![](https://hidayatullah.or.id/wp-content/uploads/2024/09/quran-masa-kini.jpg)
ADA yang menggelitik dari khutbah Jumat tadi. Sang khatib bercerita tentang pengalamannya saat diundang mengisi sebuah acara di salah satu daerah di Sulawesi. Sebelum beliau tampil, seorang santri belasan tahun maju ke depan untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Suasana tiba-tiba hening. Lantunan ayat yang begitu merdu dan penuh kekhusyukan membuat hadirin terpukau, termasuk seorang pejabat yang hadir di acara tersebut.
Dengan raut wajah penuh kagum, pejabat itu tak bisa menahan kekagumannya dan berkata, “Masya Allah, luar biasa!”
Mendengar hal itu, guru si santri pun dengan bangga berkata, “Alhamdulillah, anak ini sudah hafal 30 juz.”
Seketika, mata sang pejabat semakin berbinar. Ia lalu memanggil santri itu, merangkulnya dengan penuh kehangatan, dan bertanya dengan polos, “Masya Allah, kamu sudah hafal 30 juz ya, Nak? Jadi sekarang tinggal berapa juz lagi?”
Guru yang tadi dengan bangga memperkenalkan santrinya, kini malah terperangah. Sejenak ia bingung, tak tahu harus menjawab apa. Dalam hatinya ia bertanya, “Memangnya Al-Qur’an ada 39 juz?”
Kisah ini memberi kita gambaran jelas. Betapa seseorang yang jarang bahkan tidak pernah berinteraksi dengan Al-Qur’an bisa sangat asing dengan sesuatu yang mendasar dalam agama ini. Ia mungkin mengagumi, tetapi tidak memahami.
Inilah cerminan dari realitas umat saat ini. Kekaguman terhadap Al-Qur’an tidak cukup jika tidak diiringi dengan pemahaman dan interaksi yang lebih dalam. Karena tanpa itu, bisa jadi seseorang berpikir bahwa Al-Qur’an masih ada lanjutannya setelah 30 juz.
*) Muhammad Anzar, pegiat media sosial dan dai Hidayatullah tinggal di Balikpapan