
ADA satu kebahagiaan yang hanya dipahami oleh para penghafal al-Qur’an; kebahagiaan ketika dirinya bisa setoran hafalan dalam satu kali duduk, lancar sesuai target.
Aaaa … rasanya… segala susahnya, nangisnya, ngantuknya, malasnya, dan semua yang sebelumnya terasa berat, seketika hilang tak berbekas.
Perjalanan para penghafal Al-Qur’an itu sangat panjang dan tidak mudah. Itulah mungkin yang kurasakan. Meski statusnya masih pemula.
Tepatnya, sebagai orang yang masih berjuang mempertahankan nikmat pernah diberi kemampuan menghafal al-Qur’an. Itulah diriku sebenarnya.
Kini aku berdiri sebagai guru tahfidz al-Qur’an. Dari sini, aku seolah sedang melihat kembali diriku sendiri melalui murid-muridku.
Aku mulai menghafal al-Qur’an sejak sekolah di tingkat SMP, dan hingga SMA aku masih berada di perjalanan itu. Enam tahun bukan waktu yang sebentar.
Pernah suatu ketika aku bertekad untuk tidak menyelesaikan hafalanku. Bukan tanpa alasan. Sudah terbayang betapa beratnya muraja’ah juz sebanyak itu. Rutinitas para penghafal Qur’an yang juga harus belajar di sekolah menjadi makanan sehari-hari kami sebagai santri.
Bangun shalat tahajjud, menghafal, halaqah Shubuh, setoran ziyadah, piket asrama, berangkat sekolah, belajar hingga jam dua siang, jeda sebentar hanya untuk shalat Dzuhur, lanjut belajar hingga shalat Ashar, halaqah Ashar, setoran muraja’ah, piket sore, shalat Maghrib, halaqah Maghrib, hafalan bi an-nadzhar, shalat Isya, belajar malam, halaqah persiapan ziyadah, tidur, lalu kembali bangun pukul tiga.
Begitulah rutinitas kami; padat, melelahkan, tapi sungguh penuh makna.
Kadang kami mengaji di kelas saat pelajaran siang. Rasanya lebih sibuk menatap mushaf daripada menyimak penjelasan guru. Diakui itu salah juga dilema. Pilihan kami sulit. Sore hari wajib setoran muraja’ah. Jika tidak lancar, harus mengulang kembali. Sedang mengulang itu berarti menambah tekanan bagi diri sendiri.
Namun ada satu momen paling indah; saat menghafal di waktu tahajud. Membaca surat cinta-Nya di tengah malam ketika dunia sunyi. Shalat tahajud sambil muraja’ah menjadi tantangan yang justru menumbuhkan kenikmatan tersendiri.
Teringat kalimat hikmah yang selalu terpatri di hati:
“Aib bagi seorang penghafal al-Qur’an jika ia tidak menyetorkan hafalannya kepada Dzat yang menurunkan al-Qur’an pada sepertiga malamnya.”
Kalau dulu aku berada di posisi mereka. Kini, murid-muridkulah yang sedang menjalani semua itu. Aku menyaksikan, menikmati sekaligus mendukung perjuangan mereka, jatuh-bangun mereka, seraya melihat potret diriku sendiri di masa lalu.
Namun perjalanan tahfidz bukan hanya tentang target dunia. Tidak berhenti pada jumlah juz, lancar atau tidaknya setoran, atau nilai ujian semata. Di balik setiap ayat yang mereka pegang erat, ada nilai akhirat yang jauh lebih besar.
Ada janji Allah yang nyata tentang kemuliaan, tentang masa depan yang diberkahi, tentang hidup yang dijaga oleh ayat-ayat yang mereka simpan dalam dada.
Hari-hari ini, mereka para santri tengah menghadapi ujian hafalan. Satu evaluasi yang mengukur seberapa kuat hafalan itu bertahan, seberapa dalam ayat-ayat itu mengakar, dan seberapa besar kesungguhan mereka menjaga amanah kalamullah.
Semangat, para pejuang al-Qur’an!
Teruslah melangkah. Ini adalah kepingan mozaik sekaligus perjalanan panjang menuju gelar kemuliaan di sisi Allah. Sebagai keluarga Allah dan sebagai penjaga wahyu-Nya. Sebab setiap lelah akan berubah menjadi cahaya.
*) Irfatunnazhifah, penulis guru tahfizh al-Qur’an putri Pesantren Hidayatullah Bontang Kalimantan Timur






