DALAM menjalankan shalat sunnah, Rasulullah tidak selalu melaksanakan secara terus menerus. Artinya, Rasulullah pernah meninggalkan pada saat tertentu seperti ketika bepergian. Berbeda dengan shalat sunnah fajar yang Rasulullah tidak pernah meninggalkan sama sekali dalam situasi apapun. Ini tentu menjadi pertanyaan besar yang jawabannya adalah karena ada keutamaan yang besar dari shalat sunnah fajar
Kita sebagai ummatnya tentu juga harus berusaha menteladani kebiasaan Rasulullah untuk membiasakan shalat sunnah fajar dan berusaha untuk tidak meninggalkan sekalipun dalam kondisi apapun.
Shalat sunnah fajar inilah yang paling Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jaga, dikatakan pula oleh ‘Aisyah,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لَمْ يَكُنْ عَلَى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مُعَاهَدَةً مِنْهُ عَلَى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menjaga shalat sunnah yang lebih daripada menjaga shalat sunnah dua raka’at sebelum Shubuh” (HR. Muslim no. 724).
Dalam lafazh lain disebutkan bahwa ‘Aisyah berkata,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَىْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَسْرَعَ مِنْهُ إِلَى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ
“Aku tidaklah pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah yang lebih semangat dibanding dengan shalat sunnah dua raka’at sebelum Fajar” (HR. Muslim no. 724).
Dua hadist di atas, sudah sangat cukup memberikan pemahaman dan motivasi kepada umat Islam untuk semangat dan berusaha istiqomah dalam melaksanakan shalat sunnah Fajar ini. Rasulullah memberikan contoh dan memotivasi umatnya untuk semangat dan tidak meninggalkan shalat sunnah fajar.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran: 31)
Imam Al Qadhi ‘Iyadh Al Yahshubi berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya”.
Siapa yang Mau Dunia dengan seluruh Isinya?
Salah satu yang menjadi jawaban dari Rasulullah tidak pernah meninggalkan shalat sunnah fajar adalah keutamaannya yang luar biasa. Yaitu dunia dengan seluruh isinya.
Sebenarnya, inilah yang sedang dicari oleh sebagian besar manusia hari ini. Terutama manusia materialis yang bekerja dari pagi hingga malam untuk menumpuk harta kekayaan, meski hasilnya tidak seberapa. Bahkan, ada yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekayaan yang melimpah untuk tujuh keturunannya.
Padahal kekayaan orang-orang yang terkaya di dunia jika dikumpulkan semua harta kekayaannya menjadi satu, tidak ada seujung kuku. Tidak sedikitpun nilainya dibandingkan kekayaan Allah di muka bumi, belum yang di langit dan seisinya.
Seharusnya pemburu dunia harus lebih semangat dan terdepan dalam melaksanakan shalat sunnah fajar ini. Namun sifat pahala yang tidak bisa dilihat dan dirasakan langsung, sehingga sebagian besar kita tidak tertarik dengan janji-janji dari Allah dan Rasulullah tentang pahala atau keutamaan shalat sunnah fajar ini. Padahal janji yang paling pasti ditunaikan adalah janji Allah dan Rasulullah.
Meski pahala itu masih belum bisa dinikmati di dunia dalam bentuk materi atau kekayaan. Mungkin ada keutamaan yang Allah berikan dalam bentuk kesehatan jasmanai ruhani, rasa bahagia, tenang, kenyamanan, istri yang taat, anak-anak yang sholeh-sholehah, ada rasa nikmat beribadah.
Adapun dalil yang menunjukkan keutamaan shalat sunnah qobliyah shubuh adalah hadits dari ‘Aisyah di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua raka’at fajar (shalat sunnah qobliyah shubuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim no. 725).
Jika keutamaan shalat sunnah fajar saja demikian adanya, bagaimana lagi dengan keutamaan shalat shubuh itu sendiri yang hukumnya fardhu atau wajib. Tentu lebih banyak nilainya.
Dalam lafazh lain, ‘Aisyah berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara mengenai dua raka’at ketika telah terbih fajar shubuh,
لَهُمَا أَحَبُّ إِلَىَّ مِنَ الدُّنْيَا جَمِيعًا
“Dua raka’at shalat sunnah fajar lebih kucintai daripada dunia seluruhnya” (HR. Muslim no. 725).
Allahu Akbar, bagi orang beriman pasti akan mencintai apa saja yang dicintai oleh Rasulullah. Akan ada motivasi besar untuk bisa mendapatkan keutamaan dan kemuliaan dari amal ibadah yang dijanjikan pahala besar oleh Allah SWT.
Jika para pendosa, termasuk mereka yang kufur, syirik, gemar bermaksiat, lalai, serta malas dalam beribadah, memahami kedamaian dan kebahagiaan yang dirasakan hati orang-orang beriman, mungkin mereka akan menginginkan keimanan itu dengan sepenuh hati.
Mereka akan merasakan kedekatan batin yang tulus kepada Allah, air mata yang mengalir dalam kekhusyukan, kerinduan yang dalam terhadap surga, dan ketakutan yang mendalam akan siksa neraka. Barangkali mereka akan mencari cara untuk menyerap keimanan dari hati para mukmin yang selalu dirasuki rasa tenteram karena keyakinan dan ketakwaan.
Keimanan menjadikan bangun cepat untuk shalat tahajjud, istighfar, dan shalat sunnah fajar menjadi ringan. Rasa ngantuk bangun malam menjadi segar dan semangat.
Jika belum tertarik, belum minat, belum terpanggil, atau belum cenderung untuk mengejar keutamaan dari shalat sunnah sebelum shubuh ini, maka masih perlu dikuatkan lagi ketauhidan dan syahadatnya. Perlu ditempa keyakinannya terhadap kebenaran janji-janji Allah dan Rasul-Nya.[]
*) Ust. Dr. Abdul Ghofar Hadi, penulis adalah Wakil Sekretaris Jenderal I Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah