
BALIKPAPAN (Hidayatullah.or.id) — Kunjungan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah KH. Naspi Arsyad, Lc., ke Kampus Induk Gunung Tembak, Balikpapan, medio November 2025 lalu, menghadirkan ruang refleksi mengenai arah pendidikan dan peran nilai dalam pembentukan karakter santri.
Di tengah suasana pertemuan malam hari bersama para pegiat media sosial yang merupakan lulusan pesantren, ia menegaskan bahwa urusan pendidikan tidak cukup diukur dari pelayanan dan fasilitas semata, tetapi terletak pada nilai yang ditransformasikan para pendidik kepada santri.
“Ini harus jadi evaluasi pendidikan Hidayatullah sekarang dalam mendidik dan melahirkan generasi pelanjut perjuangan dakwah Islam,” ujarnya, menekankan pentingnya aspek nilai sebagai inti proses pendidikan.
Pertemuan yang berlangsung hangat di Kedai Rabiul, sebuah pusat kuliner tidak jauh dari kawasan pesantren Gunung Tembak, menjadi momen berbagi cerita tentang perjalanan masa muda sang ketua umum.
Meski memikul amanah baru memimpin organisasi pusat, KH. Naspi tetap menunjukkan kepribadian yang akrab dengan lingkungan pesantren, termasuk kebiasaannya bercengkerama, menyapa siapa saja, serta menyelipkan humor dalam percakapan. Malam itu, ia kembali mengisahkan perjalanan nyantrinya yang menjadi bagian penting pembentukan dirinya.
Dalam perbincangan tersebut, KH. Naspi menirukan cerita lama keluarga dan tetangga di kampungnya di Sulawesi Selatan. Ia mengenang bagaimana orang-orang sempat mempertanyakan keputusannya merantau jauh untuk belajar agama di Gunung Tembak.
“Jadi ada keluarga yang bertanya, eh kemae Naspi (kemana Naspi)?”
“Oh, lampai pesantreng, di Balikpapang (Oh, dia pergi (mondok) di pesantren, di Balikpapan),” ucapnya menirukan sebuah dialog dengan logat Makassar, Sulawesi Selatan (14/11/2025).
Ia melanjutkan cerita tentang tetangga yang heran karena mendengar bahwa ia bukan hanya belajar agama, tetapi juga sering mencangkul, berkebun, hingga membantu bertukang saat pembangunan gedung-gedung pesantren.
Kisah itu menimbulkan keheranan tersendiri, mengingat keluarganya yang dikenal sebagai keluarga terpandang di kampung. Ayahnya, yang akrab disapa Dg. Lalang, dianggap memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk menyekolahkan anak ke lembaga pendidikan ternama.
“Di kampung itu, asumsinya kalau bertani atau berkebun itu pekerjaan ekonomi menengah ke bawah biasanya,” ujarnya, menggambarkan perspektif yang berkembang di lingkungan kampungnya.
Karena itu, ketika kabar menyebar bahwa ia turut melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, muncul pertanyaan besar dari tetangga mengenai apa sebenarnya yang dipelajari di pesantren Balikpapan.
Cerita tersebut justru memunculkan perhatian luas di kampungnya. Ia menjelaskan bahwa pengalaman mondoknya sempat menjadi bahan pembicaraan, bahkan “viral” dalam istilah masa kini.
Keputusan anak Dg. Lalang untuk menempuh pendidikan di pesantren ternyata mendorong beberapa kerabat, keluarga, dan tetangga untuk ikut menyekolahkan anak mereka ke pesantren Hidayatullah di Balikpapan. Naspi mengenang bagaimana sebagian orang tua kemudian menggunakan keteguhan dirinya sebagai contoh untuk memotivasi anak yang merasa tidak betah.
“Eh, kamu tidak malukah, anaknya Dg. Lalang saja bisa bertahan, masak kamu tidak bisa bersabar,” ucapnya sambil tersenyum mengenang kejadian itu.
Bagi Ketua Umum DPP Hidayatullah tersebut, perjalanan masa nyantri memberikan pelajaran mendalam tentang pentingnya keteladanan dan nilai. Dalam pertemuan itu, ia menegaskan kembali bahwa pendidikan di pesantren semestinya berorientasi pada pembentukan karakter dan pembiasaan, bukan semata pada fasilitas atau layanan.
Ia menyampaikan bahwa penguatan values menjadi bagian utama dalam mencetak generasi pelanjut perjuangan dakwah, terlebih di era ketika informasi cepat beredar dan kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan sangat dipengaruhi kualitas keteladanan.
“Termasuk soal membangun kepercayaan publik dan peranan media sekarang,” ungkapnya menutup percakapan dengan para pegiat media sosial yang juga berprofesi sebagai guru dan dai.






