
Ust. Dr. Abdul Mannan, MM bagi saya bukan saja senior yang progresif. Tetapi juga kader yang dekat dengan perjalanan kelembagaan saya.
Empat tahun lamanya (2009-2013) saya mendampingi beliau, menjadi pengasuh dan dosen di STIE Hidayatullah Depok, serta teman diskusi dalam memajukan mentalitas kader.
Kedekatan itu membuatku sering berjalan bersama Ust. Mannan. Setiap ada forum yang sifatnya seminar, workshop, atau bahkan diskusi, beliau selalu mengajakku ikut serta.
“Kita berangkat jam 6. Kamu nanti tunggu di perempatan. Pakai sepatu, baju batik lengan panjang,” itu kalimat yang sering beliau tekankan kalau mengajak saya.
Pesannya jelas, jangan terlambat, jangan salah kostum. Namun, lebih dari sekadar disiplin waktu dan penampilan, Ust. Mannan adalah sosok yang mengajarkan arti kesederhanaan, keteguhan hati, dan pentingnya silaturahmi dalam setiap langkah dakwah.
Pernah dalam satu kesempatan, Ust. Mannan meminta saya berangkat ke Kampus Hidayatullah Gunung Tembak dengan membawa kamera dan segala perlengkapan pendukung untuk melakukan wawancara dengan para tokoh senior Hidayatullah. Mulai dari KH. Abdurrahman Muhammad, KH. Muhammad Hasyim Harjo Suprapto (HS), dan ustadz lainnya.
Ketika kembali ke Depok, beliau melihat hasil wawancara itu, wajahnya tersenyum. Insya Allah. Karena semua senior lembaga itu optimis perjalanan 50 tahun Hidayatullah ke-2 akan semakin baik. Tentu saja itu sangat mungkin, kalau kita tidak melupakan perjalanan dan perjuangan mereka yang telah berdedikasi luar biasa untuk dakwah dan tarbiyah melalui Hidayatullah ini.
Jangan Inferior
Salah satu diksi yang begitu beliau ucapkan adalah superior dan inferior.
“Mengapa (ada kader) inferior, karena tidak memahami manhaj. Hanya latah saja. Tak paham substansi manhaj. Mengapa dulu bukan sarjana tapi punya semangat pergerakan, karena paham manhaj,” argumennya dalam acara Dialog Peradaban bertajuk “Envisioning Pelaku Peradaban” yang diselenggarakan PP Syabab Hidayatullah bekerjasama dengan Elkindy Institute dan DPW Hidayatullah Jabodebek di Kota Depok, Jawa Barat pada April 2019.
Kelebihan Ust. Dr. Mannan, dari setiap narasi yang beliau angkat, basisnya adalah pengalaman dan kiprah dakwah itu sendiri.
Kita bisa memerhatikan dengan seksama, kisah yang paling berkesan tentang Ust. Mannan. Yakni pada masa awal mula perjalanannya di dunia dakwah. Saat itu, pada tahun 1988, ia ditugaskan oleh Abdullah Said, pendiri Hidayatullah, untuk membuka cabang di Makkah Al-Mukarramah.
“Disuruh buka cabang Hidayatullah di Makkah. Saya pikir ini tidak masuk akal. Bagaimana caranya,” katanya suatu kali. Namun, karena prinsip sami’na wa atho’na, ia tetap berangkat meskipun tanpa uang tiket.
Dari Balikpapan, ia menuju Jakarta, tempat ia sempat terdampar karena keterbatasan. Namun, takdir Allah menunjukkan kuasanya. Seorang penjual koran yang tak pernah ia kenal memberikan bantuan untuk tiket ke Makkah.
Di Makkah, Abdul Mannan sempat bingung harus tinggal di mana. Tak ada kenalan, tak ada bekal yang cukup. Namun, pertemuan tak terduga dengan keluarga Abdul Karim Loebis di bawah Ka’bah menjadi titik balik.
Dalam diskusi panjang lebar, ia menyampaikan visi besar Hidayatullah untuk membangun dakwah di Jakarta. Pertemuan itu kemudian berlanjut dengan dukungan dari tokoh-tokoh seperti Bang Imad (penggagas Bank Muamalat) dan Prof. Akmal Taher. Dari sinilah, cikal bakal dakwah Hidayatullah di Jakarta dimulai, termasuk lokasi bersejarah di Cipinang Cempedak, bekas gudang mobil BIN, yang menjadi markas pertama gerakan dakwah.
Tekad Baja
Dalam masa-masa sulit itu, kesederhanaan menjadi fondasi utama perjuangan Ust. Mannan. Ia berkeliling dari rumah ke rumah menggunakan sepeda pancal karena tidak memiliki kendaraan pribadi. “Karena, makan pun susah apalagi motor. Ndak ada motor. Tapi semangat itu saya yakin bahwa Allah akan membantu,” katanya mengenang masa-masa awal itu. Keyakinan inilah yang membuatnya tetap teguh dan istiqomah, bahkan ketika tantangan datang bertubi-tubi.
