SEBAGAI salah satu nasabah Bank Muamalat Indonesia, saya tergerak untuk ikut menanggapi apa yang sedang dialami oleh Bank Syariah paling awal di negeri ini.
Memperhatikan dinamika yang ada, baik di media mainstream, maupun di media sosial, yang ternyata begitu hot, bahkan cenderung “liar” terhadap Bank Muamalat yang “dikupas” dari berbagai macam sudut informasi, data dan ulasan. Baik ulasan berdasarkan pakem yang ada maupun, ulasan yang out of the box.
Kesemuanya, seolah menjadi ramuan yang terasa lebih “nikmat.”Dari ini semua, terutama perspektif yang berbeda, dan melahirkan pendekatan yang berbeda, mendorong saya sebagai nasabah ikut berpendapat dalam konteks BMI ini.
Sebagaimana kita ketahui, Bank Muamalat Indonesia (BMI) adalah bank pertama yang menerapkan prinsip syariah dalam operasionalnya,di Indonesia. Perjuangan mendirikan Bank Pertama yang beroperasi sesuai syariah itu, melibatkan banyak pihak, sebagai representasi ummat Islam saat itu.
Ulama, pengusaha, birokrat dan umat islam, bahu-membahu bersinergi dalam membangun ekonomi umat. Sehingga terkumpul total dana sekitar Rp. 110 miliar, dana yang sangat besar untuk mendirikan bank, sebab saat itu berdasarkan Pakto 1998, modal untuk mendirikan bank, cukup Rp. 10 miliar(Anif, et all : 2014).
Melalui perjuangan yang panjang itu, maka Bank Muamalat resmi berdiri pada 1 November 1991, tetapi baru beroperasi penuh pada 1 Mei 1992.
Dan, dengan berdirinya Bank Syariah ini, menandai kebangkitan ekonomi syariah di tanah air.Sehingga wajar, jika kemudian umat merasa bangga dan ikut memiliki kehadiran BMI ini.
Meskipun semua itu ternyata masih belum berbanding lurus dengan keperpihakan secara nyata dari sebagian besar umat Islam sendiri. Artinya, dalam menempatkan dananya masih belum berada di Bank Syariah.
Kendati demikian, jika kemudian ada praktik-praktik di BMI yang menurut persepsi umat, dengan keterbatasan informasi yang dimiliki, dianggap tidak sesuai dengan syariah, maka umat akan reaktif, bahkan tidak jarang yang “menyerang”, melalui media sosial.
Dan, lagi-lagi ini tidak sekedar wujud dari sense of belonging, tetapi hal ini sudah merupakan dari manifestasi iman, karena bank syariah dianggap sebagai representasi dari penegakkan syariah melalui ekonomi syariah.
Meskipun kemudian kehadiran BMI sebagai bank yang dioperasionalkan sesuai dengan prinsip syariah ini, tidak selalu mendapat apresiasi yang positif. Ada saja yang “sinis” terhadap kehadiran BMI ini, dengan berbagai agumen yang diusungnya.
Tetapi sejarah membuktikan bahwa kehadiran BMI ini, pada akhirnya mendongkrak tumbuhnya industri keuangan syariah, dan bisnis syariah lainnya, yang menjamur dewasa ini.
Dan, inilah, yang seharusnya menjadikan modal bagi tumbuh kembangnya Sistem Ekonomi Syariah kedepan, bukan hanya sebagai alternatif, namun wajib menjadi pilihan.
Olehnya, terlepas apa latar belakangnya, sudah selayaknya umat Islam, menjadi pelaku dalam menggerakkan ekonomi Islam ini. Untuk itu, gagasan tentang implementasi praktek ekonomi Islam, mesti selalu dikontekstualkan.
