AdvertisementAdvertisement

Harapan Besar dan Harapan Kecil

Content Partner

ADA seorang teman alumni mahasiswi sedang curhat dengan penulis, “Ustadz, setiap saya mengingat harapan besar dari tempat tugas saya, maka saya koq merasa terbebani dan rasanya ingin berhenti saja.” Ini sudah kesekian kalinya dia rasakan.

Sebenarnya harapan besar orang lain kepada kita adalah wajar dan harus. Wajar karena mereka menginginkan perubahan dan kemajuan yang lebih baik. Apalagi dengan hadirnya tenaga baru maka harapan itu semakin meluap. Harapan besar sebagai keharusan karena itulah ruh yang memompa kesemangatan menuju masa depan yang lebih baik.

Bisa dibandingkan dan dirasakan, ketika pimpinan atau atasan kita berharap begini,” Iya, sudahlah Dik, ndak usah sungguh-sungguh, biasa-biasa saja dan jalani apa adanya!” Mungkin yang kita rasakan santai, nyaman dan tenang. Tapi yakinlah, kita tidak akan pernah bisa meraih kesuksesan besar.

Harapan besar bisa menjadi sugesti untuk meraihya. Ada cerita presiden pertama replubik ini, bahwa ibunya sering berkata kepadanya,” Hei Sukarno, belajar yang sungguh-sungguh. Engkau nanti akan menjadi pemimpin besar!” kemudian Sukarno kecil bertanya, “kenapa saya harus bisa menjadi pemimpin besar?”. “Karena engkau lahir di pagi hari dan itu tanda-tanda calon pemimpin besar” Kata ibunya menjelaskan.

Ini bukan klenik dan mitos doank. Tapi ini berdasarkan referensi pengalaman-pengalaman masa lalu yang selanjutnya menjadi rumus kehidupan, bahwa bayi yang lahir di pagi hari akan menjadi pemimpin besar. Pengalaman-pengalaman orang lain di masa lalu menjadi sugesti yang selanjutnya menjadi motivasi dan keyakinan untuk meraih harapan tersebut.

Namun, ini sangat terkait dengan mentalitas orang yang bersangkutan. Jika Sukarno saat itu, merasa terbebani, tidak percaya dan tidak juga mau bergerak untuk bersungguh-sungguh untuk belajar dan berlatih. Maka mungkin, tidak ada yang kenal Sukarno selain tetangga dan saudaranya di kampung sebagai pemuda biasa-biasa saja.

Jadi harapan besar harus diiringi dengan usaha yang besar untuk meraihnya sebagai kesuksesan besar nantinya. Hanya orang yang bermental kerdil saja yang merasa ciut terhadap harapan besar orang lain kepadanya. Semestinya menjadi motivasi tapi malah menjadi beban berat dan seolah mau gantung diri. Bukan memberikan kekuatan atau energi tapi menjadi mimpi buruk baginya.

Orang-orang kecil karena harapan kecil di pundaknya. Besar dan kecilnya seseorang digantungkan dengan harapannya. Atau harapannya yang membentuk dia menjadi orang besar atau orang kecil.

Harapan adalah musik irama yang menentukan gerak langka kita dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Jika musik irama itu kecil dan suaranya yang lirih maka geraknya juga tidak heboh dan ramai. Tapi orang bisa menari dengan dengan aktratif jika musik yang mengiringinya heboh dan besar.

Hidup tanpa harapan ibarat orang berjalan tanpa tujuan, orang menari tanpa musik. Gimana jadinya? Tentu tidak jelas, hambar dan aneh kelihatannya. Harapan harus dibangun setinggi mungkin untuk menjadi kompas penentu arah langkah kehidupan di masa depan. Wallahu a’lam bish bishawwab.

***Ditulis oleh Abdul Ghofar Hadi (Ketua STIS Hidayatullah)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Kesalehan Ritual dan Sosial, Spirit Idul Fitri dalam Transformasi Diri dan Masyarakat

JAKARTA (Hidayatullah.or.id) -- Ketua Bidang Dakwah dan Pelayanan Ummat (Dakwah Yanmat) Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Ust. H. Drs....
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img