AdvertisementAdvertisement

Al-Alaq sebagai Tantangan Intelektual Menemukan Tuhan

Content Partner

TULISAN ini bukanlah sebuah tafsir, melainkan hasil ikhtiar refleksi diri mentadaburi surah Al-‘Alaq yang penulis merasa perlu renungkan kembali dari sebuah materi kajian majelis pekanan.

Refleksi ini menarik ingatan penulis pada sebuah makalah diskusi yang pernah dibuat dan menjadi bahan diskusi menarik sekira 15 tahun silam dengan judul “Menemukan Tuhan dengan Akal”.

Dalam perjalanan pemikiran yang penulis tuangkan pada makalah tersebut, menjelajahi pencarian tentang Tuhan melalui kemampuan akal manusia, yang dalam pandangan ini sangat erat dengan perintah “iqra” dalam ayat-ayat pertama Al-Quran diturunkan.

Dengan penyegaran dari kajian yang penulis dapatkan mencoba mengelaborasi, menatadaburi sebagai upaya untuk mengaitkan dan menguatkan pembacaan antara filsafat (aktivitas intelektual) dan wahyu, serta bagaimana keduanya saling melengkapi dalam mengarahkan manusia menuju pemahaman tentang Tuhan.

Iqra’ sebagai Tantangan Filsafat

Perintah pertama dalam wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad adalah “Iqra”—bacalah, berfilsafatlah. Ayat ini sering dipahami sebagai ajakan kepada manusia untuk memulai dengan membaca teks atau ayat-ayat yang tertulis.

Namun, dalam konteks tadabur ini, perintah “bacalah” juga bisa dipahami sebagai dorongan untuk mengaktifkan seluruh instrumen pemahaman manusia, termasuk penglihatan, pendengaran, dan hati.

Dalam arti yang lebih dalam, jika filsafat adalah aktivitas berfikir secara sistematik dan radikal menemukan kebenaran, perintah “bacalah” ini merupakan tantangan bagi manusia untuk “berfilsafatlah”, yaitu menggali makna hidup dan kehidupan menjangkau eksistensi dengan kemampuan terbaik akalnya–secara sistemik, radikal dan bebas.

Ketika manusia benar-benar berfilsafat, sampailah pada penemuan sebuah eksistensi yaitu harus adanya Sebab Pertama, atau apa yang disebut oleh Aristoteles sebagai Prime Mover—Sesuatu yang menjadi sebab bagi segala sesuatu, tetapi tidak disebabkan oleh apapun.

Namun, disinilah kebingungan dimulai. Dalam sejarah filsafat, meskipun banyak yang sepakat akan adanya Tuhan sebagai sebab pertama, para filsuf berbeda pendapat tentang siapa Tuhan itu sebenarnya.

Ada sikap skeptis, berjalan dalam kebingungan, sementara yang lain menciptakan konsep-konsep mistis tentang Tuhan sesuai dengan keterbatasan akal dan persepsi mereka. Hingga pun mereka sampai pada “bismirabbik” (dengan nama Tuhanmu), namun tidak tahu pasti siapa Tuhan itu sebenarnya.

Menariknya, menurut hemat penulis, “bismirabbik” adalah konsekuansi dari membaca. Siapapun yang membaca akan mengikatkan diri pada bacaanya. Sambungannya ujung ayat pertama “alladzi khalaq” semacam pernyataan tantangan yang datang dari sebuah pengatahun “jika kalian membaca dan menemukan Tuhan atau sesuatu yang mengikatkan diri pada bacaan kalian, siapakah itu (ikatan/Tuhan) yang dimaksud?”

Manusia yang berfilsafat mungkin bisa sampai pada konsep yanga mengikat diri atas bacaan katakalanlah konsep Tuhan sebagai sebab pertama, tetapi mereka tetap berada dalam keraguan tentang siapa Tuhan itu sebenarnya. Maka, ayat pertama ini perintah sekaligus menjadi tantangan: jika kalian telah membaca dan menemukan Tuhan, mampukah Tuhan kalian menciptakan?

