
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) – Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, KH. Naspi Arsyad, menyampaikan penegasan mengenai arah kepemimpinan organisasi dalam acara Rapat Pleno DPP Hidayatullah di Pusat Dakwah Hidayatullah, Cipinang Cempedak, Otista, Polonia, Jatinegara, Jakarta, Kamis, 22 Jumadil Awal 1447 (13/11/2025).
Dalam sambutannya, ia memperkenalkan sebuah kerangka kepemimpinan yang ia sebut sebagai AIU, singkatan dari Akal, Inspirasi, dan Uswah. Tiga unsur tersebut, menurutnya, perlu disatukan agar organisasi mampu menjawab tantangan zaman.
Naspi menjelaskan bahwa dalam dinamika perubahan sosial, teknologi, dan budaya hari ini, kepemimpinan tidak bisa lagi hanya bertumpu pada struktur formal. Pemimpin, katanya, harus mampu menjadi motor penggerak yang tidak hanya menjalankan fungsi administratif, tetapi juga membawa gagasan, energi moral, dan keteladanan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Oleh sebab itu, ia menekankan pentingnya menghadirkan kepemimpinan yang mampu memberi dorongan bagi wilayah dan daerah. “Kita perlu menghadirkan kepemimpinan inspriatif. Mampu menginspirasi teman-teman wilayah atau daerah dengan pendekatan personal dan kultural,” ujarnya.
Dalam kerangka AIU yang digagasnya, unsur Inspirasi merujuk pada kemampuan pemimpin untuk memantik semangat, ide, dan keberanian anggota organisasi. Inspirasi bukan hanya retorika, tetapi kehadiran yang memberi dorongan emosional dan intelektual.
Hal ini menjadi penting ketika wilayah dan daerah Hidayatullah menghadapi tantangan lokalitas yang berbeda-beda. Pendekatan personal dan kultural, menurut Naspi, menjadi faktor strategis dalam menciptakan kedekatan dan kepercayaan antara pemimpin dan struktur di bawahnya.
Selain inspirasi, unsur utama kedua yang ditekankan adalah Uswah atau keteladanan. Ia menjelaskan bahwa uswah bukan hanya soal ibadah ritual, tetapi mencakup seluruh sisi perilaku, interaksi sosial, dan adab keseharian. Keteladanan yang menyeluruh menjadi salah satu barometer integritas pemimpin dan organisasi.
“Uswah, mencakup semua sisi, dalam hal umum, bukan semata ibadah. Uswah juga tentang adab,” tegasnya.
Uswah dalam konteks kepemimpinan Hidayatullah memiliki kekhasan karena berakar pada warisan pendiri organisasi, Ustadz Abdullah Said. Naspi menegaskan bahwa keberhasilan seorang tokoh dapat diukur dari kualitas penerus yang melanjutkan perjuangannya. Dengan kata lain, keberlanjutan nilai menjadi cara untuk menilai apakah warisan kepemimpinan benar-benar tertanam dalam struktur organisasi.
“Dari mana cara mengukur keberhasilan Ustadz Abdullah Said, salah satu caranya lihatlah pelanjutnya, penerusnya, bagaimana komitmen kita hari ini,” ungkapnya.
Sementara itu, unsur pertama dalam AIU, yakni Akal, mendapat penekanan kuat dari Naspi Arsyad. Ia menyatakan bahwa penggunaan akal dalam tradisi Hidayatullah tidak dipahami sebagai pemisahan dari spiritualitas, tetapi bagian integral dari penguatan iman dan kerja dakwah. Pemikiran yang sistematis, pembacaan yang mendalam, dan kemampuan analitis diperlukan untuk menjawab persoalan umat di era modern.
“Kita harus mengoptimalkan potensi akal kita,” katanya.
Naspi memberikan contoh konkret mengenai bagaimana akal digunakan secara optimal oleh para kader generasi awal. Ia mengenang sosok almarhum Ustadz Abdul Mannan, salah satu kader senior Hidayatullah. Menurut Naspi, figur tersebut menunjukkan ketekunan dalam membaca dan berpikir tanpa mengabaikan ibadah.
“Ustadz Abdul Mannan adalah salah satu contoh yang saya temukan tekun mengoptimalkan akal, membaca hingga pukul satu malam. Semangat beribadah, kerja, juga semangat berpikir,” paparnya.
Naspi menekankan bahwa akal bukan hanya alat untuk memahami realitas, tetapi juga sarana untuk memperkuat kerja-kerja organisasi. Dalam dunia yang semakin kompleks, kader Hidayatullah dituntut untuk memiliki kemampuan membaca situasi, merumuskan langkah strategis, dan beradaptasi dengan cepat. Hal ini tidak akan tercapai apabila akal tidak diasah secara berkelanjutan.
Ia kemudian menutup rangkaian penjelasan mengenai konsep AIU dengan menegaskan perlunya menyelaraskan komitmen berpikir dengan nilai ibadah dan kerja organisasi. Menurutnya, pemimpin yang hanya bekerja tanpa berpikir akan kehilangan arah, sementara yang banyak berpikir tanpa bekerja tidak menghasilkan dampak.
“Komitmen berpikir harus diselaraskan seiring dengan komitmen beribadah dan bekerja kita,” ujarnya.
Dengan konsep ini, ia berharap wilayah dan daerah mampu melahirkan pemimpin yang cerdas, inspiratif, santun, dan berketeladanan tinggi sehingga organisasi tetap relevan dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat di tengah dinamika zaman.






