BUTON (Hidayatullah.or.id) — Pondok pesantren Hidayatullah di Kota Baubau tepatnya di bilangan Kilo Meter Lima, Kelurahan Kadolo Katapi, Kecamatan Wolio, telah menjadi salah satu tujuan utama belajar Agama Islam di kota ini. Yang datang berasal dari berbagai kawasana, hingga berbagai daerah di kawasan kepulauan Buton dan timur Indonesia lainnya.
Semua itu tak lepas dari tangan dingin seorang Mahrus Alam –ustadz dai Hidayatullah yang selama ini mendirikan dan membangun pondok tersebut. Ia juga banyak dipakai sebagai khatib di Masjid Raya Baubau beberapa tahun silam. Siapa Mahrus Alam sebenarnya? Ia pernah terekam dalam tulisan apik Republika, seperti berikut ini;
Tak pernah terlintas di benak Mahrus Alam untuk bertempat tinggal di pesantren. Apa lagi terjun di dunia dakwah. Namun semuanya berbalik arah, ketika tahun 1997, ia menyempatkan diri untuk berkunjung ke pondok Hidayatullah, Kendari. Awalnya, ia hanya ingin menjenguk adiknya yang tengah menuntut ilmu di pesantren tersebut.
Namun, belumlah lama kaki menginjak halaman pesantren, hatinya merasakan keteduhan. Kultur keislaman yang dipraktikkan para warga, serta tingginya animo melaksanakan ibadah di pesantren, terutama sholat tahajjud menjadi pesona tersendiri yang menumbuhkan hasrat dalam dirinya untuk bermukim di pesantren.
“Saya kagum dengan kultur ibadahnya terutama qiyamul lail, kultur ukhuwah yang begitu mesra dan juga lingkungan yang sangat Islami”, tutur mantan ketua OSIS MAN 1 Kendari ketika ditanya tentang alasannya masuk di pesantren Hidayatullah.
Seiring berjalannya waktu, hatinya pun mantap dan siap bergabung ke Pesantren. Baginya, atmosfer kebaikan yang berjalan di Pesantren adalah jawaban kegelisahan hatinya atas realitas kehidupan di luar yang jauh dari nilai-nilai Islam. Akhirnya dia berpamitan dengan kedua orang tuanya untuk berhijrah total ke Pesantren.
Untuk menambah bekalnya dalam bidang keilmuan, setelah dua tahun mengikuti proses pendidikan di pesantren, tepatnya tahun 1999 datanglah kepadanya tugas untuk memperdalam ilmu agama (ulumuddin) di Bogor selama setahun. Usai belajar di Bogor, dia ditugaskan kembali untuk belajar di Kudus.
Hanya enam bulan. Setelah menunaikan tugas belajar dia kembali bertugas di Hidayatullah Kendari. Kemudian, barulah pada tahun 2001 dia melepas masa lajangnya dengan menikahi Mujahidah Ustadzah Andi Nuryati, S.Ag dari Bone Sulawesi Selatan. Dan pernikahannya juga diadakan di Bone pula.
Sudah menjadi tradisi Hidayatullah, untuk mengirim para santrinya ke daerah-daerah, guna membuka cabang Hidayatullah. Tak terkecuali ustadz Mahrus. Tak lama setelah menikah, dia ditugaskan untuk merintis Pesantren di Buton Kepulauan.
Ini hal yang menantang. Disadarinya, daerah yang akan didatanginya merupakan medan dakwah yang sulit. Namun, dengan keyakinan yang kuat, bahwa pertolongan Allah SWT pasti akan berpihak kepada orang yang memperjuangkan agama-Nya, maka segala bayangan kesulitan itu tak menyurutkan langkahnya untuk berangkat bertugas.
Apa yang menjadi prediksinya, ternyata benar. Ketika ia telah terjun ke medan dakwah, ia langsung mendapat tantang besar prihal lokasi yang menjadi garapan dakwahnya.
“Ternyata lahan yang hendak dibangun pesantren terkenal angker. Terdapat pohon beringin besar yang diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai tempat berdomisilinya jin”, kata dia.
Karena itu pula, masyarakat takut mendekatinya meski di siang hari. Apalagi di malam hari. Belum lagi di depan lahan pesantren terdapat kuburan yang disakralkan oleh masyarakat sekitar.
Banyak kejadian aneh yang terjadi di pesantren, mulai kerasukan setan hingga dilemparinya pesantren dengan batu oleh oknum yang tak bertanggung jawab.
Optimis Berdakwah
Ustaz Mahrus Alam juga pernah ditantang oleh jin untuk beradu ilmu lewat lisan santri atau pembina yang kesurupan. Karena kondisi seperti ini, para pembina pun banyak yang tak betah tinggal di Pesantren dan lebih memilih tinggal di kota. Tapi, Ustaz Mahrus Salam tetap betahan di situ.
Selain tantangan berupa angkernya lahan pesantren, tantangan juga datang dari masyarakat yang dia dakwahi. Ketika mengawali dakwah, ia dihadapkan dengan penolakan masyarakat. Kehadirannya justru dicurigai sebagai pembawa ajaran baru yang akan mengubah tradisi mistik yang telah berakar di Jazirah Buton.
“Bila sekarang mereka menolak dakwah itu bukanlah disebabkan karena kebenciannya kepada apa saya dakwahkan ini. Tapi, penolakan itu disebabkan karena ketidatahuan mereka terhadap nilai kebenaran yang terkandung dalam dakwah yang saya bawa ini”, tutur ustadz yang lihai main bola ini.
Dengan sikap optimistis dan kesabaran, dia terus memberi penjelasan kepada umat. Lambat laun sikap umat pun berubah. Yang menolak menjadi menerima. Seruan dakwahnya mulai diterima umat secara luas. Aktivitas dakwahnya pun menjangkau semua kalangan.
Tak hanya masyarakat bawah. Tapi juga kalangan pejabat, tokoh masyarakat dan agama. Hingga saat ini, telah berdiri tiga kampus Pondok Pesantren Hidayatullah di Baubau dan kini merambah ke Pasar Wajo dan Buton Utara.
Dari mobilitas dakwahnya yang cukup tinggi, dia pun meraih berkah dari dakwahnya. Pada 2013 silam, ia memperoleh jatah umrah gratis bersama rombongan Gubernur Sulawesi Tenggara H. Nur Alam.
“Dengan sumber daya manusia dan finansial yang terbatas, tak mungkin kita akan mencapai keberhasilan seperti saat ini kalau bukan semata-mata pertolongan Allah,” katanya. (ybh/hio)