Perkampungan Pengkaderan Yang Diimpikan
Sejak terjadinya Gerakan 30 September / PKI tahun 1965 tidak pernah lagi lepas dari benaknya bagaimana melanjutkan pengkaderan dengan cara yang lebih matang. Dia sangat mensyukuri sistem pengkaderan yang dilakukan oleh PII, HMI, Pemuda Muhammadiyah, GP-Anshor dan pelajar-pelajar,pemuda-pemudi, mahasiswa-mahasiswi Islam yang lain. Karena tidak dapat disangkal bahwa dengan adanya pengkaderan-pengkaderan yang walaupun berjalan apa adanya, ada yang menjadi garda dan ujung tombak pengganyangan terhadap organisasi kebathilan yang ingin memadamkan cahaya Islam itu.
Namun ke depan, pengkaderan harus diprogram lebih intensif untuk menelorkan kader-kader yang lebih mumpuni dan lebih konsisten didalam memperjuangkan dan mempertahankan nilai-nilai Islam. Muhsin Kahar menganggap bahwa Gerakan Komunis yang berhasil ditumbangkan itu hanya sebagian kecil dari bentuk gerakan kebathilan. Akan muncul gerakan-gerakan lebih dahsyat dalam bentuk dan nama yang lain. Sehingga kita tidak boleh terlalu euforia dengan kemenangan yang telah kita raih. Kita jangan terpana dengan hasil yang telah kita dapatkan tapi harus segera bangkit mempersiapkan kader-kader yang lebih matang dan lebih siap pakai.
Untuk itulah ketika dia mendapat amanah sebagai Ketua Biro Da’wah Dan Publikasi Pemuda Muhammadiyah Wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara priode 1966-1968 dia manfaatkan peluang itu untuk melakukan pengkaderan. Pengkaderan yang ingin dilakukannya adalah ingin membuka semacam perkampungan untuk pusat pengkaderan. Ulama-ulama dan pakar-pakar sebagai tenaga pengajar dan pelatih akan dibuatkan tempat tinggal senyaman mungkin agar orang terhormat yang sudah mulai langka itu tidak lagi terganggu pikirannya oleh tetek bengek urusan dunia. Dalam perkampungan ini dapat dijalankan syari’at Islam dengan bebas. Penertiban pergaulan tentu dapat diatur dengan baik.
Sampai kepada masalah pernikahan dapat dilaksanakan dengan mudah. Termasuk biaya pendidikan anak-anaknya dan biaya-biaya lainnya akan ditanggung pengurus. Sehingga konsentrasinya hanya kepada pengkaderan. Untuk itu Muhsin Kahar bersama teman-temannya yang sejiwa dan seperasaan dengan dia telah membuat komitmen untuk bekerja keras memenuhi segala fasilitas yang diperlukan. Yang penting pengkaderan ini dapat berjalan lancar dan sukses. Didalamnya juga akan disiapkan tempat berkebun dan berternak unggas, kambing dan sapi. Lokasinya ditata seasri mungkin yang membuat penghuninya betah karena disamping menyejukkan mata juga menghasilkan rupiah.
Di Cina dan Syanggit
Lokasi yang akan digunakan untuk maksud tersebut telah ditemukan di Kabupaten Bone, jelasnya di Kecamatan Cina atas jasa Ketua Pemuda Muhamamdiyah Daerah Kabupaten Bone, Khalik Hayat. Luasnya ratusan hektar. Sangat memungkinkan untuk sebuah perkampungan pengkaderan.
Nantinya di tempat itu akan diterima utusan-utusan dari seluruh daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara, bahkan dari seluruh Indonesia.
Ide untuk membuka pusat pengkaderan yang memerlukan areal yang cukup luas ini, adalah karena terilhami oleh sebuah tulisan didalam buku Rangkaian Mutu Manikam, kumpulan buah pikiran Kyai Hadji Mas Mansur[17]. Dalam buku itu diceritakan pengalaman Kyai H.Mas Mansur, ketika masih belajar di Universitas Al-Azhar Kairo. Putra Kyai Haji Ahmad Marzuki di Surabaya itu pernah berkunjung ke sebuah tempat pengkaderan yang terletak ditengah-tengah Benua Afrika, sebelah selatan kota Tripoli. Perjalanan kesana dari Kairo (Mesir) memakan waktu enam hari enam malam lebih 3,5 jam dengan menggunakan onta. Desa tempat pengkaderan itu bernama Syanggit. Dipimpin oleh seorang ulama, Seikh Sidi Abdullah. Di tengah desa itu terdapat sebuah sungai yang melintas. Disekitarnya penuh tanaman kurma dan tin. Ada juga ladang gandum. Tempat pengkaderan itu memiliki 100 ekor sapi dan 250 ekor kambing peliharaan. Ada juga beberapa ekor onta dan kuda. Itu semua adalah milik Syeikh Sidi Abdullah sekeluarga yang mengelola tempat pengkaderan itu.
Penghuninya terdiri dari 5000 orang santri. Memiliki sebuah asrama yang terdiri dari 100 kamar yang luas. Kegiatan santri sehari-hari adalah pada jam 04.00 santri-santri bangun untuk shalat Subuh diimami langsung oleh pimpinannya. Setelah shalat Subuh masing-masing santri masuk ke kamarnya untuk mengulang pelajarannya. Jam 07.00 hingga jam 10.00 berada di kelas untuk belajar. Keluar dari kelas tersebar ada yang ketepi sungai, ada yang ke bawah pohon membawa pelajarannya masing-masing hingga waktu dhuhur masuk. Setelah shalat Dhuhur dan makan siang mereka tidur hingga jam 15.30. Setelah usai shalat Ashar diadakan latihan pidato dan berdebat.
