AdvertisementAdvertisement

Berteriak dari Atas Dipan

Content Partner

Oleh Asih Subagyo (Peneliti senior Hidayatullah Institute (HI) dan Ketua Bidang Bidang Pembinaan dan Pengembangan Organisasi Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah)

LIMA TAHUN terakhir adalah sebuah perjalanan yang penuh liku, sebuah fase kehidupan yang mengajarkan banyak hal tentang keteguhan, kesabaran, dan kekuatan yang mungkin tak pernah saya sadari sebelumnya. Tubuh ini, yang dulu begitu lincah dan aktif, kini lebih banyak berbaring di atas dipan, terkurung oleh berbagai jenis penyakit yang datang silih berganti. Namun, meski fisik saya terbatas, semangat untuk terus berkarya dan berkontribusi tidak pernah padam.

Setiap hari adalah perjuangan baru. Ada hari-hari di mana rasa sakit begitu menguasai, seolah menguji batas kesabaran dan ketabahan. Tapi, di sela-sela rasa sakit yang terperi, ada dorongan kuat untuk tetap menulis. Ketika kondisi kesehatan memungkinkan, saya segera menulis, mencurahkan segala pemikiran dan perasaan dalam kata-kata yang kemudian saya bagikan di media sosial. Tulisan-tulisan itu bukan sekadar ungkapan diri, tetapi sebuah cara untuk memberikan semangat kepada orang lain, perlawanan dan sekaligus sebuah pengingat bahwa perjuangan kita semua belum berakhir.

Di tengah keterbatasan fisik, saya belajar bahwa kekuatan sejati bukanlah hanya berasal dari tubuh yang kuat, tetapi juga berasal dari jiwa yang tidak pernah menyerah. Saya mungkin tidak bisa lagi berlari, tidak bisa lagi melakukan banyak hal yang dulu begitu mudah saya lakukan. Tapi selama saya masih bisa menulis, masih bisa berbagi semangat dan harapan, saya merasa perjuangan ini belum selesai, meski fisik saya terbatas, semangat untuk terus berkarya dan berkontribusi tidak akan pernah padam.

Menulis di Tengah Derita

Menulis bagi saya adalah cara untuk tetap berkomunikasi dengan dunia luar, meski tubuh ini terbatasi oleh ruang dan waktu. Di atas dipan inilah, saya menemukan kembali kekuatan dalam diri, sebuah semangat yang tak pernah benar-benar pudar. Setiap kata yang tertuang adalah refleksi dari keteguhan hati, sebuah perlawanan terhadap rasa sakit yang mencoba menguasai. Melalui tulisan, saya ingin menyampaikan pesan bahwa meskipun tubuh ini mungkin tidak sekuat dulu, jiwa saya tetap hidup dan berjuang.

Tentu saja, ada momen-momen di mana rasa sakit itu tak tertahankan. Ada saat-saat di mana menulis terasa sangat sulit, bahkan sekadar memikirkan kata-kata pun terasa begitu berat. Tapi saya percaya, setiap kata yang berhasil saya tulis adalah bentuk lain dari kemenangan, sebuah pencapaian yang mungkin terlihat kecil, tapi sangat berarti dalam kondisi seperti ini.

Semangat Berbalut dengan Canda

Bagi banyak orang yang mengenl saya selama ini, mungkin masih terlihat saya ceria dan penuh semangat. Namun, mereka tidak selalu dapat melihat apa yang terjadi di balik layar. Setiap kali rasa sakit itu datang, saya mencoba menutupinya dengan canda dan tawa, selain tentu berdo’a kepada Allah ta’ala, hal ini bukan untuk lari dari kenyataan ataupun berpura-pura kuat, akan tetapi sebagai salah satu cara untuk tetap mempertahankan semangat hidup. Candaan itu adalah bentuk lain dari perlawanan, sebuah pelarian yang memberi jeda dari kenyataan yang pahit.

