AdvertisementAdvertisement

Inersia dalam Organisasi

Content Partner

PADA mulanya, konsep inersia berasal dari ilmu fisika, khususnya dalam hukum Newton, yaitu mengenai gerak.

Secara ringkas, inersia atau kelembaman atau kelengaian adalah kecenderungan semua benda fisik untuk menolak perubahan terhadap keadaan geraknya. Secara numerik, ini diwakili oleh massa benda tersebut.

Prinsip inersia adalah salah satu dasar dari fisika klasik yang digunakan untuk memberikan gerakan benda dan pengaruh gaya yang dikenakan terhadap benda itu.

Kata inersia berasal dari kata bahasa latin, “iners”, yang berarti lembam, atau malas.

Konsep inersia ini kemudian diadopsi ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam ilmu sosial dan manajemen organisasi, untuk merujuk pada kecenderungan organisasi atau individu untuk tetap pada keadaan yang sudah ada, terutama dalam konteks resistensi terhadap perubahan.

Sehingga, dalam konteks organisasi, inersia bukan sekadar kecenderungan tetap pada kebiasaan atau keadaan yang ada, melainkan perlawanan terhadap perubahan yang sering kali melambatkan kemajuan.

Inersia bisa termanifestasi dalam bentuk keengganan terhadap ide-ide baru, ketidaksiapan untuk merombak struktur atau proses yang sudah ada, atau kesulitan dalam menghadapi ketidakpastian masa depan. Seringkali, inersia adalah musuh utama bagi perubahan progresif dan inovasi dalam organisasi.

Bagaimana Inersia Terbentuk?

Sebenarnya, banyak sekali teori yang menjelaskan tentang bagaimana cara inersia itu terjadi dalam sebuah organisasi. Dalam berbagai perspektif dapat diuraikan.

Dan, dalam tulisan ini, kami menyampaikan 3 (tiga) hal tentang bagaimana inersia terentuk sebagai berikut:

Pertama, terletak pada kenyamanan dengan status quo. Banyak organisasi cenderung terjebak dalam rutinitas yang sudah ada, terutama jika mereka telah sukses dalam masa lalu. Hal ini menciptakan lingkungan di mana usaha untuk memperkenalkan perubahan dihadapi dengan resistensi.

Kedua, inersia juga terbentuk karena keengganan untuk merombak struktur atau proses yang sudah ada. Selain itu juga tidak mampu merepon dinamika eksternal organisasi, karena seringkali membutuhkan upaya ekstra, waktu, dan risiko yang dapat terasa tidak sebanding.

Ketiga, inersia juga terbentuk karena kejenuhan terhadap aktifitas dalam organisasi yang terkesan monoton. Sehingga menjadi apatis terhadap apa yang terjadi dalam organisasi. Menyebabkan tidak peduli terhadap keberlangsungan organisasi, karena merasa tanpa harapan (hopeless).

Dengan demikian, maka inersia bukanlah masalah kecil dalam dunia organisasi. Organisasi yang terlalu terpaku pada keadaan yang ada dapat kehilangan kepekaan terhadap perubahan dalam lingkungan mereka, akhirnya menjadi tidak relevan, atau gagal mengantisipasi perubahan yang diperlukan.

Oleh karena itu, mengatasi inersia memerlukan langkah-langkah strategis.

Solusinya melibatkan pengembangan budaya yang terbuka terhadap perubahan. Ini melibatkan pendekatan inklusif di mana seluruh anggota organisasi merasa dihargai dan didengarkan dalam mengusulkan perubahan.

Komunikasi yang transparan, motivasi untuk belajar dan inovasi, serta memfasilitasi lingkungan yang mendorong eksperimen, semuanya dapat membantu memecah inersia dalam organisasi.

Mengatasi Inersia dalam Organisasi Islam

Dalam konteks organisasi Islam, inersia bukanlah sekadar gejala statis, melainkan tantangan yang mendasar dalam mengejar kesempurnaan. Inersia adalah kecenderungan untuk tetap pada keadaan yang sudah ada, menolak perubahan, dan menghadapi hambatan dalam adaptasi.

Bagi organisasi Islam, inersia bisa termanifestasi dalam ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat yang berubah, pengulangan rutinitas tanpa evaluasi mendalam, dan kesulitan dalam menerima ide-ide baru atau solusi yang belum teruji dalam lingkungan yang terus berubah.

Bahasa inersia terdengar dalam ungkapan “kita sudah melakukannya seperti ini selama bertahun-tahun”, atau, “ini adalah cara kita melakukannya.”

Mengatasi inersia dalam organisasi Islam memerlukan perubahan budaya yang mendorong inovasi, belajar, dan keberanian untuk beradaptasi. Langkah pertama adalah melalui edukasi dan kesadaran akan urgensi adaptasi terhadap tuntutan zaman.

Organisasi perlu memberdayakan anggotanya dengan pengetahuan, memotivasi mereka untuk terbuka terhadap perubahan, dan memfasilitasi lingkungan yang mendukung kreativitas serta eksperimen. Ini juga melibatkan kebijakan yang mendorong evaluasi dan adaptasi terhadap kebijakan yang sudah ada, serta mempromosikan partisipasi aktif anggota organisasi dalam memperbaharui cara pandang dan pendekatan mereka.

Dalam konteks Islam, solusi untuk mengatasi inersia juga dapat terwujud melalui penekanan pada prinsip-prinsip keadilan, inklusivitas, dan pertimbangan etis dalam setiap langkah transformasi.

Dengan semangat terbuka terhadap perubahan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, organisasi Islam dapat melampaui inersia dan menemukan kesempurnaan yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman.

Selain hal tersebut, maka konsolidasi organisasi dengan mengajak semua elemen organisasi untuk memiliki peran dan lebih terlibat dalam mengurus organisasi, menjadi salah satu kunci dalam mengatasi inersia ini.

Bahkan, kegiatan maupun aktifitas non struktural dan sifatnya lebih kultural, sesungguhnya menjadi sarana yang tepat dan alternatif soluisi lain, ketika inersia sudah mulai dirasakan bahkan sudah terjadi dalam sebuah organisasi.

Terkait dengan inersia ini, Islam sangat menganjurkan umatnya untuk tidak bermalas-malasan. Bahkan, Nabi Muhammad Saw selalu berdoa agar dilindungi dari sifat malas ini. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi berdoa:

اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن، والعجز والكسل، والبخل والجبن، وضلع الدين وغلبة الرجال

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegalauan dan kesedihan, kelemahan dan kemalasan, kepengecutan dan kekikiran, tindihan hutang dan penindasan orang.” (HR Bukhari no 6369).

Dengan demikian maka, inersia ini merupakan penyakit. Dia bukanlah musuh tetap yang menjadi momok dan harus ditakuti, melainkan merupakan tantangan yang dapat diatasi dengan strategi yang tepat.

Dan, layaknya penyakit, ia mesti diobati dengan cepat dan tepat. Sehingga organisasi yang mampu mengelola inersia dan mendorong perubahan adaptif akan lebih siap menghadapi perubahan dan tantangan masa depan dengan lebih baik.

Wallahu a’lam.

*) ASIH SUBAGYO, penulis peneliti senior Hidayatullah Institute (HI)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

KH Hamim Thohari Tekankan Pentingnya Penyucian Jiwa dalam Pendidikan Kader

JAKARTA (Hidayatullah.or.id) -- Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Hidayatullah, KH. Hamim Thohari, M.Si, meluangkan waktunya menghadiri acara Majelis Reboan Hidayatullah...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img