Tuntutan Bisnis
Sampai saat ini, market share Bank Syariah masih berada pada kisaran 5% dari total Perbankan Indonesia. Dalam masa 25 tahun sejak didirkan BMI, meskipun tumbuh, namun belum signifikan. Diyakini, banyak faktor yang memengaruhinya, mengapa belum terjadi percepatan industri keuangan syariah ini.
Namum, salah satu penyebabnya adalah, hampir semua Bank Syariah (BS)aset dan modalnya masih kecil, maksimal berada di buku 2, dibandingkan dengan hegemoni Bank Konvensional. Dan, “modal kecil serta aset kecil” inilah, yang juga melanda BMI.
Disinilah sesungguhnya tantangan bisnis itu dihadapi oleh BMI. Sebenarnya BMI dan juga BS lainnya, juga terus mengalami pertumbuhan. Namun dengan market share yang kecil tersebut, maka pertumbuhannya tidak nampak, bahkan tenggelam dengan pertumbuhan bank konvensional.
Berdasarkan laporan semester I tahun 2017, kinerja BMI tumbuh dengan baik. Mengalami peningkatan perolehan laba, dan mengalami penurunan NPF. Artinya secara bisnis BMI sedang tumbuh dengan baik.
Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, bahwa sesuai ketentuan regulator, setiap bank yang ingin bertumbuh besar, salah satu syaratnya harus memenuhi syarat dalam hal CAR (Capital Adecuacy Ratio). Dan, komponen utama dari CAR adalah modal.Bank tidak boleh berkembang lebih besar lagi jika syarat CAR tidak terpenuhi.
Artinya dengan modal yang dimiliki pada saat itu hanya bisa membuat bank berkembang sesuai dengan modal yang dimilikinya. Dalam satu sisi terdapat nilai positifnya, jika aset tumbuh dengan sehat maka bisa menggerus CAR. Artinya secara bisnis, BMI mengalami pertumbuhan.
Kita semua sangat ingin melihat Bank Muamalat ini tumbuh besar, bila perlu melebihi bank-bank konvensional yang ada, agar bisa memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat dan umat. Namun dengan modal yg tersedia sekarang, BMI hanya boleh tumbuh seperti sekarang ini, tidak boleh lebih besar lagi karena keterbatan modal tadi.
Untuk kepentingan menambah kembali CAR, yang ditembuh oleh BMI adalah dengan melakukan right issue saham. Dengan adanya right issue ini, maka investor akan berebut membeli atau juga menghindar.
Ketertarikan orang membeli adalah, setelah melihat ROI/ROA (Return on Investment/Return on Asset). Jika ROI/ROA nya positif, maka sangat logis,jika kemudian investor berebut untuk membeli ini. Mereka (para investor) itu tentu melihat dari berbagai aspek, dan yang paling utama adalah dari spek bisnis.
Nah berangkat dari situ, maka wajar jika kedepannya BMI berencana untuk menerbitkan saham baru dalam rangka memperbesar modal tersebut sehingga bisa bertumbuh menjadi lebih besar lagi sesuai yang diharapkan oleh masyarakat (umat).
Untuk menerbitkan saham baru dalam rangka menambah modal yang ada sekarang (jadi bukan menjual saham dari pemegang saham yang ada sekarang, sebagaimana berita-berita di media masa), tentunya akan menawarkan terlebih dahulu kepada semua pemegang saham existing untuk menjadi membeli saham-saham yang nanti akan diterbitkan tersebut dengan istilah HMETD (Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu).
Heboh
Sebagaimana biasa, sebagian dari umat seringkali reaktif terhadap isu yang berkembang. Sebenarnya ini wajar, sebab sebagai wujud sayang dan keinginan serta rasa memiliki sebagaimana saya jelaskan di atas.
Dalam kaca umat, ada keinginan untuk untuk menerapkan syariat Islam secara kaaffah, termasuk di bidang perbankan syariah ini. Maka setiap hal yang disinyalir “mereduksi” syariat Islam, pasti direspon dengan berbagai cara.
