Hidayatullah.or.id — Alhamdulillah, itulah ucapan serentak Ustadz Al-Djufri Muhammad bersama santrinya kala takmir di masjid mengumumkan padaAhad (6/4) lalu bahwa seluruh warga dan santri Pesantren Hidayatullah Merauke, Papua, diminta untuk turun ke sawah guna melakukan panen padi.
Di Merauke dai Hidayatullah tidak saja sibuk mendidik dan berdakwah tetapi juga mengelolah sawah. Aktifitas itu dalam rangka untuk menumbuhkan semangat dan kreatifitas berswasembada sumber-sumber alam.
“Alhamdulillah, kini kami mengelolah sawah seluas enam hektar. Namun yang bisa ditanami dan dipanen sekarang baru empat hektar,” ujar Muhammad Suryanto pembina santri di Pesantren Hidayatullah Merauke.
Ke depan, kata Suryanto, yang dua hektar akan juga kita tanami padi. Sehingga diharapkan hasil panennya bisa semakin meningkat dan terus ditingkatkan. Dengan demikian, ketersediaan beras untuk kebutuhan santri dan warga pesantren bisa ditangani secara internal.
“Sehingga ada kemandirian pangan. Selain itu para santri juga bisa terlatih bagaimana menanam, merawat dan memanen padi dengan baik,” tutur Suryanto.
Kendati demikian, ada ketimpangan kebijakan dalam upaya swasembada pangan di dalam negeri tersebut. Ini kemudian mendesak Hidayatullah untuk senantiasa mendorong pemerintah untuk mendukung penuh target pencapaian kemandirian pangan tersebut.
Meskipun masih jauh dari target yang dicanangkan, upaya kemandirian pangan ini harus terus didukung dan diperjuangkan. Terutama pada tingkat kesejahteraan dan keberimbangan lahan bagi para petani agar sektor ini dapat berjalan sinergi dan berkesinambungan. Untui itu, pemerintah sebagai regulator harus aktif melakukan pemantauan.
Disebutkan bahwa perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan indikator yang kerap digunakan untuk melihat perkembangan tingkat kesejahteraan petani. Kenaikan nilai NTP menunjukkan perbaikan tingkat kesejahteraan petani, begitupula sebaliknya.
Tercatat sepanjang periode Januari hingga April 2013 lalu, nilai NTP bahkan terus mengalami penurunan secara konsisten. Itu artinya, tingkat kesejahteraan petani terus memburuk meski pada saat panen raya, di saat produksi berlimpah.
Kondisi tersebut tentu saja menyedihkan sebab pembangunan pertanian selama ini terlalu dititikberatkan pada peningkatan produksi secara aggregate dan cenderung abai terhadap peningkatan kesejahteraan petani.
Dengan tak kunjung dilaksanakannya reforma agraria sebagaimana yang dijanjikan, pemerintah seolah menutup mata bahwa peningkatan produksi yang terjadi sejatinya merupakan hasil perjuangan dan jerih payah para petani kecil.
Secara faktual, hasil Sensus Pertanian tahun 2013 yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan Desember 2013 lalu menyebutkan bahwa sebagian besar petani kita adalah petani gurem, dan rata-rata luas lahan sawah yang dikelola petani hanya sebesar 0,2 hektar.
Kondisi tersebut merupakan sinyalemen bahwa distribusi penguasaan lahan di tingkat petani kian timpang dan dominasi petani kaya dengan akses penguasaan lahan yang luas.
Sehingga tidak mengherankan apabila kebanyakan petani tetap miskin meski pada saat yang sama produksi melimpah bahkan swasembada. Karena sejatinya, dampak ekonomi dari peningkatan produksi yang terjadi lebih dinikmati oleh para petani kaya. Sebaliknya, para petani kecil dan buruh tani tetap miskin. (dbs/hio)