AGAMA itu nasihat. Demikian pesan singkat Kanjeng Nabi Muhammad, semoga shalawat dan salam terindah senantiasa tercurah kepadanya, kepada setiap umatnya.
Hadits tersebut disalin oleh Imam an-Nawawi dalam Kitab Arbain Nawawiah yang berisi kumpulan empat puluh hadits pokok di kehidupan manusia.
Yakni, jika ilmu adalah agama maka sumber ilmu adalah nasihat itu sendiri. Bahwa sebentang masa kehidupan manusia, hakikatnya sehampar itu pula nasihat demi nasihat hadir di sekelilingnya.
Dalam kehidupan ini, manusia hanyalah berpindah dari satu nasihat kepada nasihat berikutnya. Dari satu pelajaran kepada pelajaran selanjutnya. Itulah mengapa hidup di dunia harus senantiasa dihiasi dengan ilmu dan menjadi manusia pembelajar.
Karena, menuntut ilmu masanya tak berbilang dan tiada berbatas. Tak kenal tepi apalagi tapi. Ilmu mesti dicari dan terus dipelajari. Penuh kesungguhan, keikhlasan, dan kesabaran yang indah.
Jelasnya, mari simak kembali hadits yang diriwayatkan Imam Muslim tersebut. “Agama itu adalah nasihat”. Kami (sahabat) bertanya: “Untuk siapa ?” Nabi bersabda: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam-Imam kaum Muslimin dan bagi kaum Muslimin umumnya”.
Jadi sesungguhnya tak perlu risih dengan kata nasihat. Apalagi sampai alergi atau antipati. Tak elok pula berkata bosan menyimak nasihat. Hidup manusia memang tak lepas dari lingkaran nasihat yang memagarinya.
Realitasnya, manusia butuh pengingat selalu. Itu fitrah. Jika urusan ini diingkari, justru tampaklah kebodohannya. Itu berarti ia senang terkungkung. Bersembunyi di balik dalam tempurung keegoannya. Hanya karena suka menampik kebaikan yang ditawarkan pada dirinya. Hanya karena bukan namanya yang duluan disebut, atau receh-receh keangkuhan lainnya.
Inilah rahasia di balik keberuntungan yang disuguhkan kepada orang-orang beriman dalam hidupnya. Karena jiwa mereka selalu terasah dengan nasihat yang dikumpulkan. Di sana ada ibrah dan uswah, ada basyiran dan nadziran dari nasihat tersebut.
Manusia yang imannya hidup, juga tidak membatasi nasihat sepagar ceramah di mimbar atau pengajian di majelis taklim semata. Bahkan yang tak bersuara pun bisa jadi pengingat yang berguna. Asal dirinya peka dan jiwanya bersih dalam menerima asupan hati.
Perhatikan saja, gigi-gigi yang mulai keropos, sendi tulang yang perlahan mengilu, uban yang kian bercahaya, hingga kematian itu sendiri. Semuanya secara bergantian terus mengingatkan manusia dalam bisu.
Olehnya, terkadang nasihat tersebut bukan persoalan suka atau senang. Bukan asal cocok atau tidak cocok. Tapi selayaknya manusia memang butuh untuk selalu diingatkan. Kehidupan ini berputar dan akan tiba masanya roda itu berhenti di tempat yang ditentukan.
Maka beruntunglah manusia yang selalu ingat kepada Penciptanya. Sebagaimana rugi dan celakalah dia yang masih saja lalai dengan berbagai alasan yang dibuatnya. Penuh sesal nanti, ia cuma bisa berucap. Duhai, kiranya saya hanyalah sebutir debu saja di dunia ini.
Bagaimana dengan manusia yang tak kunjung mempan dengan nasihat? Nyatanya demikian. Ada orang yang berratus-ratus judul buku telah dilahapnya. Tak berbilang kajian, seminar, ceramah agama pernah dikunjunginya.
Titel ilmunya pun adalah sarjana tentang ilmu agama. Pun dari lulusan sekolah atau kampus berlabel agama pula. Atau mungkin ia berkawan dan bertetangga dengan orang-orang shaleh di sekitarnya. Tapi dirinya sendiri cuma bisa larut menikmati hidup foya-foya, penuh kesia-siaan.
Dalam hal ini, selain faktor hidayah sebagai hak kuasa Allah, Nabi Muhammad juga mengingatkan, bahwa nasihat yang bermanfaat adalah yang datangnya dari hati dan diterima melalui hati pula. Itulah adab.
Adab bagi yang memberi nasihat dan adab bagi yang menerima nasihat. Sama-sama butuh saling mengoreksi diri. Khawatir dia bermaksud menyampaikan nasihat atau menerima nasihat (menuntu ilmu), namun keduanya lupa untuk membersihkan hati terlebih dahulu.
Jika itu terjadi, maka nasihat yang diberi hanya sampai di lidah dan kerongkongan semata. Sebagaimana nasihat yang diterima cukup tertampung sebagai kumpulan pengetahuan di otak saja. Tak mampu menembus hati.
MASYKUR SUYUTHI, penulis pendidik di Kampus Induk Pondok Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak Balikpapan