SUATU hari, aku bersimpuh di pelataran Masjid al-Haram sambil menikmati munajat kepada Allah. Demikian Aidh al-Qarni menuangkan kisahnya dalam karya monumental, La Tahzan. Kala itu kota Makkah sedang dipanggang oleh terik matahari. Kira-kira waktu Dzuhur masih tersisa satu jam lagi.
Tiba-tiba, seorang laki-laki tua melintas di hadapanku. Kedua tangannya memegang gelas-gelas berisikan air Zam-zam. Tampak jemari keriput itu menggenggam erat. Seolah ingin memastikan, tak ada air yang tumpah dari wadah yang berbahan plastik itu.
Dengan santun, ia lalu menghampiri setiap manusia yang ada di sekelilingnya. Menawarkan seteguk air Zam-zam segar di siang hari yang terik. Demikian seterusnya, pria sepuh itu tak henti membasuh leher-leher tamu Baitullah dengan air Zam-zam.
Serta merta orang-orang di sekitarnya turut menatap perbuatan orang itu. Seolah ikut menunggu, kapan kemuliaan itu datang menghampiri mereka. Meneguk air Zam-zam yang mulia dari sodoran laki-laki berhati mulia itu.
Tak jauh darinya, aku hanya bisa membatin. Aidh al-Qarni meneruskan ceritanya. Aku terpana melihatnya tersenyum ketika menawarkan segelas air Zam-zam. Serta menyaksikan senyum itu kembali mengembang lebar kala orang-orang berterima kasih kepadanya.
Sungguh, meraup kebaikan itu sangatlah mudah bagi orang-orang yang dilapangkan hatinya oleh Allah. Sebagaimana orang-orang ihsan itu sangatlah banyak di sekitar kita. Semuanya berpulang kepada Allah sebagai Pemilik seluruh kemuliaan di jagat raya.
Bagi orang beriman, tanda kebagusan iman itu, salah satunya terpancar lewat kecintaan kepada kebaikan. Mereka senantiasa menyukai kebaikan dan berharap kebaikan itu juga ada pada saudaranya yang lain. Sebaliknya mereka benci dan turut merasakan lara kala keburukan itu menimpa saudaranya.
Sejatinya, perbuatan baik itu meruahi kehidupan orang-orang beriman. Begitu banyak kebaikan dan sejatinya peluang berbuat ihsan itu selalu ada di hadapan kita. Hanya satu soalan lagi, sudahkah kita benar-benar bermohon kepada Allah agar dimudahkan melakukan kebaikan-kebaikan yang berlimpah itu. Sebab kebaikan serta kemudahan itu hanya milik Allah semata. Dia memberikan hidayah-Nya kepada siapa yang Dia kenan untuk ditunjuki.
Sahabat, mari sejenak menengok lembaran sejarah. Di sana orang-orang shalih terdahulu (salaf shalih) berbaris rapi dengan kumpulan prestasi kebaikan mereka.
Kita awali dengan sahabat Abu Bakar Radhiyallahu anhu. Pemilik gelar ash-Shiddiq ini rela menghabiskan harta demi tegaknya syariat Islam.
Ada putra al-Khaththab, di malam yang dingin lagi pekat, ia justru memilih keluar rumah untuk berpatroli sendirian. Selain memastikan keamanan warganya, Umar juga khawatir jikalau di antara penduduk kota Madinah ada yang masih berbelit kelaparan di saat yang lain sedang menikmati tidur pulasnya.
Juga ada Abdullah bin al-Mubarak Rahimahullahu. Seorang tabi’in yang terkenal dengan berbagai kemuliaan jiwa yang melekat. Salah satunya, ia pernah membatalkan niatan berhaji yang direncanakan sejak awal. Ibnu al-Mubarak tak ingin ada anak tetangganya yang meringis kelaparan. Untuk itu, seluruh tabungan hajinya ludes demi menyenangkan hati sang tetangga.
Terakhir, tentu saja, jangan lupakan kisah laki-laki sepuh di atas. Jiwa yang mulia itu lalu memilih kebaikan dengan cara tersendiri. “Hanya” memberi minum sekumpulan jamaah di Masjid al-Haram. Masing-masing diberi segelas air Zam-zam segar, sambil tersenyum ramah.
Jika pintu-pintu kebaikan itu benar-benar melimpah. Lalu apa sebenarnya yang menghalangi diri ini dalam mengerjakan kebaikan? Mengapa terkadang ada waktu yang berlalu, ada hari yang terlewatkan tanpa ada kebaikan yang kita lakukan?
Sungguh, jiwa yang nista ini harus mengaku dan memohon ampun di hadapan Allah. Betapa ia seringkali lalai dari bersyukur kepada Allah. Dirinya berbalut nikmat tapi ia lupa akan titah Sang Pemberi nikmat. Nastaghfirullah wa natubu ilaihi.*
__________________
MASYKUR ABU JAULAH, Penulis adalah dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan, Kaltim.