Antara shalat maghrib dan Isya diberi kebebasan untuk beribadah sesuai yang dikehendaki. Ada yang tadarrus Al-Qur’an, ada yang melakukan wirid, ada yang tafakkur, ada yang berdiskusi tentang hadits, ada yang menulis. Begitulah hingga waktu Isya masuk. Ba’da Isya mengikuti pelajaran maksus dalam ilmu tasawuf dan pelajaran akhlak hingga jam 23.00. Setelah itu santri-santri shalat tahajjud hingga jam 24.00. Usai shalat tahajjud barulah santri-santri diperkenankan masuk kamar masing-masing untuk tidur. Demikian berlangsung setiap hari. Khusus pada hari Jum’at santri-santri berolah raga: menunggang kuda, berenang, latihan perang-perangan,dll.
Santri-santri setiap pagi mendapat suguhan segelas susu sapi, tengah hari dibagikan lagi satu gelas susu sapi dengan satu potong roti dan keju serta zaitun. Ba’da Ashar mendapat gorengan korma yang teramat lezat rasanya beserta satu cangkir susu kambing. Ba’da Isya santri-santri mendapat lagi suguhan setengah potong roti, tiga buah tin dan setengah gelas susu sapi.
Lamanya belajar di pondok ini adalah 5 tahun. Diantara 5000 santri ada 500 orang yang hafal Qur’an, hampir 1000 orang yang menghafal kitab Muwatta, karangan Imam Malik. Gedung perpustakaannya cukup besar. Tapi tidak ada buku filsafat. Kitab Ikhya ‘Ulumuddin tidak didapati pada deretan buku-buku di perpustakaan itu. Kalau ada santri yang sakit dikeluarkan dari pondok untuk ditempatkan di tempat perawatan yang ditemani 2 orang yang ditunjuk oleh sisakit. Di pondok ini dilarang keras merokok. Semua santri pandai berenang dan menunggang kuda. Keanehan lain yang terasa, tidak seorangpun perempuan yang nampak di desa itu sampai anak-anak perempuan kecil sekalipun. Seolah-olah desa itu adalah desa laki-laki.
Kalau ada santri yang telah menamatkan pelajarannya Sidi Abdullah mengadakan acara syukuran untuk menjamu seluruh santri dengan memotong 3 ekor sapi dan 5 ekor kambing. Kalau santri-santri yang telah tamat itu akan meninggalkan pondok diantar oleh Syeikh Sidi Abdullah dan seluruh guru-guru serta santri-santri. Dikala akan berpisah semua meneriakkan takbir.
Cerita K.H.Mas Mansur ini yang membuat Ustadz Muhsin Kahar sangat tertarik dan memberinya dorongan keras untuk juga dapat membuat perkampungan pengkaderan seperti itu. Karena sebelumnya memang sudah sering terlintas dipikirannya walaupun masih remang-remang, bagaimana dapat mewujudkan tempat pengkaderan yang betul-betul dapat mengahasilkan kader-kader yang handal dan mumpuni. Tentu tidak seperti itu persis yang akan didirikannya tapi akan disesuaikan dengan kondisi. Dia gigih sekali memperjuangkan idenya itu. Keyakinannya mengatakan bahwa apa yang ada di tengah-tengah Benua Afrika itu Insya Allah dapat juga diwjudkan di Sulawesi Selatan. Itu yang menyebabkan setiap pertemuan keinginannya itu selalu diketengahkan dengan maksud agar orang-orang tua yang dianggap berkempeten dapat tergugah. Dijelaskan bahwa, “Hal ini jangan dianggap terlalu ideal. Karena kalau diupayakan dengan penuh kesungguhan Insya Allah untuk mewujudkannya tidaklah seberat yang dibayangkan. Dan kami bersama teman-teman angkatan muda telah membuat komitmen untuk itu”. Demikian selalu dijelaskan.
Setelah berulang kali diangkat dalam pertemuan sampai pihak orang-orang tua Muhammadiyah mungkin kehabisan alasan untuk menolaknya dan memang orang-orang tua itu memiliki kecenderungan mewujudkan perkampungan pengkaderan seperti yang di inginkan Muhsin Kahar dan kawan-kawan itu. Akhirnya setelah melewati pembicaraan yang berulang-ulang saran itu diterima dan diperintahkan kepada anak-anak muda ini untuk mulai bekerja dengan penuh kesungguhan.
Edaran untuk pendaftaran ikut pendidikan ini telah tersebar keseluruh wilayah Sulselra. Umumnya pimpinan-pimpinan daerah Muhammadiyah merespons edaran itu dengan senang hati. Karena terasa sekali kurangnya tenaga muballigh di daerah-daerah. Dengan adanya pendidikan muballigh ini diharapkan dapat mengatasi krisis da’i. Apalagi kalau tamatan pendidikan ini dapat juga mengadakan pendidikan yang sama sebagaimana tercantum dalam edaran. Paling tidak mampu mencetak tenaga-tenaga khatib yang dapat disebar mengisi khutbah Jum’at di mesjid-mesjid yang kian bertambah jumlahnya tidak seimbang dengan jumlah muballigh yang dapat menjadi khatib.
Pimpinan-pimpinan Daerah Muhammadiyah di daerah-daerah bukan hanya merespons dengan pernyataan tapi langsung mengirim tenaga untuk mengikuti pendidikan ini. Sehingga terkumpul 40 orang peserta. Persepsi mereka dari Makassar akan bersama-sama berangkat ke Kecamatan Cina Kabupaten Bone, seperti yang ada dalam edaran.
[17] Pahlawan nasional, ulama besar dan politisi kawakan, Ketua PP Muhammadiyah priode 1936-1942. Buku ini disusun oleh Drs. Amir Hamzah Wirjosukarto yang beredar tahun 1968.