
BALIKPAPAN (Hidayatullah.or.id) — Berbagai dinamika perubahan kurikulum pendidikan hendaknya tak mengubah visi dasar pendidikan dalam membangun peradaban Islam. Pendidikan adalah realisasi dari keyakinan dan keimanan seseorang.
Inilah peran strategis seorang pendidik sebagai figur terdepan sekaligus punya tanggung jawab besar dalam merealisasikan visi tersebut. Mendidik murid untuk memiliki orientasi peradaban Islam.
Uraian mendalam itu disampaikan oleh KH Anwari Hambali, Pembina Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah (YPPH) Balikpapan, khususnya yang membidangi Pendidikan dan Pengkaderan.
“Peradaban itu manifestasi keimanan. Semua aspek pendidikan-pengkaderan adalah satu kesatuan dengan keimanan seseorang. Mulai dari tujuan, proses, hingga ruh seorang guru adalah cermin keunggulan imannya,” ungkapnya, beberapa waktu lalu seperti dikutip dari laman Ummulqurahidayatullah.id, Senin, 25 Syaban 1446 (24/2/2025).
“Ada istilah, ath-thariqatu ahammu minal maddah, dan puncaknya adalah wa ruhul mudarris ahammu min kulli syai,” ucapnya menerangkan ungkapan populer tersebut.
Bahwa proses pembelajaran itu lebih penting dari materi pendidikan. Namun tetap saja yang paling pokok ialah kekuatan jiwa seorang guru, sebagai modal utama dalam menginspirasi dan mencerahkan sekaligus memberi keteladanan kepada murid-muridnya.
Lebih jauh, Kiai Anwari menjelaskan tentang hubungan antara ketetapan Allah (tauqifi) dan kreativitas manusia (ijtihadi).
Keduanya disebut saling berkaitan dalam kehidupan manusia, termasuk pada persoalan pendidikan.
Ketentuan Allah, lanjut Kiai Anwari, bersifat universal dan mencakup semua aspek. Tak hanya berupa firman Allah, tetapi juga yang berbentuk ciptaan-Nya.
“(Pendidikan) ini berkaitan dengan keselamatan dunia-akhirat. Saya membayangkan tanggung jawab guru ini besar sekali. Sangat penting dan tidak main-main,” ucapnya lugas.
Hukum Tauqifi
Sebagai contoh sederhana, kiai yang dijuluki pakar Sistematika Wahyu itu lalu memberi ilustrasi kacamata yang disebutnya sebagai ijtihad manusia.
“Kacamata itu ijtihadi. Kenapa desain gagang kacamata di atas telinga, itulah yang disebut kreativitas manusia tetap tunduk terhadap gaya tarik bumi (hukum tauqifi). Jadilah kacamata bermanfaat, itulah amal shaleh,” terangnya.
“Mengapa Nabi begitu tegas dalam kasus perempuan yang mencuri dari Bani Makhzum? Karena di hadapan hukum tauqifi tidak ada perbedaan, antara Nabi dan kita semua,” tambah pria asal Purbalingga ini.
Terakhir, Kiai Anwari mengingatkan tentang manhaj Sistematika Wahyu sebagai pola dasar pendidikan dan pengkaderan. Urutan turunnya wahyu tersebut, menurutnya bagian dari hukum tauqifi.
“Ini adalah manhaj tarbiyah dan manhaj dakwah. Karena tauqifi, pilihannya cuma sami’na wa atha’na. Ini tidak main-main,” pungkasnya dengan nada tetap penuh semangat.*/Abu Jaulah