AdvertisementAdvertisement

Ketika Kesalahan Menjadi Jalan Menuju Rahmat

Content Partner

SETIAP manusia pasti pernah tersesat. Kadang kesalahan itu bersifat pribadi, namun bisa pula menimpa kelompok atau komunitas. Kisah Bani Israil di zaman Nabi Musa adalah salah satu pelajaran paling mendalam tentang kesadaran, penyesalan, dan rahmat Allah yang tak terbatas.

Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 54:

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖ يٰقَوْمِ اِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ اَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوْبُوْٓا اِلٰى بَارِىِٕكُمْ فَاقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِنْدَ بَارِىِٕكُمْۗ فَتَابَ عَلَيْكُمْۗ اِنَّهٗ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: Wahai kaumku! Sesungguhnya kamu telah menzalimi dirimu sendiri dengan menjadikan anak lembu (sebagai sembahan). Maka bertaubatlah kepada Penciptamu, lalu bunuhlah dirimu (yang bersalah). Hal itu lebih baik bagimu di sisi Penciptamu; maka Dia menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.”

Saat itu, Bani Israil menyadari kesalahan besar mereka. Mereka telah menyembah anak lembu, melupakan Allah, Sang Pencipta.

Al-Hasan al-Bashri menekankan bahwa ucapan Nabi Musa muncul saat mereka benar-benar menyesali dosa mereka, menyadari bahwa tanpa rahmat Allah, mereka termasuk orang-orang yang rugi.

Pelajaran pertama dari kisah ini adalah kesadaran akan dosa dan pentingnya taubat. Kesalahan yang tampak sepele bisa menjadi akar kehancuran jika dibiarkan.

Musa menegaskan bahwa mereka menzalimi diri sendiri, dan hanya dengan kembali kepada Allah, pengampunan sejati bisa dicapai. Bagi kita, hal ini menjadi pengingat bahwa setiap kesalahan, sekecil apa pun, harus segera disadari dan diperbaiki sebelum menjadi kebiasaan yang merusak.

Namun, taubat bukan selalu mudah. Perintah Allah kepada Bani Israil untuk menebus kesalahan mereka sangat berat, yaitu, sebagian mereka harus menegakkan hukum bagi diri sendiri dan orang lain.

Dalam penjelasan sejumlah mufassir, diterangkan bahwa mereka melaksanakan perintah di bawah naungan kegelapan, sehingga tidak saling mengenal dan dapat melaksanakan taubat kolektif dengan penuh ketaatan.

Dari sini kita belajar bahwa taubat sejati menuntut usaha, keberanian, dan kesungguhan, bahkan jika itu berarti menghadapi risiko atau konsekuensi yang menakutkan.

Kisah ini juga menegaskan rahmat Allah yang Maha Luas. Setelah proses taubat yang berat, Allah mengampuni semua pihak, baik yang melaksanakan perintah maupun yang terbunuh.

Tidak ada dosa yang terlalu besar jika taubat dilakukan dengan ikhlas dan sesuai petunjuk-Nya. Allah menerima hati yang kembali kepada-Nya dengan penuh kasih. Inilah pengingat bagi setiap kita bahwa pintu taubat selalu terbuka, tidak peduli seberapa dalam kesalahan kita.

Selain itu, kisah ini mengajarkan tentang dosa kolektif dan tanggung jawab komunitas. Kesalahan bisa berdampak pada banyak orang. Karena itu, menjaga keadilan, mencegah kezaliman, dan menegur yang salah adalah tanggung jawab moral bersama.

Dalam kehidupan sehari-hari, ini berarti kita tidak boleh acuh terhadap kesalahan yang bisa merugikan lingkungan sekitar. Kepedulian dan kesadaran sosial menjadi bagian dari ibadah dan ketaatan kita kepada Allah.

Menjalankan Wahyu Allah

Kepatuhan kepada petunjuk para Nabi menjadi pelajaran berikutnya. Nabi Musa tidak bertindak berdasarkan keinginannya sendiri, tetapi menjalankan wahyu Allah.

Kaumnya pun diperintahkan untuk mengikuti arahan itu dengan sepenuh hati. Bagi kita, hal ini menekankan pentingnya mengikuti petunjuk Allah melalui Rasul-Nya dengan sabar, teliti, dan sungguh-sungguh, tanpa menunda atau menyeleweng.

Hikmah lainnya adalah keadilan dan kebijaksanaan Allah dalam ujian. Saat pelaksanaan taubat berlangsung, Allah menurunkan naungan kegelapan untuk mencegah kekeliruan dan menjaga agar keadilan ditegakkan.

Ini menunjukkan bahwa setiap ketetapan Allah memiliki hikmah tersembunyi, bahkan ketika tampak berat atau sulit dipahami. Segala ujian, seberat apapun, mengandung rahmat dan tujuan untuk kebaikan kita.

Dari kisah Bani Israil, kita belajar bahwa kesadaran, penyesalan, dan ketaatan adalah jalan menuju rahmat Allah. Kita diingatkan untuk segera bertaubat saat menyadari kesalahan, menghadapi konsekuensi dengan berani, menjaga keadilan sosial, dan mengikuti petunjuk-Nya dengan sepenuh hati.

Kisah ini penting menjadi cermin bagi kehidupan kita sehari-hari. Setiap orang berpotensi melakukan kesalahan, namun Allah senantiasa menyediakan jalan kembali melalui taubat yang ikhlas.

Taubat yang benar membuka pintu rahmat-Nya, menghapus dosa, dan menenangkan hati. Mari kita jadikan refleksi ini sebagai pengingat sepanjang waktu bahwa ketika kita tersesat, jangan menunda kembali kepada Allah.

Sadari kesalahan, akui dosa, dan lakukan perbaikan. Dengan kesungguhan hati, Allah akan menerima taubat kita, sebagaimana Dia menerima taubat Bani Israil, dan rahmat-Nya akan menyejukkan jiwa kita, menyinari langkah ke depan dengan cahaya ampunan dan kasih sayang-Nya yang abadi.[]

*) Ust. Drs. Khoirul Anam, penulis alumni Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, Jatim, Anggota Dewan Murabbi Wilayah (DMW) Hidayatullah Sumut, pengisi kajian rutin Tafsir Al Qur’an di Rumah Qur’an Yahfin Siregar Tamora dan pengasuh Hidayatullah Al-Qur’an Learning Centre Medan

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Manajemen Sosial Memanusiakan, Hidayatullah Ingatkan Fungsi Masjid sebagai Pusat Peradaban

JAKARTA (Hidayatullah.or.id) -- Hidayatullah menyesalkan tindakan kekerasan yang terjadi di Masjid Agung Sibolga, Jalan Diponegoro, Kecamatan Sibolga Kota, Jumat...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img