Kehebohan ini, akan terus berlanjut dan akan menjadi bola liar, jika tidak ada respon positif berupa penjelasan dari BMI misalnya. Umat mencari pembenaran dan kebenaran melalui berbagai media, terutama media sosial.
Industri perbankan, yang sebenarnya sangat sedikit dipahami oleh umat, sebagaimana biasanya, mendadak kita jumpai pengamat perbankan ini, dengan sumber copy-paste, tanpa dibekali keilmuan yang memadai.
Namun, sebagai perusahaan terbuka, selayaknya BMI memberikan press release yang memberikan penjelasan, sejelas-jelasnya, sehingga tidak menimbulkan kebingunan umat. Dan ada panduan/ pedoman yang jelas untuk mensikapi hal tersebut.
Godaan
Ketika tuntutan bisnis melahirkan tantangan dan peluang, maka pada saat yang bersamaan, bisa juga mendatangkan godaan yang menggiurkan.
Godaan dimaksud adalah terkait dengan terpenuhi kebutuhan secara bisnis, berdasar rasio perhitungan bisnis, sebagaimana dijelaskan di atas.
Bukan hanya apa yang menjadi prasarat, tetapi lebih dari itu, mampu memberikan gambaran proyeksi dan proteksi masa depan yang menjanjikan.
Inilah yang saya maksud dengan godaan itu. Yaitu kehadiran PT Mina Padi Investana Sekuritas Tbk (PADI)yang menyatakan minat untuk menjadi pembeli siaga (standby buyer).
Meskipun beberapa waktu lalu santer terdengan bahwa PADI mau masuk ke BMI, namun beberapa hari belakangan ini pembicaraan terhadap PADI ini menjadi hangat.
Di berbagai media sosial, termasuk dibeberapa WAG (WhatsApp Group) yang saya ikuti diskusi tentang ini, dengan berbagai macam analisa bermunculan. Termasuk membahas siapa MP termasuk orang-orang yang menduduki sebagai eksekutif dan komisaris diperusahaan itu, yang diragukan komitmen dan keberpihakannya terhadap Islam.
Meskipun belakangan saya juga mendengar, bahwa ada orang-orang besar muslim, yang memanfaatkan PADI sebagai “vehicle” untuk masuk ke BMI. Kesemuanya masih samar, namun bahwa PADI sebagai standby buyer adalah sebuah kenyataan.
Sebagai pembeli siaga, tentunya masuknya PADI adalah menunggu dari bagaimana para pemegang existing saham melalui skema HMETD itu mengambil keputusan.
Jikalau nanti pemegang-pemegang saham existing tersebut, tidak berminat membeli saham-saham yang nantinya akan diterbitkan tersebut, maka langkah PADI akan menjadi mulus, jika ternyata pemegang saham membeli saham baru yang diterbitkan, maka langkah PADI untuk kali ini gagal.
Sebagaimana, kita ketahui, tawaran dari PADI sebagai standby buyer, adalah siap mengucurkan dananya sebesar Rp. 4,5T atau setara dengan 51% saham.
Proposal dari PADI ini, secara pragmatis merupakan jawaban secara perhitungan kalkulasi bisnis dimaksud. Namun benarkah ini akan menyelesaikan masalah, atau bahkan membawa musibah?
Butuh Proses
Namun sekedar untuk memberikan penjelasan alias informasi awal, bahwa MP saat ini sebagaimana tersebut di atas, baru pada tahap sebagai Standby Buyer / Pembeli Siaga, berkenaan dengan rencana peningkatan modal BMI tersebut.
Sebagai perusahaan publik (tbk), maka melalui keterbukaan informasi publik, PADI me-release rencana pembelian BMI tersebut.
Namun, sebagaiman ketentuan yang ada, maka existing shareholder diberikan prioritas untuk membeli namun apabila tdk terbeli oleh existing shareholder, maka PADI akan memiliki kesempatan untuk membelinya.
Tetapi untuk membeli saham yang baru diterbitkan tersebut, masih ada proses-proses yang harus dilalui, seperti kesepakatan harga, persetujuan OJK (otoritas Jasa Keuangan) dan lain-lain.
Selain itu, mengingat nilai pembeliannya adalah lebih dari sepuluh kali lipat modal PADI maka MP juga harus melakukan peningkatan modal terlebih dahulu.
Sebagaimana kita ketahui dari laporan Semester I tahun 2017 aset MP adalah Rp. 478,39M, sedangkan nilai transaksi saham yang akan dilakukan untuk mendapatkan 51% saham tersebut adalah Rp. 4,5T.
Dalam proses ini mungkin baru akan bisa diketahui, siapa sebebarnya ultimate shareholder Bank Muamalat, melalui MP. Dan sekali lagi ini butuh proses, butuh waktu, termasuk sumber dana dari MP untuk membeli saham BMI tersebut.
Sebagaiman kita ketahui melalui berbagai media, OJK juga akan mengkaji aksi korporasi PADI ini. Dimana OJK akan menimbang antara lain: menimbang kemampuan keuangan serta kredibilitas bakal calon pemegang saham BMI. Termasuk memperlebar size (menambah modal untuk pembelian saham) sebagaimana dimaksud di atas. Dan ternyata OJK pun masih belum menerima ajuan aksi korporasi tersebut.
Existing Shareholder adalah kunci
Dari penjelasan di atas, tentunya rencana penerbitan saham baru ini, termasuk pembelian oleh PADI adalah atas izin pemegang saham existing (existing shareholder). Artinya pemegang saham yang adaakan menentukan perubahan komposisi saham, sebagaimana jual beli saham biasa.
Pemegang saham existing harus peka terhadap keinginan umat tersebut. Tidak bisa lagi, para pemegang saham existing berkelit, bahwa hal ini hanya urusan bisnis an-sich. Tetapi dalam sekala tertentu, ini merupakan pembelaan atas tegaknya peradaban islam.
Jika kemudian umat dengan pengetahuan terbatas itu (meskipun tidak sedikit yang faham juga) bereaksi keras atas keinginan masuknya PADI sebagai pemegang saham (mayoritas) adalah sebuah kewajaran.
Spirit 212, yang diikuti dengan aksi-aksi berikutnya, beberapa waktu lalu, merupakan salah satu wujud dari bersatunya umat Islam, tidak hanya berdampak politis, namun mampu dikapitalisasi sebagai kekuatan ekonomi umat, tidak bisa di nafikan. Pemegang saham, harus memahami ini semua, sebagai energi positif bagi bangkitnya ekonomi umat.
Dari sini, maka sekalilagi seharusnya pemegang saham melihat semua ini sebagai sebuah “modal” yang patut diapresiasi, sehingga dalam HMETD, mereka justru mengambil langkah yang membuat umat semakin simpati atas BS, terutama BMI. Karena ada keberpihakan yang jelas terhadap umat Islam. Paling tidak, mereka tidak membiarkan pembeli saham baru kepada investor, yang diragukan keberpihakan terhadap umat.
Jika pemegang saham, gagal menghadirkan harapan umat ini, maka yang terjadi bisa jadi umat melakukan rush, menarik semua simpanan, melakukan take over semua pembiayaan dari BMI ke Bank Syariah lainnya.
Atau, lebih jauh dari itu, akan lahir kesimpulan bahwa tidak ada bedanya antara BS dan Konvensional. Jika ini yang terjadi, bukan menyelesaikan masalah tetapi membawa musibah. Na’udzubillah.
Beberapa Solusi
Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan, dengan satu semangat untuk mengembalikan kepemilikan BMI ke pelukan umat Islam Indonesia.
Sebagaimana dijelaskan di awal, spirit dari pendirian BMI saat itu adalah untuk memberikan akses permodalan bagi umat Islam Indonesia, untuk medekatkan dengan akses permodalan. Sehingga saat pendiriannya, 100% saham BMI dimilki oleh Umat Islam Indonesia.
