
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Dakwah menuntut kreativitas dalam berpikir agar pesan yang disampaikan tetap relevan dengan perkembangan zaman. Demikian ditegaskan Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Dakwah (LPPD) Khairu Ummah KH. Drs. Ahmad Yani, yang menegaskan pentingnya berpikir kreatif dalam dakwah.
“Dai bukan hanya mau berpikir tapi ada kreativitas berpikir. Dengan berpikir kreatif, materi dakwah selalu terasa baru walaupun bukan sesuatu yang baru,” kata Ahmad Yani saat mengisi acara Upgrading Nasional dan Penugasan 1000 Dai Ramadhan 1446 Hijriyah yang digelar secara hybrid dari Pusat Dakwah Hidayatullah Jakarta, beberapa waktu lalu ditulis Senin, 3 Ramadhan 1446 (3/3/2025).
Ahmad Yani menegaskan, berfikir kreatif menunjukkan bahwa esensi dakwah tidak berubah, tetapi pendekatan dan penyampaiannya harus mampu menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat.
Dalam kerangka ini, Ahmad menjelaskan, kreativitas berpikir berarti menemukan cara-cara inovatif untuk menyampaikan pesan dakwah sehingga tetap menarik dan menyentuh audiens.
Misalnya, lanjutnua, penggunaan media sosial, pendekatan storytelling, serta pemanfaatan teknologi digital dapat menjadi sarana efektif dalam menjangkau masyarakat luas.
“Dengan kreativitas, dakwah dapat menjadi lebih inspiratif dan membangun kedekatan emosional dengan pendengar,” katanya.
Selain kreativitas, perumusan materi dakwah juga membutuhkan ketajaman dalam memahami dan mendalami isi Al-Qur’an. Anggota Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini memberikan kiat yang sederhana tetapi mendalam dalam merumuskan materi dakwah.
“Merumuskan materi dakwah, kiatnya yang mudah, salah satunya bahas saja satu ayat. Tapi dalami dulu setiap ayat tersebut,” katanya.
Dia mengimbuhkan, keberhasilan dakwah tidak ditentukan oleh banyaknya ayat yang dikutip, melainkan oleh sejauh mana seorang dai mampu menghayati dan menjelaskan satu ayat dengan mendalam.
Dalam era di mana informasi begitu mudah diakses, menurut Ahmad pendalaman terhadap ayat menjadi semakin penting agar tidak terjadi pemahaman yang dangkal dan terfragmentasi.
Pendekatan dakwah semacam ini juga mengajarkan bahwa seorang dai harus mengutamakan kualitas dalam penyampaian pesan keagamaan.
Dengan memahami satu ayat secara mendalam, seorang dai dapat menghubungkannya dengan realitas sosial dan kehidupan sehari-hari umat. Ini akan menjadikan dakwah lebih kontekstual dan mampu memberikan solusi nyata bagi tantangan yang dihadapi oleh masyarakat.
Lebih lanjut, dakwah yang efektif harus mampu menyentuh baik akal maupun hati audiens. Ahmad menyoroti keseimbangan antara rasionalitas dan emosionalitas dalam dakwah.
Menurutnya, dakwah yang hanya berorientasi pada akal cenderung bersifat intelektual tetapi kurang menyentuh aspek spiritual, sementara dakwah yang hanya berorientasi pada emosi dapat kehilangan kedalaman rasionalitasnya.
“Dakwah harus menyentuh akal dan hati,” tegasnya, seraya menjelaskan menyentuh akal berarti menyajikan argumentasi yang logis dan berbasis pada dalil yang kuat, sehingga audiens dapat memahami pesan dakwah dengan nalar yang jernih.
Di sisi lain, menyentuh hati berarti menghadirkan dakwah yang menggugah perasaan, memberikan inspirasi, serta mengajak kepada perubahan yang lebih baik.
Oleh karena itu, lanjut Ahmad, seorang dai harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik, empati terhadap audiens, serta kepekaan dalam memahami kebutuhan spiritual masyarakat.
Dalam era digital seperti sekarang, tantangan dakwah semakin kompleks. Informasi yang beredar di media sosial sering kali bersifat cepat, singkat, dan terkadang dangkal.
Karenannya, Ahmad menambahkan, para dai dituntut untuk tidak hanya memahami ilmu agama dengan baik, tetapi juga menguasai strategi komunikasi yang efektif agar dakwah mereka dapat diterima dengan baik oleh masyarakat luas. (ybh/hidayatullah.or.id)