AdvertisementAdvertisement

Paradigma Sistematika Wahyu Kontribusi Penting Bagi Sosiologi Pengetahuan Islam

Content Partner

MAKASSAR (Hidayatullah.or.id) — Sosiolog Universitas Hasanuddin (Unhas) Irfan Yahya mengatakan paradigma Sistematika Wahyu (SW) merupakan kontribusi penting bagi sosiologi pengetahuan Islam.

Paradigma SW, menurut Irfan, memperlihatkan bahwa pengetahuan adalah hasil dialektika antara wahyu dan sistem sosial, bersifat transenden sekaligus historis, spiritual sekaligus empiris.

Dengan berpijak pada kerangka Kuntowijoyo tentang Islam sebagai paradigma aksi dan Masri Muadz tentang berpikir sistem, Paradigma SW menghadirkan sintesis antara epistemologi dan praksis sosial.

Irfan menjelaskan, di tengah krisis ilmu modern yang memisahkan fakta dari nilai, paradigma ini mengembalikan keterpaduan bahwa pengetahuan sejati berakar pada tauhid dan bermuara pada keadilan sosial.

Karena itu, jelas Irfan, Munas IV Hidayatullah menjadi momentum strategis untuk merefleksikan dan mengaktualisasikan Paradigma Sistematika Wahyu sebagai panduan berpikir, berorganisasi, dan berperadaban, sebagai ikhtiar profetik untuk menegakkan ilmu yang memerdekakan manusia dan memuliakan kehidupan.

Menurut Irfan, Paradigma SW hadir sebagai upaya membaca ulang orientasi perjuangan Hidayatullah. Dalam opininya di harian Tribun Timur, Jumat, 18 Rabi’ul Akhir 1447 (10/10/2025), ia menjelaskan bahwa gerakan ini tidak dimaknai hanya sebagai dakwah dan tarbiyah, tetapi juga sebagai sistem sosial yang telah berproses selama setengah abad dan kini bersiap memasuki lima puluh tahun kedua.

Paradigma ini menempatkan wahyu bukan semata sebagai sumber nilai keagamaan, melainkan juga sebagai dasar epistemologi dan kerangka sosial bagi pembangunan peradaban.

Paradigma, dalam konteks ini, tidak sekadar kerangka berpikir ilmiah, tetapi juga sistem nilai yang mengatur orientasi tindakan sosial. Secara teoritis, istilah paradigma awalnya diperkenalkan oleh Thomas S. Kuhn untuk menjelaskan pergeseran cara berpikir dalam ilmu pengetahuan. Namun, dari perspektif sosiologi pengetahuan, paradigma mencakup dimensi yang lebih luas.

Dijelaskan akademisi dan peneliti pada Puslit Opini Publik LPPM Unhas ini, cara manusia mengetahui dan bertindak selalu berhubungan erat dengan struktur sosial tempat pengetahuan itu dihidupi. Dengan demikian, wahyu bukan hanya teks transenden, tetapi juga struktur sosial yang hidup dan terus menuntun perubahan peradaban Islam.

Menurut irfan, Paradigma Sistematika Wahyu mengintegrasikan nilai-nilai wahyu dengan realitas sosial. Ia berfungsi sebagai sumber epistemik dan etis bagi perubahan masyarakat. Paradigma ini bersandar pada urutan turunnya wahyu (tartib nuzuli) yang dijadikan fondasi epistemologis dan metodologis sosial.

Lima tahapan awal menjadi dasar pembentukan struktur pengetahuan dan masyarakat: Tauhid (Al-‘Alaq), Fikrah dan Akhlak (Al-Qalam), Tarbiyah dan Spiritualitas (Al-Muzzammil), Dakwah dan Aksi Sosial (Al-Muddatsir), serta Integrasi Islam Kaffah (Al-Fatihah). Setiap fase berhubungan satu sama lain dan membentuk proses berkesinambungan dari kesadaran spiritual menuju sistem sosial yang nyata.

Pola ini, menurut Irfan, sejalan dengan teori sosiologi pengetahuan yang dikemukakan Peter L. Berger dan Thomas Luckmann tentang eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.

“Kesadaran wahyu diekspresikan melalui ajaran dan amal, menjadi obyektif dalam bentuk lembaga dan norma sosial, lalu diinternalisasi kembali dalam kesadaran moral individu,” urai Irfan. Paradigma SW menggambarkan proses ini secara integral: dari kesadaran transenden menuju realitas sosial yang hidup dan berfungsi.

Dalam tradisi pemikiran Islam modern, gagasan Paradigma SW juga menemukan kesetaraan dengan pemikiran Kuntowijoyo. Dalam karyanya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Kuntowijoyo menegaskan perlunya pergeseran dari Islam normatif menuju Islam historis, dari kesalehan individual menuju kesalehan sosial.

Ia menyebut tiga prinsip utama: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Paradigma SW menerjemahkan ketiga prinsip tersebut ke dalam mekanisme epistemologis konkret dengan menjadikan kesadaran tauhid dan penguatan moral sebagai landasan bagi setiap perubahan sosial.

Dalam dimensi sistemik, Paradigma SW juga beririsan dengan pemikiran Masri Muadz tentang Paradigma Al-Fatihah yang menempatkan berpikir sistem sebagai cara memahami keterpaduan ajaran Islam.

Masri menggambarkan Al-Fatihah sebagai totalitas sistem nilai, pengetahuan, dan amal. Menurut Irfan, Paradigma SW mengadopsi semangat itu dengan memandang tartib nuzuli sebagai sistem dinamis, di mana setiap fase menjadi prasyarat bagi fase berikutnya.

Irfan dalam opininya menyebutkan bahwa kesadaran tauhid melahirkan akhlak, akhlak membentuk spiritualitas, spiritualitas menuntun dakwah, dan dakwah memuncak dalam pembentukan masyarakat kaffah. Pendekatan sistemik ini menjadikan wahyu bukan sekadar sumber normatif, tetapi konstruksi sosial bagi tegaknya peradaban.

Dari sudut pandang sosiologi pengetahuan, Paradigma SW memperlihatkan bagaimana pengetahuan ilahiah dapat diinstitusionalisasi menjadi struktur sosial. Peter L. Berger menegaskan bahwa setiap sistem pengetahuan memperoleh legitimasi sosial melalui institusi dan simbol yang menopangnya.

Paradigma SW memberikan pedoman tentang bagaimana kesadaran religius bergerak dari ranah ide menuju obyektivasi sosial yang nyata. Fase tauhid melahirkan orientasi nilai, fase tarbiyah menghasilkan lembaga pendidikan dan spiritual, fase dakwah membentuk struktur komunikasi dan mobilisasi sosial, sedangkan Islam kaffah menegaskan lahirnya sistem sosial yang berkeadilan.

Paradigma ini juga menjadi upaya menghindari dua ekstrem epistemologis: positivisme yang memisahkan fakta dari nilai, serta reduksionisme teologis yang menutup ruang rasionalitas. Dalam kerangka Berger dan Luckmann, Paradigma SW dapat dipahami sebagai usaha membentuk kembali pengetahuan kolektif umat agar berpijak pada wahyu.

Internalisasi wahyu melalui dakwah dan tarbiyah melahirkan kesadaran kolektif baru yang menumbuhkan struktur sosial Islami. Dalam pandangan Max Scheler, agama berfungsi sebagai sumber makna dan orientasi tindakan sosial. Paradigma SW menghidupkan fungsi ini sebagai energi moral yang menstrukturkan kesadaran dan mendorong tindakan kolektif.

Paradigma SW bekerja dalam empat lapisan epistemik: ontologis (tauhid), epistemologis (fikrah dan akhlak), aksiologis (tarbiyah dan dakwah), dan teleologis (Islam kaffah). Setiap lapisan berkorespondensi dengan struktur sosial, mulai dari individu, komunitas, lembaga, hingga peradaban.

Dengan demikian, jelas Irfan, Paradigma SW bukan sekadar model pemikiran keagamaan, tetapi juga kerangka praksis bagi pembangunan masyarakat yang berakar pada wahyu. Ia menawarkan peta konseptual bagi integrasi pengetahuan, iman, dan amal.

Dari perspektif sejarah sosial Islam, jelas Irfan, Paradigma SW dapat dibaca sebagai aktualisasi manhaj nubuwwah, yaitu metode kenabian dalam membangun masyarakat. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menjelaskan bahwa kekuatan spiritual dan solidaritas sosial (asabiyyah) merupakan dua pilar utama peradaban.

Paradigma SW menghidupkan sintesis tersebut dengan menjadikan wahyu sebagai energi spiritual dan rasionalitas sosial. Melalui pendekatan sistemik yang berpijak pada wahyu, Irfan menegaskan, paradigma ini menyediakan kerangka untuk membangun masyarakat berilmu dan berkeadilan tanpa memisahkan iman dan institusi.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Iqra’ Jalan Kehidupan Menuju Pemahaman dan Kepemimpinan Sejati

JAKARTA (Hidayatullah.or.id) -- Anggota Dewan Mudzakarah Hidayatullah Ust. Akib Junaid Kahar menyampaikan pesan tentang hakikat ilmu pengetahuan dan relevansinya...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img