Namun kini, setelah 25 tahun sejak berdirinya BMI, komposisi kepemilikan saham saat ini, sekitar 65% lebih dimiliki oleh pemegang saham asing. Meskipun semuanya masih mewakili institusi Islam. Baik oleh Islamic Development Bank, Bank Boubyan, Atwill Holding Limited, National Bank of Kuwait dan lain sebagainya.
Jika kondisi saat ini, dipandang sebagai momemtum, maka energi 212 yang terus membesar itu, merupakan potensi umat yang bisa diarahkan ke sini.
Disamping itu, jika pemerintah juga memiliki keberpihakan yang kongkrit terhadap ekonomi umat, maka saat ini, adalah momentum yang tepat untuk melakukan penempatan modal di BMI atau dengan berbagai regulasi dan skema yang tidak bertetangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Tentu ada term and conditions, agar BMI lebih mengedepankan pembiayaan kepada umat Islam, Perusahaan milik Muslim serta Ormas Islam.
Beberapa solusi yang bisa kami tawarkan adalah sebagai berikut:
- Umat Islam melalui skema sebagaimana dilakukan oleh KS212, melakukan penghimpunan dana, dan selanjutnya dana yang terhimpun di KS212,dibelikan saham di BMI.
- Ormas Islam dan Pengusaha Muslim, secara mandiri maupun bersama-sama melalui MUI atau melalui Badan Usaha (Amal Usaha) yang dimiliki oleh Ormas, dan bisa juga melalui Perusahaan Investasi yang dimiliki pebngusaha muslim, dari dana yang dihimpun tadi, membeli saham BMI
- BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan LAZ (Lembaga Amil Zakat) Nasional, menerbitkan program wakaf tunai (wakaf uang/melalui uang), untuk menghimpun dana, dan selanjutnya konversi sebagai saham BMI
- Dana BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji), diinvestasikan untuk membeli saham BMI, dengan melihat potensi yang ada lebih dari Rp. 80T dana haji yang terkumpul, maka jika 10% (Rp. 8T) dibelikan saham BMI, maka BPKH akan menjadi pemegang saham pengendali.
- Dilakukan merger dengan Bank Syariah milik BUMN (baik dengan BUS maupun UUS), sehingga menjadi Bank Syariah terbesar di Indonesaia, tidak hanya di Buku 3, tetapi langsung melonjak ke-buku 4.
Tentu saja, kelima solusi ini memerlukan effort yang besar, dan tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak realistis. Perlu kajian yang komprehensip, baik dari sisi syar’i (fiqh) maupun pendekatan bisnisnya.
Namun jika tidak kita mulai dari sekarang dan ada ada upaya yang serius ke-arah sini, maka bisa jadi salah satu aset umat Islam, berupa Bank Syariah ini, akan lepas dan hilang dari pelukan umat Islam. Dan, kemudian menjadi bank yang bungkusnya adalah Bank Syariah, tetapi praktek, content, pemilik dan pelakukanya, jauh dari nilai-nilai ke-Islaman itu sendiri.
Kita tidak lagi bisa terus-menerus berteriak-teriak dipinggiran, sambil mengarahkan telunjuk kita ke BMI (atau BS lainnya), lalu dengan serampangan dengan mudah kita menguliti kekurangannya. Dengan enteng bilang bahwa BMI dalam ancaman kungkungan aseng dan asing, tanpa memberikan solusi.
Maka kini saatnya, kita ambil bagian (meminjam istilah Pak Heppy Trenggono) untuk ‘Bela sekaligus Beli Bank Muamalat Indonesia’. Semoga Allah memudahkan. Wallahu a’lam.*
_________
*)ASIH SUBAGYO, Ketua Bidang Perekonomian DPP Hidayatullah