Hidayatullah.or.id — Hidayatullah telah berusia empat dekade lebih menjelang gelaran Musyawarah Nasional (Munas) IV Hidayatullah di Balikpapan, Kalimantan Timur, November mendatang. Saat ini Hidayatullah telah menyebar ke berbagai penjuru nusantara, dari Aceh hingga Merauke.
Nah tahukah Anda dimana cabang Hidayatullah pertama kali berdiri setelah kampus Hidayatullah Gunung Tembak?
Sajian berseri dari redaksi Hidayatullah.or.id ini akan menapaktilasi rangkaian sejarah Hidayatullah dalam pengabdiannya untuk agama dan kemaslahatan umat.
Sajian khusus menyambut Musyawarah Nasional IV Hidayatullah ini umumnya mengutip artikel dari buku “Sejarah Hidayatullah” yang ditulis oleh almarhum Ustadz Manshur Salbu.
Cabang pertama Hidayatullah adalah Berau. Sebuah kabupaten seluas 34.127,47 km² di Kalimantan Timur. Sejak dulu kota ini masyhur dengan budidaya tambak dan beranekaragam kekayaan maritimnya ini. Konon Kabupaten Berau berasal dari Kesultanan Berau yang didirikan sekitar abad ke-14.
Cikal bakal berdirinya cabang Hidayatullah di Berau ini dirintis pertama kali oleh Almarhum Ustadz Amin Bachrun yang merupakan kader senior Hidayatullah.
Setelah “pintu masuk” dibuka, pendiri Hidayatullah Abdullah Said segera menugaskan kader lainnya yaitu Soewardhany Soekarno dan Darul Ihsan Arief. Soewardhany Soekarno bersama Darul Ihsan tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Ustadz Abdullah Said lalu segera membentuk pengurus, Darul Ihsan yang disepakati menjadi ketua, dengan pertimbangan Darul Ihsan Arief sebagai anak daerah mungkin mudah meraih simpati.
Soewardhany Soekarno menempati sebuah rumah dekat mushalla Al-Ihsan di Kampung Pembangunan. Darul Ihsan yang masih lajang tinggal sementara di rumah kakak iparnya, Guru Asmuni, seorang Kepala Sekolah SD.
Setelah terbentuk pengurus Pondok Pesantren pada bulan September 1977, dengan tidak berfikir panjang Seowardhany Soekarno dan Darul Ihsan Arief segera membuat papan nama.
Kendatipun banyak yang mengusulkan agar papan nama yang dibuat mencantumkan kata persiapan sebelum kata-kata Pondok Pesantren Al-Ihsan. Yang terjadi akhirnya dibuat papan nama bertuliskan: Pondok Pesantren Al-Ihsan – Kabupaten Berau. Inilah cabang pertama Pondok Pesantren Hidayatullah.
Seterusnya Soewardhany Soekarno yang telah menikah dengan Iis Nurjannah bersamaan dengan pernikahan Muhammad Yusuf Suradji dengan Shofiyah Kamil pada 13 Maret 1977 ke Balikpapan menjemput istri, lalu pindah ke rumah yang dibangun dengan ukuran 4m x 6m disamping mushalla.
Kedatangannya didampingi oleh Syamsu Rijal Aswien, putra Berau dari Tali Sayan dan Mukhdar Al-Bansyir, turunan Arab dari Bulongan. Keempatnya menggunakan pesawat dengan tarif Rp 25.000,-perorang.
Pengurus Pondok Pesantren Al-Ihsan giat mengupayakan agar pesantren ini jangan sekedar nama tapi betul-betul eksis. Apalagi setelah terpasang papan nama di depan Mushalla Al-Ihsan yang cukup menantang.
Pak Sukeni Dahlan sebagai orang yang punya kedudukan dipemerintahan sebagai Kepala Pajak Kabupaten Berau, mencoba mengadakan pendekatan kepada Bupati Kabupaten Berau yang pada waktu itu dijabat oleh Pak Masdar Jhon, BA untuk meminta tanah milik negara seluas 11 Ha yang terletak di kampung Pembangunan.
Permohonan yang diajukan Pak Sukeni berhasil. Maka resmilah pesantren ini memiliki tanah seluas 11 Ha ditambah dengan pemberian Pak Damat yang diambil dari pembagian tanah warisan dari orang tuanya (H.Jatman), seluas kurang lebih 1,5 Ha.
Soewardhany Soekarno selama di Berau sudah menjelajah sampai di Biduk-Biduk dan Tali Sayan. Orang tua Syamsu Rijal Aswin, Pak Aswin, seorang turunan Cina, yang menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Tali Sayan cukup banyak membantu petugas dari Hidayatullah ini melancarkan da’wahnya.
Santri-santri putri awal yang dibina Darul Ihsan di Mushalla Al-Ihsan adalah Murid-murid yang belajar ngaji pada Pak Sugeng, adik kandung Pak Sukeni, itulah yang dijadikan modal pertama sebagai santri Pondok Pesantren Al-Ihsan. Diantaranya: Wahyuningsih, Nurti’ah, Masro’ah, Marikem, Budiyah, Lastri, Nani, Rita Sahara, Nurwahidah Yunus. Anak-anak putra adalah: Muhammad Thoha, Khairoji, Misman, Misran, Subandi, Darto, Makmun, Jamil.
Soewardhany Soekarno akhirnya ditarik ke Balikpapan untuk ditugaskan di tempat lain. Setelah pembinaan berlangsung 2 tahun Darul Ihsan juga ditarik ke Balikpapan (1979), pada saat tanah pemberian Pemda baru sebagian kecil yang tersentuh.
Ustadz Amin Bachrun ditugaskan kembali ke Berau. Tanah yang memadai luasnya itu, disarankan Pak Sukeni agar ditanami padi. Kalau padinya sudah berhasil baru kita mencari santri, karena sudah ada yang dimakan.
Ustadz Amin Bachrun menyampaikan pendapat yang berbeda bahwa, “Yang bagus, Pak, kita cari dulu murid, nanti mereka yang tanami padi. Akan nikmat mereka makan kalau dari hasil karyanya sendiri, sekaligus mendidik anak-anak untuk biasa bekerja yang dapat menumbuhkan dalam dirinya rasa percaya diri, tidak cengeng”.
Akhirnya tanah pemberian pemerintah itu dimasuki Ustadz Amin Bachrun. Awalnya menempati rumah bekas Darul Ihsan kemudian pindah ke rumah yang baru dibuat berukuran 6Mx8M. Bahan-bahannya dari kayu yang diambil dari bongkaran Mesjid Raya Berau. Untuk menambah bangunan rumah di kampus, Syahrul Arief mengangkut rumahnya yang ada di Kampung Sukan ke kampus ini.
Anak-anak remaja yang berkiprah di kampus membantu Ustadz Amin Bachrun merintis rumput dan semak-semak, membantu membuat bangunan, menggarap tanah untuk ditanami padi, singkong dan sayur-sayuran adalah : Muhammad Thoha, Khairoji, Jamal DM, Eronsyah Hasbullah, Abdul Aziz, Abdul Kahar, Jamal dan Makmun.
Saat awal-awal perlangkahan Hidayatullah di Berau, kegiatan menanam tanaman-tanaman jangka pendek digalakkan karena pencarian dana dan sumbangan keluar belum dilakukan. Pembinaan ke dalam untuk pengkaderan menjadi prioritas utama. (ybh/hio)