![](https://hidayatullah.or.id/wp-content/uploads/2025/02/maafkan.jpg)
KEILMUAN adalah prasyarat mendasar bagi kader penggerak dalam organisasi manapun, termasuk dalam sistem kaderisasi Hidayatullah. Manhaj yang berlandaskan Sistematika Wahyu menempatkan Iqra’ (membaca) sebagai perintah pertama dalam Al-Qur’an, menegaskan bahwa ilmu adalah pilar utama dalam membangun individu, masyarakat, dan peradaban.
Pendirian Hidayatullah sendiri terinspirasi dari kegemaran membaca yang dimiliki oleh Allahu Yarham Ustadz Abdullah Said dan Ustadz Abdurrahman Muhammad. Mereka tidak hanya menanamkan nilai literasi dalam kehidupan pribadi tetapi juga menjadikannya sebagai prinsip utama dalam mendidik generasi penerus.
Namun, dalam konteks Indonesia yang lebih luas, tantangan terhadap budaya membaca masih menjadi persoalan serius.
Menurut data UNESCO, Indonesia mengalami krisis minat baca. Hanya 0,001% dari populasi yang memiliki kebiasaan membaca secara rutin.
Ironisnya, Indonesia adalah negara dengan jumlah perpustakaan terbanyak kedua di dunia setelah India dan memiliki pameran buku yang selalu ramai dikunjungi. Namun, penelitian Central Connecticut State University pada tahun 2016 menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara dalam tingkat literasi.
Persoalan yang dihadapi bukanlah kemampuan membaca, melainkan kebiasaan membaca yang sangat rendah. Banyak orang menganggap membaca tidak bermanfaat, membuang waktu, atau hanya relevan bagi kaum akademisi. Padahal, membaca adalah kunci utama dalam membangun pola pikir dan menciptakan inovasi.
Sebuah studi dari Universitas Harvard mengungkapkan bahwa hampir semua orang sukses di dunia memiliki satu kesamaan: mereka gemar membaca. Maka, meningkatkan budaya membaca bukan hanya sekadar membangun fasilitas atau menggalakkan program membaca, tetapi juga menumbuhkan rasa ingin tahu yang kuat. Interaksi dialogis dan metode investigatif dapat menjadi pendekatan yang lebih efektif dalam membangun kesadaran akan pentingnya literasi.
Manfaat Membaca
Membaca adalah jendela ilmu, pintu menuju peradaban, dan cahaya yang menerangi perjalanan intelektual serta spiritual seseorang. Membaca bukan semata aktivitas kognitif, tetapi juga bagian dari proses tazkiyatun nafs, peneguhan jiwa, serta pembentukan karakter kepemimpinan.
Dalam setiap lembaran buku, tersimpan hikmah yang menuntun seorang kader menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang Islam, dakwah, dan tantangan zaman.
Karenanya, dalam konteks kaderisasi Hidayatullah, membaca tidak hanya berfungsi sebagai sarana mendapatkan ilmu, tetapi juga sebagai spirit dalam memahami manhaj perjuangan, mengasah ketajaman analisis, serta memperluas wawasan keislaman.
Berikut ini beberapa manfaat dari membaca:
Pertama, membaca melahirkan ide dan inspirasi. Salah satu inspirasi utama lahirnya Hidayatullah berasal dari buku Mujahid Dakwah karya K.H. Isa Anshari dan Rangkaian Mutu Manikam karya K.H. Mas Mansur. Buku-buku tersebut menjadi pemantik bagi Abdullah Said untuk mendirikan sebuah pesantren berbasis komunitas Islami yang penuh dengan nilai dakwah dan ibadah.
Kedua, memperluas wawasan dan mengatasi keterbatasan pengalaman pribadi. Manusia memiliki umur yang terbatas. Tanpa membaca, seseorang hanya akan bergantung pada pengalaman pribadinya yang sangat terbatas. Dengan membaca, kita dapat memahami pengalaman hidup orang lain dan mengambil pelajaran dari sejarah, bahkan tanpa mengalami langsung peristiwa tersebut.
Misalnya, generasi saat ini dapat memahami heroisme dan militansi pendiri Hidayatullah dengan membaca buku 50 Tahun Hidayatullah. Dengan demikian, mereka bisa merasakan semangat perjuangan meski tidak mengalami langsung perjalanan panjang pendirian pesantren ini.
Ketiga, membaca mengubah mindset dan membangun daya juang. Seberapa tinggi tingkat pendidikan seseorang, seberapa sulit kondisi ekonominya, membaca dapat mengubah pola pikirnya menjadi lebih maju. Seorang kader Hidayatullah yang memahami nilai-nilai iqra’ tidak akan berhenti hanya pada teori, tetapi juga mengimplementasikan ilmunya dalam aksi nyata.
Tantangan Keilmuan Masa Kini
Salah satu tantangan dalam kaderisasi Hidayatullah saat ini adalah adanya kesenjangan antara kader awal dan kader muda, baik secara kuantitas maupun kualitas keilmuan.
Kader awal, meskipun memiliki keterbatasan dalam akses ilmu, memiliki komitmen kuat untuk mengamalkan ilmunya. Mereka tidak banyak berdiskusi, tetapi langsung mengeksekusi.
Sebaliknya, kader masa kini memiliki akses yang lebih luas terhadap ilmu, tetapi belum tentu memiliki tingkat pengamalan yang sebanding. Ini menjadi tantangan besar karena dalam Islam, ilmu bukan hanya untuk diketahui, tetapi juga untuk diamalkan. Ilmu yang tidak diamalkan tidak memiliki kekuatan untuk mengubah kehidupan dan membawa kemajuan.
Studi di Amerika menunjukkan bahwa 60% populasi mengalami obesitas, meskipun terdapat lebih dari 46.000 buku tentang diet yang tersedia. Masalahnya bukan kurangnya informasi, tetapi ketidakkonsistenan dalam eksekusi. Hal yang sama berlaku dalam dunia keilmuan, bahwa ilmu tanpa amal hanya akan menjadi teori yang tidak berdampak.
Keseimbangan Peradaban Islam
Sejarah Islam menunjukkan bahwa kejayaan peradaban terjadi ketika ilmu dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Sebaliknya, ketika ilmu hanya menjadi wacana tanpa eksekusi, maka peradaban akan runtuh.
Oleh karena itu, kaderisasi Hidayatullah harus menyeimbangkan antara keilmuan dan amal, bukan hanya menargetkan pencapaian akademik, tetapi juga menumbuhkan mentalitas eksekutif yang siap mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak lembaga pendidikan Islam yang telah berkembang pesat, tetapi yang lebih penting dari sekadar mendirikan lembaga pendidikan adalah membangun mindset belajar yang benar. Pendidikan tidak boleh hanya diarahkan untuk mendapatkan ijazah atau pekerjaan, tetapi harus menjadi jalan menuju kedekatan dengan Allah.
Sebagaimana disebutkan dalam akhir surat Al-Alaq, tujuan dari Iqra’ yang kita lakukan adalah untuk sujud dan mendekat kepada Allah. Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin ia seharusnya tunduk kepada-Nya, semakin besar tanggung jawab dakwahnya, dan semakin ia berkontribusi dalam membangun peradaban Islam.[]
*) Ust. Dr. Abdul Ghofar Hadi, M.Pd.I, penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal I Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah.