SAMARINDA (Hidayatullah.or.id) — Pegiat pendidikan yang juga Ketua Bidang Dakwah dan Pelayanan Ummat Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Nursyamsa Hadis, memaparkan konsepsi pendidikan profetik sebagaimana paradigma ini juga diajukan oleh budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia, Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A.
“Pemikiran pendidikan profetik dari almarhum Profesor Kuntowijoyo ini luar biasa, menarik, dan perlu terus disuarakan agar menjadi wacana publik untuk menuju satu format pendidikan yang ideal,” katanya dalam seminar pendidikan digelar di Kampus Utama Pesantren Hidayatullah Samarinda, Kaltim, Sabtu, 23 Rabiul Awal 1443 (30/10/2021).
Nursyamsa menjelaskan, secara normatif-konseptual, paradigma profetik versi Kuntowijoyo ini didasarkan pada Surat Ali-Imran ayat 110: “Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan/dilahirkan ditengah-tengah manusia untuk menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah”.
Menurut Nursyamsa, ayat ini menjadi dasar ketiga pilar nilai ilmu sosial profetik yang digunakan oleh Kuntowijoyo yaitu; pertama, amar ma’ruf (humanisasi) yang mengandung pengertian memanusiakan manusia. Kedua, nahi munkar (liberasi) yang mengandung pengertian pembebasan, dan tu’minuna bilah (transendensi) yang memuat dimensi keimanan manusia.
Lebih jauh, Nursyamsa yang mengutip salah satu tokoh penggagas pendidikan profetik, Khoiron Rosyadi, bahwa ayat 110 Surat Ali Imran tersebut juga terdapat empat konsep pendidikan profetik menurut Kuntowijoyo.
Pertama, jelasnya, konsep tentang umat terbaik (the chosen people), yang menjelaskan bahwa umat Islam sebagai umat terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut.
Umat Islam tidak secara otomatis menjadi the chosen people, karena umat Islam dalam konsep the chosen people ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan ber-fastabiqul khairat.
Kedua, aktivisme atau praksisme gerakan sejarah yang dapat diartikan sebagai sikap bekerja keras dan ber-fastabiqul khairat ditengah-tengah umat manusia (ukhrijat linnas) yang terwujud dalam sikap partisipatif umat Islam dalam percaturan sejarah.
Oleh karenanya, kutipnya lagi, pengasingan diri secara ekstrim dan kerahiban tidak dibenarkan dalam Islam. Para intelektual yang hanya bekerja untuk ilmu atau kecerdasan tanpa menyapa dan bergelut dengan realitas sosial juga tidak dibenarkan.
Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai profetik harus selalu menjadi landasan rasionalitas nilai bagi setiap praksisme gerakan dan membangun kesadaran umat, terutama umat Islam.
Keempat, etika profetik, ayat tersebut mengandung etika yang berlaku umum atau untuk siapa saja baik itu individu, organisasi, maupun kolektifitas jama’ah, umat, atau kelompok. Point yang terakhir ini merupakan konsekuensi logis dari tiga kesadaran yang telah dibangun sebelumnya.
Lebih jauh, Nursyamsa memaparkan, pendidikan profetik adalah suatu metode pendidikan yang selalu mengambil inspirasi dari ajaran nabi Muhammad SAW yang memiliki prinsip mengutamakan integrasi atau holistik. Artinya, terangnya, dalam memberikan suatu materi bidang tertentu juga dikaitkan dengan landasan yang ada di Al Qur’an dan As Sunnah, sehingga tujuan baik duniawi maupun akhirat dapat tercapai.
Nursyamsa menyebutkan, setidaknya ada 5 tujuan pendidikan profetik yang asasi sebagaimana dikemukakan Prof. M. Athiyah Al-Abrasyi. Pertama, untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Kedua, persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan di akhirat. Ketiga, persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan.
Lalu, keempat, menumbuhkan roh ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan memuaskan keingintahuan untuk mengetahui (co-riosity) dan memungkinkan untuk mengkaji ilmu tidak sekedar ilmu. Serta, kelima, menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan kemampuan berusaha supaya dapat menguasai profesi tertentu dan ketrampilan berusaha agar dapat mencari rezeki.
Dalam konteks Hidayatullah, Nursyamsa menilai, padangan dari para pakar tersebut sejalan dengan apa yang menjadi ide pendiri Hidayatullah, Ust Abdullah Said, yang mencita citakan adanya pusat swaka generasi untuk menyemai lahirnya kader Islam yang siap tandang ke gelanggang sebagai pelaku dakwah untuk tegaknya peradaban Islam.
“Itulah kemudian Hidayatullah mengusung visi membangun peradaban Islam yang diantara misinya adalah menjalankan kegiatan pendidikan, dakwah, sosial, ekonomi dan lain-lain secara profetik dan profesional,” kata Nursyamsa.
Dalam rangka tujuan tersebut, Hidayatullah mendirikan pesantren dengan pengupayaan pengelolaan yang selaras dengan Pedoman Organisasi (PO) Hidayatullah Pasal 4 dimana setiap pesantren tersebut menjadi kampus peragaan syariat Islam, kampus dakwah dan rekrutmen anggota, kampus pendidikan dan perkaderan, kampus pemberdayaan ekonomi, dan kampus peduli dhuafa dan mustadhafin.
Pada kesempatan tersebut, Nursyamsa juga memaparkan hal mendasar tentang berbagai kiat dan syarat pengelolaan Sekolah Boarding School (kepesantrenan) yang baik serta konsepsi dan aktualiasi berkenaan dengan profetik dan profesionalisme.
Seminar bertajuk “Konsep Pendidikan KH Abdullah Said dan Pengelolaan Pendidikan Secara Profetik dan Profesional” ini juga menghadirkan narasumber dosen Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) DR. H. Muhammad Tang, M.Pd.I, dan dipandu tokoh pemuda Samarinda, Muslim M. Salbu. (ybh/hio)