
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Dalam dunia yang serba visual, kehadiran huruf menjadi jembatan utama antara manusia dan pengetahuan. Namun bagaimana jika akses terhadap huruf—terutama huruf wahyu—terhalang oleh keterbatasan penglihatan?
Di sinilah misi literasi dan dakwah menjadi panggilan nurani, sebagaimana yang diwujudkan oleh Lembaga Amil Zakat Nasional Baitulmaal Hidayatullah (Laznas BMH) bersama tokoh literasi nasional Kang Maman Suherman dan PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE).
Belum lama ini, Jumat, 11 Dzulqaidah 1446 (9/5/2025), mereka mengirimkan 13 set Alquran Braille ke Sumedang, Jawa Barat. Ini bukan sekadar distribusi kitab, melainkan sebuah gerakan membuka kembali pintu “iqra’” bagi saudara-saudara kita yang tunanetra.
Dalam waktu bersamaan, sebanyak 200 mushaf Alquran juga dikirim ke Sulawesi Selatan, menyasar berbagai pelosok dalam rangka memperkuat gerakan literasi Alquran secara nasional.
Syamsuddin, Direktur Prodaya BMH Pusat, menjelaskan makna mendalam dari kegiatan ini yang menyiratkan komitmen untuk menjadikan Alquran sebagai milik semua orang, tak terkecuali mereka yang melihat dunia lewat ujung jemari.
“Kebaikan ini akan sangat membantu untuk gerakan literasi Alquran bagi sahabat kita yang tunanetra. Jadi, jangan ada kata berhenti dalam kebaikan,” ujarnya.

Alquran Braille yang dikirim adalah kitab suci dalam format tulisan timbul, dirancang secara khusus agar dapat dibaca oleh penyandang tunanetra.
Upaya ini terang Syamsuddin bukan sekadar produk teknologi, melainkan jendela ruhani yang mengizinkan para pembacanya meresapi kemuliaan ayat-ayat Allah dengan cara yang sesuai kebutuhan mereka. Sebagaimana fungsi wahyu itu sendiri: menyapa setiap manusia dengan bahasa yang mampu dijangkau oleh hatinya.
Kang Maman, budayawan dan pegiat literasi, turut menegaskan pentingnya semangat bersama ini. Ia menekankan bahwa membaca adalah merupakan aksi spiritual yang melahirkan peradaban.
“Saya bersama BMH dan tentu saja dukungan JNE akan terus menebar semangat iqra’, yakni mencerahkan, memperkaya wawasan, dan memberdayakan,” tegasnya.
Lebih dari itu, inisiatif ini merupakan simbol dari keberlanjutan dakwah dan pendidikan yang tidak boleh padam oleh keterbatasan fisik maupun geografis. Setiap huruf dalam Alquran Braille adalah pancaran harapan, bahwa cahaya iman dan ilmu mampu menyentuh siapa saja, di mana saja.
Bagi para penerima, kiriman ini menandai awal dari sebuah perjalanan panjang menuju pemahaman agama yang lebih dalam. Dan bagi mereka yang turut membantu, sebagaimana dikatakan Syamsuddin, “ini adalah amal yang terus mengalir, menerangi dunia dengan kebaikan.”
Dengan gerakan semacam ini, iqra’ tidak lagi terbatas oleh mata, tapi menjelma menjadi panggilan hati dan kepedulian bersama: untuk mencerdaskan, memanusiakan, dan menyatukan dalam cahaya wahyu.*/