SINJAI (Hidayatullah.or.id) — Kabar duka sekejab menyeruak di segenap sudut sudut ruang nyata maupun ruang maya. Ada yang terkejut lantas berdoa. Ada yang teringat lantas terkenang. Demikianlah ketika kematian saatnya tiba menemui hamba.
Meninggalnya kader dai Hidayatullah, Ust Abdul Manna Pasannai, pada Senin malam, 4 Januari 2021 sekitar pukul 22:55 WIB di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, menyisakan sungkawa mendalam bagi orang yang mengenalnya.
Di Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Kelurahan Teritip, Balikpapan, Pak Manna, demikian ia karib disapa, tidak menonjol sebagai dai yang pandai berceramah dari mimbar ke mimbar. Namun, bagi banyak santri, khususnya orang orang yang pernah berinteraksi langsung dengannya, namanya selalu di hati.
“Beliau tak ‘berposisi’ tapi bertahta di hati,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Hidayatullah, Imam Nawawi, mengenang pria yang selalu bersemangat itu.
Pak Manna banyak menghabiskan masa pengabdiannya di dapur umum. Saban waktu dia mengurus makanan para santri, pagi, siang dan malam. Posisi yang barangkali tak dianggap bergengsi, namun Pak Manna menjalani amanah tersebut penuh bakti.
Kesan mendalam misalnya diceritakan oleh Sarmadani saat menjadi santri di Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak. Menurutnya, Manna Pasanai adalah sosok pejuang yang sederhana.
Sarmadani punya kenangan tak terlupakan bersama Pak Manna ketika almarhum menjadi petugas dapur umum. Bagaimana tidak terkenang, dulu saat dirinya masih santri, kadang secara diam-diam dia menyelinap di antara santri Kuliah Muballigh/ Muballighat (KMM), untuk turut mendapat porsi yang cukup untuk makan siang.
“Kadang beliau melotot, dan bertanya, “santri dari mana ini”. Santri dari Manggar, jawab saya singkat. Beliau hanya tersenyum, dan menyodorkan sepiring nasi, komplit dengan sayur dan lauknya,” kisah Sarmadani yang sekarang berdinas di Ujung Pandang ini.
Menurut Sarmadani, Pak Manna merupakan sosok yang tidak pernah juga menuntut banyak. Ia hanya taat ber-Hidayatullah hingga akhir hayatnya.
Sarmadani juga mengemukakan mengenai kebiasaan Pak Manna yaitu ketekunannya dalam beribadah. Meski tertatih, karena usia, dia tidak pernah absen untuk ke masjid. Sholat duduk di antara jamaah. Banyak anak muda yang dikalahkannya, kalau bicara semangat untuk shalat jamaah di masjid.
Senada dengan Sarmadani, salah seorang santri yang pernah menerima tempaan almarhum yaitu Muhammad Idris terkenang dengan ketelatenan Pak Manna dalam menjalankan tugas sebagai kepala dapur umum santri.
Memang menjadi kepala dapur perlu ketegasan. Bagi yang pernah nyantri pasti paham dengan kemelut yang acapkali terjadi di dapur umum.
Seringkali ada santri yang berupaya melakukan aksi “penyelundupan” untuk mendapatkan jatah makan lebih. Terkadang aksi yang demikian itu perlu ketegasan dan almarhum sangat ahli mengawasi hal seperti ini.
“Logat bugisnya yang kental seringkali menjadikan suasana menjadi segar dan bersahabat,” kata Idris mengenang Pak Manna dalam setiap tugas mengawal santri setiap waktu makan tiba.
Bagi Idris, Pak Manna juga dikenal disipilin termasuk dalam ketepatan beliau untuk berangkat dan shalat berjamaah ke masjid.
“Shalat berjamaah seakan menjadi bagian dari dirinya yang tak dapat dipisahkan. Sepanjang perjalanan ke masjid beliau akan menegur santri yang belum bersiap untuk shalat. Selalu hadir di lapangan untuk kerja bakti, seakan tak mau kalah dengan santri,” ungkap Idris.
Ketua PD Pemuda Hidayatullah Balikpapan, Imam Muhammad Fatih Farhat, pun punya kenangan tersendiri. Baginya, Pak Manna adalah salah satu dari sekian orangtua yang paling akrab ke semua kalangan di Hidayatullah.
“Mulai sapaan khas, candaanya yang kental, hingga kedekatannya dengan semua orang seperti family sendiri bahkan orangtua yang senantiasa mencairkan suasana dimana dan kapan saja,” tulisnya.
Selain di dapur, rupanya Pak Manna juga pernah memandu kegiatan Training Center (TC) santri putri atau dalam istilah sekarang seleksi masuk menjadi santri. Hal ini diceritakan oleh Miftah Assa’adah.
Saat mengarahkan kegiatan TC santri putri yang diharuskan membersihkan danau yang disesaki daun teratai, Pak Manna begitu tegas, tampak galak dan tidak ada kompromi. Ia bahkan sampai mengajari cara yang benar membersihkan danau itu.
“Miftah! bukan begitu, ambil batangnya dari dalam air, tarik, nanti yang lain ikut semua! Takut bettul tangan lentiknya rusak…!,” teriaknya seperti dinukil dari kisah Miftah Assa’adah di laman Facebook miliknya.
Tak lama berselang, beliau datang dengan nampan penuh gorengan buatan istrinya serta secerek air es. “Ayo-ayo naik, cuci tangan baru makan ini, habiskan kalau kurang minta lagi.”
Tak terdengar lagi suara sangarnya. Kali ini Miftah dan teman temannya mendengarnya berbicara sangat lembut bak seorang ayah pada anaknya. Sambil menikmati gorengan mereka mendengar celotehnya.
“Jadi santri putri itu jangan manja, harus kuat. Nanti di cabang kau akan belah kayu sendiri, tiup api ditungku, urus suami plus masakin santri,” kata Pak Manna berpesan seperti diutarakan Miftah Assa’adah.
“Begitulah Pak Manna akrab dengan kehidupan kami. Beliau bagai bapak, satpam juga tukang bagi kami. Sedikit-sedikit Pak Manna, hingga beberapa di antara kami turut memanggilnya ayah sebagaimana anak-anak biologis beliau,” kata Miftah Assa’adah mengenang.
Semoga Allah Ta’ala menyayangi Ust Abdul Manna’ Pasannai, mengampuni dan mengumpulkan beliau bersama para Nabi, Rasul, Shiddiqin, Syuhada, dan Shalihin di Jannah Firdaus tertinggi, Aamiin. (ybh/hio)