
SELAMA lebih dari 50 tahun, Hidayatullah telah berkontribusi dalam dakwah Islam di Indonesia. Jejak perjuangan kadernya telah menarik perhatian banyak pihak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Berbagai tokoh, pemimpin pesantren, bahkan organisasi dakwah internasional datang dengan satu pertanyaan yang sama: Bagaimana Hidayatullah mencetak kader-kader yang militan dan taat?
Pertanyaan ini tampaknya sederhana, tetapi jawabannya tidaklah mudah. Banyak yang mengira bahwa militansi kader Hidayatullah terbentuk hanya melalui marhalah, training, atau ceramah-ceramah inspiratif. Namun, realitasnya lebih kompleks.
Militansi kader tidak hanya lahir dari satu metode, melainkan merupakan hasil dari proses panjang yang melibatkan berbagai aspek pembinaan.
Tulisan ini berusaha menguraikan bagaimana proses tersebut berlangsung dan faktor apa saja yang berkontribusi dalam membentuk kader yang memiliki mental baja.
Faktor-Faktor Pembentukan Militansi Kader
Militansi kader dalam organisasi merupakan hasil dari berbagai faktor yang membentuk komitmen, loyalitas, dan semangat juang mereka. Pada bagian ini akan diutarakan faktor-faktor utama yang berkontribusi terhadap pembentukan militansi tersebut.
Pertama, mindset sebagai fondasi mental baja. Pembentukan mental kader dimulai dari mindset, yaitu bagaimana seseorang memandang hakikat hidup dan ibadah.
Dalam Islam, membentuk mindset tidak dilakukan melalui doktrinasi semata, melainkan dengan optimalisasi tiga instrumen utama: hati, penglihatan, dan pendengaran.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-A’raf ayat 179 bahwa banyak manusia dan jin yang diberikan hati tetapi tidak digunakan untuk memahami, dianugerahi mata tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda Allah, dan diberi telinga tetapi tidak digunakan untuk mendengar kebenaran.
Oleh karena itu, dalam perkaderan Hidayatullah, tiga instrumen ini diarahkan agar menjadi sarana mengenal Allah dan ajaran-Nya. Yakni Hati yang dibiasakan dengan ibadah rutin seperti shalat berjamaah, tahajud, dzikir, dan munajat.
Berikutnya, penglihatan yang dibimbing untuk menyaring tontonan dan bacaan yang bermanfaat, serta meneladani kebaikan dalam kehidupan berjamaah. Dan, pendengaran yang ditekankan untuk menyimak tausiyah, pengalaman spiritual para senior, serta menghindari informasi negatif yang dapat merusak mental.
Lingkungan yang mendukung pembentukan mindset ini adalah halaqah, komunitas ibadah, serta interaksi intens dengan para mentor dan teladan yang telah lebih dahulu menapaki jalan dakwah.
Kedua, sistem perkaderan dengan pembelajaran dari hal-hal kecil. Militansi kader tidak dibangun secara instan, tetapi melalui sistem perkaderan yang sistematis, termasuk dalam aktivitas kecil yang membentuk kedisiplinan dan kepatuhan.
Kegiatan seperti kerja bakti, piket masak, tugas keamanan, dan kebersihan bukan sekadar rutinitas, tetapi bagian dari pembentukan mental yang mengajarkan tanggung jawab dan keikhlasan.
Bahkan, kegiatan yang terlihat sederhana, seperti menghadiri pertemuan atau menyambut tamu menjadi bagian dari pembelajaran untuk taat dan berkontribusi dalam kebersamaan.
Ketaatan dalam hal kecil ini menjadi ujian pertama sebelum kader diberikan amanah yang lebih besar. Seorang kader yang sukses dalam tugas-tugas sederhana akan lebih siap ketika dihadapkan pada tantangan yang lebih berat dalam dakwah.
Ketiga, kesetaraan dalam proses kaderisasi. Salah satu aspek unik dalam sistem perkaderan Hidayatullah adalah menghindarkan privilege atau hak istimewa berdasarkan status sosial, hubungan keluarga, atau latar belakang akademik.
Di banyak organisasi, privilege sering kali melahirkan generasi yang lemah, karena mereka terbiasa dengan kenyamanan dan tidak terbiasa menghadapi tantangan. Hidayatullah menerapkan prinsip bahwa semua kader harus melalui tahapan yang sama, termasuk mengikuti training center (TC) 40 hari yang menjadi ajang pengikisan ego (thaga’).
Metode ini terbukti efektif dalam melahirkan kader yang tangguh dan tidak bergantung pada fasilitas. Mereka yang telah melewati proses ini mampu bertahan di berbagai medan dakwah, termasuk di daerah terpencil yang minim sarana.
Keempat, ujian waktu dengan proses yang tidak instan. Mental militan tidak bisa dibentuk dalam hitungan hari atau bulan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk membentuk karakter yang konsisten dalam beribadah, disiplin dalam tugas, serta siap menghadapi ujian dakwah.
Pada awalnya, seorang kader mungkin terlihat sangat semangat dalam menjalankan ibadah dan tugasnya. Namun, waktu menjadi ujian utama.
Seiring berjalannya waktu, muncul berbagai tantangan yang menguji konsistensinya: kenyamanan hidup, godaan materi, tekanan sosial, dan sebagainya. Hanya mereka yang mampu bertahan dalam ujian waktu yang akhirnya mencapai level kader militan yang sesungguhnya.
Sistem perkaderan yang dirancang Hidayatullah memastikan bahwa proses ini berlangsung secara alami, dengan berbagai ujian yang menyiapkan kader menghadapi kenyataan dakwah di lapangan.
Metode ini telah terbukti selama lebih dari lima dekade dalam melahirkan kader-kader yang tidak hanya aktif dalam dakwah, tetapi juga mampu bertahan dalam berbagai tantangan zaman.
Keberhasilan Hidayatullah dalam membangun mentalitas kadernya selama lebih dari lima dekade ini mesti harus terus direvitalisasi dan diaktualisasi sebagai sebuah warisan kultur. Hal ini diharapkan juga menjadi model bagi organisasi dakwah lainnya yang ingin membentuk generasi penerus yang tangguh, disiplin, dan siap berjuang demi agama, bangsa, dan negara.
Sebagaimana perjalanan dakwah selalu penuh tantangan, kader-kader Hidayatullah telah mengejawantah bahwa dengan metode yang tepat, militansi dan loyalitas dapat ditanamkan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Insya Allah.
*) Ust. Dr. Abdul Ghofar Hadi, M.Pd.I, penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal I Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah.