dan paripurna di muka bumi, Rasulullah SAW adalah contoh utama dan tiada tanding diberbagai aspek kehidupan. Tidak ada sedikitpun celah kehidupan beliau yang tidak patut untuk di-ittba’i (diikuti) oleh siapapun, apalagi kita yang menjadi umat beliau.
Sudah selayaknya menjadikan Nabi Muhhammad SAW, sebagai uswah dan qudwah dimanapn, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Salah satu dari sisi yang patut dicontoh adalah aktifitas beliau selama bulan Ramadhan ini.
Pertama, berkenaan dengan bagaimana kedermawanan beliau. Dan, yang kedua, adalah bagaimana sikap beliau terhadap al-Qur’an. Hadits berikut ini, cukup memberikan gambaran yang jelas tentang hal tersebut.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه و سلم أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِى رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ ، يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِىُّ صلى الله عليه و سلم الْقُرْآنَ ، فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ. متفق عليه
“Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, ia mengisahkan: “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling dermawan masalah kebaikan (harta benda), dan kedermawanan beliau mencapai puncaknya pada bulan Ramadhan di saat berjumpa dengan Malaikat Jibril. Dan dahulu Malaikat Jibril ‘alaihissalam biasanya senantiasa menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada setiap malam di bulan Ramadhan hingga akhir bulan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al Qur’an di hadapannya. Bila beliau telah berjumpa dengan Malaikat Jibril ‘alaihissalam beliau terasa begitu dermawan dalam masalah kebaikan (harta benda) dibanding angin sepoi-sepoi yang berhembus.” (Muttafaqun ‘alaih).
Imam An-Nawawi r.a (676 H) menjelaskan, “Ada beberapa pelajaran penting dari kandungan hadits ini : 1) besarnya sifat dermawan Nabi Muhammad SAW, 2) dianjurkannya memperbanyak kedermawanan pada bulan Ramadhan, 3) Bertambahnya kedermawanan dan kebaikan tatkala berjumpa dengan orang saleh dan beberapa saat setelah berpisah dengan mereka. Hal itu karena pengaruh kebaikan dalam berjumpa dengan orang saleh, dan 4) dianjurkannya saling mempelajari Al-Qur’an di bulan Ramadhan.” (Syarh Shahih Muslim 15/69).
Sedangkan Ibnu Hajar Al Asqalaani menjelaskan bahwa kedermawanan dalam syariat adalah memberi sesuatu yang pantas/layak kepada yang pantas/layak menerimanya. Dengan demikian, kedermawanan lebih luas cakupannya dibanding sedekah. Selanjutnya dengan bertadarus (muraja’ah) al-Qur’an dengan malaikat Jibril, menjadikan Rasulullah SAW semakin memahami kandungannya, sehingga mendorong beliau untuk semakin merasa kecukupan, dan terbebas dari sifat tamak.
Dan perasaan kecukupan semacam inilah yang mendasari setiap kedermawanan. Ditambah lagi pada bulan Ramadhan, karunia Allah kepada umat manusia berlipat ganda, karenanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam senang untuk meneladani sunnatullah dengan melipat gandakan kedermawanan beliau. Dengan bersatunya beberapa hal di atas, keutamaan waktu ditambah perjumpaan dengan Malaikat Jibril bersatu padu dalam diri beliau sehingga kedermawanan beliau berlipat ganda. (Fathul Bari 1/31)
Bercermin hadits beserta syarahnya tersebut di atas, melihat realitas kekinian maka hipotesa sederhananya adalah, dua hal tersebut di atas biasanya mengalami peningkatan, di bulan Ramadhan, sedangkan berapa besarnya peningkatan itu memang perlu pembuktian dan kajian lebih jauh.
Namun untuk mengujinya, setidaknya dapat dilakukan dengan mengajukan berbagai pertanyaan sederhana berikut ini. Sudahkan kita benar-benar ittiba’ rasul dalam kaitannya dengan dua hal ini? Sudahkan tingkat kedermawanan kita di bulan Ramadhan ini meningkat dibanding dengan bulan-bulan sebelumnya.
Bagaimana dengan zakat, infaq dan sedekah kita? Demikian juga halnya, bagaimana dengan interaksi kita di bulan Ramadhan ini dengan al-Qur’an, sudahkah lebih baik secara kuantitas dan kualitasnya dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.
Adakah target untuk menghatamkan al-Qur’an berapa kali, mentadaburi dan seterusnya. Adakah semua aktifitas kita di Ramadhan ini terus mengarah ke-perbaikan dan peningkatan diri, atau sebaliknya?
Sebenarnya masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan, untuk menguji dan memverifikasi diri sendiri sebagai bahan sekaligus bisa sebagai sarana untuk muhasabah (introspeksi) diri.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut layak kita ajukan untuk diri kita masing-masing, mumpung masih berada di awal-awal Ramadhan. Masih terbuka dan terbentang waktu untuk melakukan perbaikan dengan menyusun perencanaan, sekaligus strategi implementasinya.
Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari. Tiba-tiba sudah berada di penghujung Ramadhan. Dan ternyata tidak ada perubahan dan perbaikan yang signifikan terjadi pada diri kita. Padahal keutamaan Ramadhan itu, begitu luar biasa.
Jika menggunakan kalkulasi matematika ilahiyah, justru bulan Ramadhan ini momentumnya. Saat semua ibadah dan amal kebajikan dilipatgandakan pahalanya.
Sekali lagi, masih belum terlambat. Masih ada waktu dan kesempatan. Kita tidak pernah tahu kapan ajal menjemput kita. Masihkan kita dapat bertemu Ramadhan tahun depan? Sehingga, jangan sampai lepas kesempatan berharga ini. Mari kita mulai dari hal-hal kecil.
Tunjukkan kedermawanan kita kepada orang-orang di sekitar kita. Paksakan, lalu biasakan diri untuk selalu berinterkasi dengan al-Qur’an diberbagai waktu, tempat dan kesempatan. Setapak demi setapak, dari saat ini, di Ramadhan kali ini dan mulai dari diri kita sendiri.
Awalnya bisa jadi berat dan menjadi beban, namun lambat laun akan terasa ringan, lalu menjadi kebiasaan dan meningkat menjadi kebutuhan. Jika semua dilakukan dengan kesadaran dan kesabaran penuh, dan bukan untuk riya’ agar di sanjung mahluk, tetapi dilakukan secara Lillah, In Syaa Allah perubahan akan terjadi, cepat ataupun lambat.
Semuanya butuh proses, tidak bisa instan. Sebenarnya hal ini merupakan konsekwensi logis menjadi orang beriman. Semuanya, kita niatkan untuk meneladani Rasulullah SAW semampu kita.
Kemudian dari sini, kita berharap akan menjadi habits (kebiasaan) lalu menjadi kebutuhan ruhiyah kita dihari-hari berikutnya, hingga ajal menjemput kita. Dan semua ibadah dan amal yang kita lakukan itu, bermuara pada tujuan akhir dari Ramadhan ini, dan itu juga tujuan dari kehidupan kita, yaitu menjadi insan yang bertakwa. Wallahu a’lam.
ASIH SUBAGYO, instruktur pada Hidayatullah Institute