Di sini, muncul perdebatan yang panjang dalam filsafat. Jean-Paul Sartre dan Nietzsche, misalnya, berpendapat bahwa konsep Tuhan adalah ilusi yang diciptakan oleh manusia. Sartre melihat eksistensi manusia sebagai absurditas tanpa tujuan, sedangkan Nietzsche menyatakan bahwa Tuhan telah mati—sebuah pernyataan bahwa konsep Tuhan tidak lagi relevan bagi moralitas dan makna hidup manusia modern.

Bahkan, Descartes yang mengandalkan akal dalam menemukan Tuhan lewat argumen “Cogito ergo sum” (Aku berpikir maka aku ada), juga tidak mampu memberikan gambaran definitif tentang Tuhan atau sesuatu yang ada itu selain sebagai gagasan abstrak.

Menjawab Kebingungan Filsafat

Dalam kebingungan dan ketidakmampuan akal menjawab tantangan pada ayat pertama secara lengakapnya. Ayat kedua dari Surah Al-‘Alaq, yakni dengan mengulang kata “alladzi khalaq” (yang menciptakan), muncul sebagai jawaban atas kebingungan filsafat tentang Tuhan.

Tuhan yang diperkenalkan di sini adalah Tuhan yang menciptakan. Ini adalah Tuhan yang bukan hanya konseptual, bukan pula Tuhan yang dipersepsikan atau direkayasa oleh imajinasi manusia, melainkan Tuhan yang nyata, yang menciptakan segala sesuatu.

Ayat ini adalah pemutus perdebatan filsafat yang sering menemui kebuntuan ketika harus menjelaskan siapa Tuhan itu. Friedrich Nietzsche mungkin telah menyatakan bahwa Tuhan telah mati, tetapi ayat ini dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan yang sebenarnya adalah Tuhan yang menciptakan.

Menegaskan bahwa Tuhan yang diperkenalkan oleh Al-Quran bukan sekadar Tuhan yang dipahami secara filosofis, tetapi Tuhan yang memiliki kuasa penuh, Tuhan yang telah menciptakan manusia dari alaq (segumpal darah).

“Alaq” di sini melambangkan bahwa manusia berasal dari sesuatu yang sangat sederhana dan tidak berdaya. Dari situ, Tuhan membentuk manusia menjadi makhluk yang kompleks, berakal, dan mampu berpikir. Hal ini memberikan penjelasan yang kuat bahwa Tuhan lebih dari sekadar Sebab Pertama; Dia adalah Tuhan yang menciptakan dari ketiadaan dan dengan jelas memulai eksistensi manusia.

Dengan penjelasan ini, belum ada jawaban konsep Tuhan secara intelektual dan fenomenal yang sebelumnya mengawali dan mampu menjelaskan sejak kemunculan ayat ini baik sebagai subtitute dan bahkan second opinion sekalipun.

Mengenal Tuhan yang Maha Mulia

Ayat ketiga, “Iqra’ wa rabbukal akram” (Bacalah, dan Tuhanmu adalah Yang Maha Mulia), membawa perintah “bacalah” ke tingkat yang lebih dalam. Setelah mengenali Tuhan sebagai Pencipta, manusia diajak untuk memahami bahwa Tuhan juga adalah Yang Maha Mulia (al-Akram).

Filsafat mungkin membawa manusia untuk menemukan Tuhan sebagai pencipta, tetapi manusia tetap akan meraba-raba dalam memahami kemuliaan Tuhan dan hubungannya dengan makhluk ciptaan-Nya.

Kemuliaan Tuhan tidak hanya terletak pada penciptaan, tetapi juga pada bagaimana Dia mengurus dan mengajarkan makhluk-Nya. Tuhan tidak menciptakan manusia lalu meninggalkannya begitu saja, tetapi dengan penuh kasih dan kebijaksanaan, Dia mengajarkan manusia melalui wahyu dan akal.

Ini adalah pengingat bahwa manusia, seberapapun kuatnya dalam berpikir dan berfilsafat, tetap memerlukan bimbingan dari Tuhan yang Maha Mulia.

