Hidayatullah.or.id — Indonesia akan memasuki era perdagangan bebas atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) di tahun 2015 mendatang. Kondisi ini mau tidak mau pasti akan mempengaruhi bursa kerja di dalam negeri di mana akan berlaku sistem seleksi ketat untuk dapat bersaing di lapangan kerja.
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Hidayatullah (STIEHID) Dr Abdul Mannan, MM, mengatakan MEA akan sangat mempengaruhi bursa kerja dalam negeri. Meskipun pribumi, kalau sumber daya manusia (SDM) Indonesia saja tidak berkualitas dan kompetitif maka akan tersingkir, terutama pada aspek mental.
“Kalau mentalnya tidak dirubah, kulturnya tetap malas dan tidak disiplin, maka SDM bangsa Indonesia tidak akan memiliki cukup ruang untuk bersaing dalam bursa kerja ke depan,” tegas beliau dalam pidatonya di acara General Studium STIEHID Kota Depok, Jawa Barat, Sabtu (13/09/2014).
Kinerja sangat dipengaruhi oleh sikap mental, untuk itu ia menjadi kunci tumbuh kembang kemandirian. Sikap mental disiplin akan meningkatkan kinerja. Sebaliknya, sumber daya manusia loyo dan pemalas akan tersingkir dari peredaran.
“Fakta ekonomi di dalam negeri semua serba impor. Mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali di sekeliling kita adalah produk impor. Itu karena SDM kita yang tidak kreatif, bermental follower, users. Kita hanya menjadi pengguna serta tidak berdaya cipta,” tegasnya.
Peran pemerintah dinilai sangat nihil dalam membangun sikap mental mandiri, disiplin, dan berkemajuan SDM bangsa ini. Pada realitasnya pemerintah dipandang tidak serius memfasilitasi kebutuhan rakyat untuk menumbuhkan ekonomi yang berdikari dan swasembada pangan.
“Kebijakan pemerintah lebih sering tidak tidak sesuai dengan yang diucapkan,” prihatin beliau.
Padahal, pasar bebas adan ASEAN pasti akan sangat mempengaruhi bursa kerja di dalam negeri. Abdul mengatakan, saat ini sudah mulai marak para tenaga kerja dari luar negeri yang menempuh kurus bahasa Indonesia dalam rangka siap bersaing di bursa kerja dalam negeri pada pasar bebas ASEAN nanti.
SDM dari luar umumnya mempunyai kompetensi yang lebih baik ketimbang tenaga kerja yang ada di Indonesia. Hal yang sederhana saja seperti sopir, tenaga driver dari luar dinilai lebih disiplin ketimbang sopir kita karena sudah terbiasa mematuhi peraturan. Sopir-sopir di Indonesia, khususnya pada transportasi publik, cenderung indisipliner terhadap peraturan. Untuk itu, tegas Abdul, mental pekerja di Indonesia harus diperbaiki untuk bisa bersaing dalam bursa kerja ASEAN.
Menurut Abdul Mannan, persaingan di bursa tenaga kerja akan semakin meningkat menjelang pemberlakuan pasar bebas Asean pada akhir 2015 mendatang terutama pekerja yang berkecimpung pada sektor keahlian khusus.
Seperti diketahui, pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini nantinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.
Pada MEA nanti berbagai profesi seperti tenaga medis boleh diisi oleh tenaga kerja asing. Bahkan harus diketahui bahwa Masyarakat Ekonomi Asean tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, sopir, pengacara, akuntan, dan lainnya.
Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dita Indah Sari, dalam satu kesempatan menjelaskan bahwa MEA mensyaratkan adanya penghapusan aturan-aturan yang sebelumnya menghalangi perekrutan tenaga kerja asing.
“Sehingga pada intinya, MEA akan lebih membuka peluang tenaga kerja asing untuk mengisi berbagai jabatan serta profesi di Indonesia yang tertutup atau minim tenaga asingnya,” kata Dita Sari seperti dikutip BBC, belum lama ini.
Kendati demikian, dalam riset terbaru dari Organisasi Perburuhan Dunia atau ILO menyebutkan pembukaan pasar tenaga kerja mendatangkan manfaat yang besar.
Selain dapat menciptakan jutaan lapangan kerja baru, skema ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan 600 juta orang yang hidup di Asia Tenggara.
Pada 2015 mendatang, ILO merinci bahwa permintaan tenaga kerja profesional akan naik 41% atau sekitar 14 juta. Sementara permintaan akan tenaga kerja kelas menengah akan naik 22% atau 38 juta, sementara tenaga kerja level rendah meningkat 24% atau 12 juta.
Namun laporan ini memprediksi bahwa banyak perusahaan yang akan menemukan pegawainya kurang terampil atau bahkan salah penempatan kerja karena kurangnya pelatihan dan pendidikan profesi. (ybh/hio)