AdvertisementAdvertisement

Ketika Ilmu Tak Menuntun pada Hidayah karena Keadaan Diri yang ‘Tuli Bisu dan Buta’

Content Partner

DALAM perjalanan ruhani, ada satu titik yang sering kali membuat manusia terjebak dalam kegelapan meskipun ia telah melihat cahaya.

Ia tahu jalan yang benar, namun tidak ingin melaluinya. Ia mengenali kebaikan, tapi memalingkan wajah. Fenomena ini terekam jelas dalam firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 18:

صُمٌّۢ بُكْمٌ عُمْىٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ

“Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).”

Mari kita simak dengan seksama Tafsir As-Sa’diy yang menjelaskan ayat ini dengan mendalam:

{صُمٌّ} عَنْ سَمَاعِ الْخَيْرِ، {بُكْمٌ} عَنْ النُّطْقِ بِهِ، {عُمْيٌ} عَنْ رُؤْيَةِ الْحَقِّ

“Mereka (orang-orang yang seperti ini) adalah (tuli) tidak bisa mendengarkan kebaikan, (bisu) tidak bisa berbicara tentang kebaikan, (buta) tidak bisa melihat kebenaran”

{فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ} لِأَنَّهُمْ تَرَكُوا الْحَقَّ بَعْدَ أَنْ عَرَفُوهُ، فَلَا يَرْجِعُونَ إِلَيْهِ

“{Maka mereka tidak kembali} (ke jalan kebenaran). Karena mereka telah meninggalkan kebenaran setelah mengetahuinya, sehingga mereka tidak dapat kembali kepadanya”

بِخِلَافِ مَنْ تَرَكَ الْحَقَّ عَنْ جَهْلٍ وَضَلَالٍ، فَإِنَّهُ لَا يَعْقِلُ، وَهُوَ أَقْرَبُ رُجُوعًا مِّنْهُمْ

“Berbeda halnya dengan orang yang meninggalkan kebenaran karena bodoh dan sesat, karena orang tersebut tidak berfungsi akalnya dengan baik, maka orang yang seperti itu lebih dekat untuk bisa kembali (kepada kebenaran) dibandingkan mereka (yang mengetahui kebenaran tetapi justru meninggalkannya”

Ayat ini bukan sekadar kritik tajam terhadap kondisi spiritual yang menyimpang, namun juga peringatan halus, bahwa hati bisa saja menjadi mati walaupun pikiran tetap hidup. Ini adalah tragedi ketika ilmu tidak lagi berujung pada hidayah.

Tuli, Bisu, Buta sebagai Simbol Krisis Spiritual

Ayat ini menggambarkan kondisi hati dan jiwa manusia yang telah tertutup dari petunjuk Allah.

Tuli—bukan dalam arti fisik, tetapi maknawi: tidak lagi sanggup mendengar nasihat.

Bisu—bukan karena kehilangan pita suara, melainkan karena lisan yang enggan menyuarakan kebenaran.

Buta—bukan karena gelap di retina, tapi karena hati tak lagi melihat cahaya.

Tuli, bisu, buta yang dimaksud di sini bukan tentang kondisi fisik, tetapi kondisi mental spiritual yang menunjukkan kerasnya kepala, butanya mata hati serta kosongnya jiwa sehingga enggan untuk menerima petunjuk walaupun ia sudah mengetahui kebaikan dan kebenarannya.

Inilah jenis penyakit batin yang paling halus sekaligus paling berbahaya: kesadaran spiritual yang mati karena penolakan yang disengaja.

Ada orang yang tidak tahu dan tersesat—mereka punya harapan besar untuk kembali. Namun orang yang sudah tahu tapi memilih menolak? Ia seperti membuka sendiri gerbang kehancurannya.

Orang seperti ini lebih buruk keadaannya daripada orang yang tersesat karena semata – mata ketidaktahuan.

Karena orang yang sesat karena tidak tahu masih memiliki harapan untuk kembali ke jalan yang benar ketika diberi tahu dan diberi ilmu.

Sedangkan orang yang tahu kebaikan dan kebenaran namun memilih untuk meninggalkannya—itulah bentuk penolakan yang disengaja. Itu tandanya hatinya memang terkunci.

Pelajaran Berharga dari Ayat Ini

Dari ayat ini, kita belajar bahwa:

1. Ilmu tidak selalu menjamin hidayah

Mengetahui tentang kebenaran saja tidak cukup, jika tidak disertai dengan sikap hati yang penuh keikhlasan dan sikap mental yang penuh ketundukan.

2. Hidayah adalah anugerah

Maka kita perlu terus menerus dan tak henti-hentinya memohon agar kiranya Allah SWT tidak memalingkan hati kita setelah diberi petunjuk.

3. Bahaya menolak kebenaran setelah mengetahuinya

Ini bisa membawa kepada kondisi “mati rasa spiritual” — yang tidak tersentuh jiwanya oleh nasihat dan tidak tergerak oleh kebenaran.

4. Jangan putus asa terhadap yang belum tahu

Justru mereka lebih mudah untuk disentuh dan dibimbing, selama mereka masih mau mendengar.

Inilah sebabnya mengapa doa Nabi dan para ulama begitu lembut dan terus diulang-ulang:

اللَّهُمَّ لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

“Ya Allah, janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sungguh, Engkaulah Maha Pemberi”.

Sebab yang kita takutkan bukanlah ketidaktahuan, tapi kesombongan setelah tahu. Bukan kekeliruan karena keliru mencari, tapi kekeliruan yang disengaja karena enggan menerima.

Maka, semoga Allah Ta’ala menjadikan kita bukan sekadar orang yang tahu, tapi juga orang yang mau. Bukan hanya yang mendengar, tapi juga yang tunduk.*/

*) Ust. Drs. Khoirul Anam, penulis Anggota Dewan Murabbi Wilayah (DMW) Hidayatullah Sumut, pengisi kajian rutin Tafsir Al Qur’an di Rumah Qur’an Yahfin Siregar Tamora dan pengasuh Hidayatullah Al-Qur’an Learning Centre Medan

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Tangis Bahagia di Masjid Raya Al Munawwar, Dua Jiwa Menjemput Hidayah

TERNATE (Hidayatullah.or.id) -- Malam Jumat, 18 April 2025, menjadi momen istimewa sebuah peristiwa yang menggugah jiwa di Masjid Raya...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img