Dalam filsafat, konsep Tuhan sering dipahami sebagai penggerak utama yang tidak terlibat dalam kehidupan makhluknya. Namun, ayat ini menantang konsep tersebut, menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya mencipta, tetapi juga terus terlibat dalam mengajarkan manusia, bahkan mengurusi, menjaga semua ciptaaNya.

Kemuliaan Tuhan ini mengingatkan kita pada bahwa setiap makhluk, terutama manusia, membutuhkan Tuhan bukan hanya sebagai pencipta, tetapi sebagai pendidik dan pengajar.

Pengajaran Ilahi

Ayat keempat, “alladzi ‘allama bil qalam” (yang mengajarkan dengan pena), menjelaskan lebih lanjut tentang peran Tuhan sebagai pengajar. Tuhan, dengan segala kemuliaan-Nya, mengajarkan manusia melalui alat komunikasi yang paling mendasar: pena. Pena di sini adalah simbol dari ilmu pengetahuan, tradisi intelektual, dan kemampuan manusia untuk belajar dan mencatat.

Dalam konteks ini, wahyu menegaskan bahwa manusia pada dasarnya tidak tahu apa-apa. Bahkan dengan semua kemampuan berfilsafatnya, manusia tetap tidak akan bisa mencapai pemahaman yang sempurna tentang Tuhan tanpa pengajaran langsung dari Tuhan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh para filsuf seperti Heidegger, manusia modern mengalami krisis makna dalam kehidupan. Mereka mungkin memahami realitas fisik, tetapi mereka tetap kebingungan dalam menghadapi realitas metafisik. Inilah peran pengajaran Ilahi yang menjembatani kebingungan manusia dalam pencarian makna.

Ayat kelima sebagai pamungkas mempertegas bahwa kebingungan, perdebatan yang panjang tak berujung adalah keadaan yang melekat bahwa pengetahuan manusia terbatas. Maka “allama al-insana ma lam ya’lam” (mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya), menutup tadabur ini dengan pernyataan yang sangat jelas bahwa hanya dengan pengajaran Tuhanlah manusia dalam keterbatasannya bisa mengetahui hakikat hidup, alam semesta, dan dirinya sendiri.

Tuhan mengajarkan manusia apa yang tidak ia ketahui, termasuk tentang dirinya sendiri dan tentang Tuhan. Tanpa pengajaran Ilahi, manusia akan tetap berada dalam kebingungan meskipun mereka berusaha keras mencari Tuhan melalui akal dan filsafat.

Refleksi ini adalah upaya untuk menggabungkan antara pencarian filsafat (aktivitas intelektual) dan tadabur wahyu dalam memahami Tuhan. Ketika manusia berfilsafat, ia akan sampai pada batas akalnya, dan pada titik itulah wahyu datang sebagai penjelasan yang paling pasti, lengkap dan siap.

Perintah “iqra’” membawa manusia untuk merenungkan alam semesta, dirinya sendiri, dan sampai pada pengakuan bahwa Tuhan yang menciptakan ini adalah satu-satunya Tuhan yang layak disembah.

Lima ayat pertama surah Al-‘Alaq semacam pondasi bagi para pencari kebenaran hakiki. Menunjukkan bahwa Tuhan bukan hanya Pencipta, tetapi juga Pengajar yang Maha Mulia, yang dengan penuh kasih sayang mengajarkan dan mengurusi makhluk-Nya apa yang tidak mereka ketahui. Filsafat mungkin membantu kita menemukan Tuhan, tetapi hanya wahyu yang dapat mengenalkan Tuhan dengan sepenuhnya. Wallahu ‘alam.

*) Rusman Abdillah, S.E, penulis adalah intern researcher di Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect) dan Kepala Sekolah SD Integral Ummul Quro Hidayatullah Karawang, Jawa Barat

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Hidayatullah dan Revitalisasi Peran Muballigh dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

PERAN muballigh dalam mencerdaskan kehidupan bangsa di Indonesia sangatlah penting. Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi, muballigh terus menjadi...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img