Bagi Ust. Mannan, silaturahmi bukan hanya sekadar alat untuk menjalin hubungan, tetapi juga strategi untuk membangun sinergi.
“Panjang lebar, akhirnya saya sampaikan keperluan dan kebutuhan kalau kami akan membuka (Hidayatullah) di Jakarta. Semuanya menyambut dengan gembira dan senang hati,” ceritanya. Visi besar yang disampaikan dengan keyakinan dan ketulusan ternyata mampu menggerakkan banyak orang untuk berkontribusi.
Kini, ketika saya melihat perjalanan Hidayatullah yang semakin berkembang, saya ingat pesan Ust. Mannan: “Kalau ini kita rawat, maka ini akan jadi warisan bagi generasi berikutnya.”
Ya, perjalanan ini bukan hanya soal apa yang sudah dicapai, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai perjuangan itu terus dipertahankan. Karena tanpa kesadaran untuk merawat idealisme, kita bisa kehilangan orientasi. Dan itulah yang menjadi penguat bagi kita semua.
Jadi, mari kita renungkan bersama. Apakah kita sudah cukup bersyukur atas perjuangan para pendahulu kita? Apakah kita masih menjaga api ukhuwah dan semangat dakwah yang telah mereka nyalakan?
Jika tidak, maka kita sedang berada di ambang kelesuan. Namun, jika kita tetap istiqomah, insya Allah, langkah-langkah kecil kita hari ini akan menjadi jejak besar bagi generasi mendatang.
Memahami Visi
Kalau kita perhatikan dengan cermat, ada ungkapan Ust. Dr. Abdul Mannan yang begitu mendalam. Itu terjadi saat pertama kali bertemu wakif yang kini menjadi Gedung Pusat Dakwah Hidayatullah di Mekkah.
“Saya sampaikan misi dan visi besar Hidayatullah membangun peradaban di Jakarta. Semuanya menyambut dengan gembira dan senang hati.”
“Saya sampaikan misi dan visi,” artinya, Ust. Dr. Abdul Mannan adalah kader yang mengerti mengapa ia ada di Hidayatullah.
Lalu lebih lanjut, mengapa beliau memilih konsisten dalam dakwah dan tarbiyah di Hidayatullah. Dengan kecerdasan dan jaringan yang beliau miliki, bukan sedikit tawaran untuk jaminan ekonomi beliau secara mandiri. Namun, faktanya, hingga akhir hayat, Ust. Dr. Abdul Mannan tetap di perjuangan dakwah melalui Hidayatullah.
Ini adalah keteladanan nilai dan moral yang sangat tinggi bagi siapapun kader Hidayatullah kedepan.
Dalam dunia bisnis (Yanto Ramli dan Dwi Kartini, “Manajemen Strategik dan Bisnis”), perusahaan yang menerapkan langkah dan manajemen strategis sesuai visi dan misi mampu menggapai tingkat pengembalian keuangan sebesar 30% lebih tinggi daripada perusahan yang tidak memiliki visi dan misi.
Dalam konteks perjalanan kekaderan Ust. Dr. Abdul Mannan kita dapat ambil hikmah bahwa ketika seorang kader memahami visi dan misi ia akan melihat jalan terang perjalanan dakwah ini. Kemudian, hal itu memberikan dasar dari semua pemikiran, perencanaan, tindakan dan evaluasi strategis.
Oleh karena itu wajar jika kita mengenal Ust. Dr. Abdul Mannan sebagai sosok yang energinya selalu menggelegar. Karena beliau punya dan mengerti arah, memiliki titik fokus, dan mampu memberikan rasa harapan bersama kepada seluruh kader.
Jika ke depan kita bertanya, seperti apa kader yang Hidayatullah perlukan, salah satunya profil Ust. Dr. Abdul Mannan perlu kita hadirkan kepada generasi mendatang. Tentu saja juga dengan kader-kader senior masa lalu yang istiqomah di jalan dakwah ini.
Hidayatullah sudah sangat membutuhkan sosok pendahulu yang dapat diakses oleh anak-anak masa datang untuk menemani mereka kala di kelas, masjid, bahkan kala hendak tidur. Mereka bisa membaca itu dalam keseharian. Inilah salah satu alasan, mengapa artikel ini saya siapkan untuk mengenang Ust. Dr. Abdul Mannan, tepat pada waktu beliau wafat 4 tahun silam, 20 April 2021.*
*) Imam Nawawi, penulis Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Hidayatullah 2020-2023, Direktur Progressive Studies & Empowerment Center (Prospect)