“PUASA adalah separuh kesabaran”. Demikian sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, riwayat Tirmidzi, yang ditukil oleh Said Hawwa, dalam buku beliau; Tazkiyatu al-Nafs.
Pertanyaannya; bagaimana puasa bisa melatih kesabaran seseorang?
Oke. Perhatikanlah tuntunan dalam melaksanakan puasa. Ibadah puasa mengharuskan seseorang untuk menanggalkan segala jenis makanan. Tak terkecuali yang halal. Apalagi haram.
Dalam kurun waktu tertentu; yaitu mulai dari terbitnya fajar, hingga tenggelamnya matahari. Untuk yang sudah menikah, ada tambahan. Yaitu, tidak bersenggama di siang hari. Kalau malam boleh.
Sungguh meninggalkan sesuatu yang pada asalnya halal, bahkan ada bernilai ibadah (berhubungan suami-istri), bukan perkara ringan. Hanya orang yang bersabarlah yang bisa lulus ujian. Bagaimana ia tidak menjamah segala jenis makan di hadapnnya, karena belum tiba waktu berbuka. Ini butuh kesabaran.
Adakah mereka yang kandas. Oh, banyak. Bukan rahasia umum, khususnya di negeri ini, yang notabene berpenduduk mayoritas Muslim, masih banyak yang tidak berpuasa. Bahkan, beberapa tahun silam, berkembang isu agar; “Orang berpuasa menghormati hak mereka yang tidak berpuasa.”
Kenapa bisa terjadi demikian? Alasannya karena tidak sabar menahan diri dari lapar dan dahaga.
Dalam sejarah umat terdahulu, ada kaum yang diuji oleh Allah untuk tidak meminum air sungai yang mereka lewati, kecuali seteguk.
Nyatanya kebanyakan dari mereka juga gagal. Karena memilih memilih meminum air itu, bahkan ada yang mengambil untuk bekal. Itulah keadaan yang menimpa pasukan Tholut.
Pun demikian, bagaimana bisa menahan diri untuk tidak menggauli istri pada siang hari, ini juga butuh kesabaran. Kalau tidak, maka akan gagal.
Seperti kisah salah seorang Sahabat yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan melaporkan bahwa ia telah berkumpul dengan sang istri pada siang hari pada bulan Ramadhan.
Mencangkup Mental
Luar biasanya, ternyata pelatihan sabar melalui Ramadhan ini, ternyata tidak hanya mencakup ujian perut dengan di bawah perut semata. Sebagaimana diulas di atas. Namun juga mencangkup mental. Atau sikap dari kaum Muslimin.
Misal, bagaimana tuntunan Allah agar berperilaku jujur. Bicara yang baik-baik saja. Jangan pernah mengucapkan yang buruk. Diam itu lebih baik. Mereka yang tidak mengindahkan tuntunan ini, puasanya dianggap batal. Meskipun secara lahiriah masih puasa.
Upaya menahan lidah untuk tidak mudah berucap, ini adalah ujian kesabaran yang luar biasa. Tidak mudah. ‘Naluri-nya selalu ingin mengomentari apa saja yang disaksikan oleh mata. Persis dengan yang dialami oleh Nabi Musa, ketika belajar dengan Khidir. Syaratnya satu;
“Jangan engkau tanyakan sesuatu yang engkau lihat, sampai aku sendiri nanti akan menjelaskannya.”
Tapi nyatanya, beliau gagal. Tiga kali menyaksikan peristiwa, sebanyak itu pula beliau mengajukan pertanyaan. Tidak mudah, bukan!
Selanjutnya, dalam ibadah puasa ini, Allah menuntun kaum Muslimin jangan menjadi pribadi pemarah. Mudah terpancing emosinya. Tapi harus ditahan. Hatta sampai kalau ada yang berusaha mencari gara-gara, cukup beri respons dengan mengatakan;
“Aku tengah berpuasa”
Sungguh, bila ajaran kesabaran yang ada di bulan puasa ini benar-benar kita hayati, kemudian kita praktikkan. Rasa-rasanya bukan mustahil seusai Ramadhan, jiwa ini akan menduduki singgasana termulia; sabar. Seperti kata Sa’id Hawa dalam bukunya tersebut di atas;
“Apabila kesabaran termasuk kedudukan jiwa yang tertinggi, maka puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk bersabar.”
Mulia dan Solutif
Buah dari kesabaran itu banyak. Dua di antaranya adalah kemuliaan dan solusi dari permasalahan. Untuk perkara yang pertama. Semua orang tentu mengharapkan kemulian hidup.
Maka sabar menjadi satu di antara kuncinya. Mari kita berkaca kepada Nabi Allah Ismail. Berkat kesabarannya menerima ujian dari Allah lah, yang menjadikannya mulia. Baik itu di hadapan makhluk, maupun Khalik.
Ketika datang kepadanya kabar dari Allah, melalui mimpi sang ayah, Nabi Ibrahim, bahwa ia akan disembelih. Jawabnya; “Lakukanlah wahai ayahanda. Insya Allah, kelak engkau akan mendapati nanda sebagai orang yang sabar.”
Allah pun memuliakan dua hamba shaleh ini. Jejak mereka dijadikan teladan segenap manusia setelahnya. Khususnya di Idul Adha, kisah mereka selalu dikenang.
Kemudian, sabar sebagai solusi dari pemasalahan. Mari dalam kasus ini kita belajar kepada Nabi Ya’qub, tatkala kehilangan keduan anak kesayangannya; Yusuf dan Bunyamin. Kata-kata yang keluar; “Fash-shabrun jamiil” (Maka kesabaran yang baik itulah -kesabaranku).
Dengan modal sabar ini, Nabi Ya’qub kemudian mampu memberikan solusi-solusi cerdas, sebagai ikhtiar untuk mengembalikan kedua anaknya yang telah hilang. Bagaimana hasilnya? Sukses. Keduanya kembali di pangkuan beliau.
Selagi ini masih awal-awal Ramadhan, mari kita maknai lebih dari praktik ibadah puasa yang tengah kita jalani. Jadikan ajang pengasah diri untuk menjadi pribadi penyabar. Wallahu ‘alam.*
KHAIRUL HIBRI, penulis adalah Sekretaris PW Syabab Hidayatullah Jawa Timur, pengasuh santri Ponpes Hidayatullah Surabaya dan Ketua komunitas PENA Jatim