Tulisan-tulisan ini adalah cara saya untuk tetap terhubung dengan dunia, sebuah bentuk eksistensi yang tak terbatas oleh ruang dan waktu dan ini adalah cara saya untuk tetap terhubung dengan dunia, sebuah bentuk eksistensi yang tak terbatas oleh ruang dan waktusemangat, meskipun tubuh ini sering kali menjerit karena rasa sakit.

Ikhtiar dan Tawakal

Di tengah semua ini, ikhtiar medis dan non-medis tetap menjadi bagian penting dari perjalanan saya. Saya terus berusaha mencari pengobatan yang terbaik, mencoba berbagai terapi, dan selalu berdoa agar Allah memberikan kesembuhan. Namun, saya juga menyadari bahwa ada hal-hal yang berada di luar kendali saya, dan di situlah pentingnya tawakal. Saya serahkan semua hasilnya kepada Allah, yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

Tawakal bagi saya bukan berarti pasrah tanpa usaha. Sebaliknya, ia adalah bentuk kepasrahan setelah segala upaya maksimal telah dilakukan. Saya percaya bahwa segala yang terjadi dalam hidup ini, termasuk sakit yang saya alami, adalah bagian dari rencana Allah yang lebih besar. Mungkin saya tidak selalu mengerti mengapa harus mengalami ini semua, tapi saya yakin, di balik semua ini ada hikmah yang luar biasa.

Tulisan-tulisan ini adalah cara saya untuk tetap terhubungjiwa ini tetap hidup. Saya bisa terus menyuarakan pemikiran, berbagi pengalaman, dan memberikan semangat kepada mereka yang membacanya. Tulisan-tulisan ini adalah cara saya untuk tetap terhubung dengan dunia, sebuah bentuk eksistensi yang tak terbatas oleh ruang dan waktusan ini adalah cara saya untuk tetap terhubung dengan dunia, sebuah bentuk eksistensi yang tak terbatas oleh ruang dan waktu.

Mungkin tidak semua tulisan saya memberikan dampak yang besar, mungkin hanya sedikit yang merasa terinspirasi. Tapi jika ada satu saja orang yang merasa dikuatkan, merasa tidak sendirian dalam perjuangan hidupnya, maka saya merasa apa yang saya lakukan tidak sia-sia. Resonansi dari tulisan-tulisan ini adalah bonus, tetapi intinya adalah pesan bahwa meski fisik saya tidak bisa hadir, jiwa saya tetap ada, tetap berjuang, dan tetap hidup melalui kata-kata.

Perjuangan yang Tak Pernah Padam

Berteriak dari atas dipan adalah refleksi dari sebuah perjuangan yang tak pernah padam. Semoga tulisan-tulisan ini bisa menjadi saksi dari perjalanan hidup saya, sebuah bukti bahwa meski tubuh ini mungkin tak lagi mampu, semangat dan jiwa ini akan terus hidup, berjuang, dan memberikan yang terbaik hingga akhir hayatku kelak mudah saya lakukan. Tapi selama saya masih bisa menulis, masih bisa berbagi semangat dan harapan, saya merasa perjuangan ini belum selesai.

Inilah cara saya bertahan, inilah cara saya tetap berjuang. Fisik saya mungkin terbatasi, tetapi jiwa saya terus berteriak, menyuarakan bahwa saya masih di sini, masih hidup, dan masih berjuang melalui setiap kata yang saya tuliskan. Semoga tulisan-tulisan ini bisa menjadi saksi dari perjalanan hidup saya, sebuah bukti bahwa meski tubuh ini mungkin tak lagi mampu, semangat dan jiwa ini akan terus hidup, berjuang, dan memberikan yang terbaik hingga akhir hayat. Wallahu a’lam.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Rakerwil V Hidayatullah Jatim Ditutup, Ketua DPW Apresiasi Pelayanan Tuan Rumah

Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) V Hidayatullah Jawa Timur resmi ditutup pada hari Ahad, 19 Januari 2024, di Situbondo. Dalam...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img