PALU (Hidayatullah.or.id) – Berjarak sekira 100 meter dari garis pantai teluk Palu, Pesantren Hidayatullah juga merasakan gempa dan tsunami pada tanggal 28 September bulan lalu.
Sudah dua pekan terjadi namun masih menyisakan trauma bagi kebanyakan penghuni Donggala, Palu dan kabupaten Sigi.
Sepanjang jalan-jalan di tiga tempat tersebut warga belum berani tinggal di rumahnya, sebagian menempati tenda-tenda pengungsian dan sebagian lain memilih kembali ke kampung halamannya.
Begitu juga para santri semuanya dijemput orangtuanya lalu diajak mengungsi ke tempat yang mereka anggap aman.
Lain lagi bagi 12 kepala keluarga penghuni Pondok Pesantren Hidayatullah Palu. Mereka tidak meninggalkan pondok, malah kampus dijadikan sebagai posko utama dalam aksi evakuasi dan distribusi bantuan korban bencana.
Di sisi bagian barat kampus Hidayatullah Palu atau posisi yang lebih dekat dengan pantai semua rumah warga berbahan kayu sehingga tersisa 4 bangunan adapun lainnya luluh lantak dihantam tsunami setelah gempa berskala 7.7 Skala Richter.
Kondisi rumah Ustadz Ahmad Arsyad, salaj satu pembina santri, tidak rubuh seluruhnya, bangunan yang sempat ditabrak perahu milik nelayan dan hancur setelah menghantam isi rumah.
“Alhamdulillah bangunan masjid, sekolah, kantor dan guest house utuh tidak terdampak bencana,” kata Dedi salah satu warga pondok.
Dedi menambahkan, tidak terdapat korban jiwa. Selain rumah warga yang hancur di bangunan masjid hanya terdapat retakan pada keramik lantainya.
Memasuki pekan kedua ini terlihat mulai ada upaya merapikan dan menata kembali kondisi kampus.
Pembagian tim evakuasi serta distribusi bantuan sebagian tim juga difokuskan untuk pembenahan pondok.
“Terima kasih untuk semua teman-teman yang membantu kami” ungkap Abdurrahman warga pondok yang haru atas kedatangan relawan dari berbagai daerah untuk tanggap darurat paska bencana Donggala dan Palu.*/Muhammad Bashori