AdvertisementAdvertisement

Relevansi Ilmu dan Strong Leadership dalam Dinamika Peradaban Islam

Content Partner

ADA salah satu pernyataan reflektif yang disampaikan Rais ‘Aam Hidayatullah, KH Abdurrahman Muhammad, dalam taushiyah subuh pada Pekan Orientasi Pengurus Tingkat Pusat Hidayatullah Periode 2025–2030 di Bogor, Jawa Barat, Senin, 26 Jumadil Awal 1447 (17/11/2025): “Basis kejayaan sebuah peradaban adalah ilmu dan kepemimpinan.”

Pernyataan tersebut merupakan sebuah tesis historis mengenai fondasi bangunan peradaban yang selalu berulang sepanjang sejarah manusia.

Dua pilar utama ini, ilmu dan kepemimpinan, merupakan fondasi struktural yang menentukan apakah suatu peradaban dapat tumbuh, bertahan, atau runtuh. Dalam konteks dunia global saat ini, keduanya tampak begitu jelas dalam dominasi peradaban Barat.

Sementara itu, dunia Islam menghadapi tantangan besar dalam merawat kedua pilar tersebut agar mampu kembali berkontribusi bagi pembangunan peradaban yang bermartabat. Melalui tinjauan historis, kita dapat memahami dinamika peradaban melalui dua kata kunci ini.

Pada masa modern, peradaban Barat mendominasi lanskap global karena kemampuannya mengembangkan tradisi filsafat, sains, dan penelitian modern secara berkelanjutan. Kemajuan teknologi yang dihasilkan menjadi fondasi kekuatan politik, ekonomi, militer, serta sosial budaya Barat.

Hingga kini, Barat menjadi kiblat dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, negara-negara Barat juga berhasil memainkan peran penting dalam kepemimpinan internasional melalui penguatan sistem politik dan institusi global yang berbasis nilai-nilai demokrasi liberal.

Struktur kekuasaan global yang mereka bentuk membuat banyak negara di kawasan Timur berada dalam posisi yang harus menyesuaikan diri dengan standar dan kepentingan Barat.

Terjebak Romantisme Kejayaan Masa Lalu

Berbeda dengan kondisi tersebut, peradaban Islam pada masa kini berada pada posisi yang kurang kompetitif dibandingkan peradaban modern Barat. Salah satu faktor utama adalah perkembangan ilmu pengetahuan yang belum sepenuhnya matang, belum terarah, dan belum memiliki kerangka epistemologis yang solid.

Di beberapa konteks, diskursus keilmuan masih terjebak pada romantisme kejayaan masa lalu sehingga pembaruan metodologis dan tradisi riset belum berkembang optimal. Secara epistemologis, dunia Islam menghadapi persoalan ketidakjelasan arah, integrasi keilmuan yang belum menyatu, dan orientasi yang belum terbangun secara kuat.

Di tingkat kepemimpinan global, umat Islam juga menghadapi tantangan fragmentasi. Batas-batas nasional membuat potensi kolektif umat tidak terkonsolidasi. Sebagian kepemimpinan internal umat pun menghadapi degradasi kualitas, baik dari sisi integritas, kapasitas, maupun visi peradaban. Ini melemahkan daya dorong kemajuan umat Islam secara keseluruhan.

Padahal, peradaban Islam pada masa Rasulullah dan para sahabat telah memberi model terbaik mengenai bagaimana ilmu dan kepemimpinan menjadi kunci kejayaan. Sejarah Islam awal tidak hanya menampilkan kesalehan spiritual, tetapi juga kemampuan membangun fondasi intelektual dan kepemimpinan yang kokoh.

Untuk memahami hal ini, metafora pertumbuhan bambu moso (phyllostachys edulis) sering digunakan dalam kajian manajemen dan pengembangan sumber daya manusia.

Tumbuhan ini mengalami fase pertumbuhan akar yang intensif selama bertahun tahun sebelum memperlihatkan perkembangan signifikan di permukaan. Pola tersebut adalah penegasan pentingnya foundation building sebelum memasuki fase ekspansi struktural.

Dalam sejarah Islam, periode Makkiyah merupakan fase pembentukan pondasi epistemologis dan spiritual bagi proyek peradaban Islam. Fase ini bersifat supra struktur, yakni pembangunan akar sebelum struktur dan infra struktur dakwah berkembang.

Pada periode Makkiyah, Rasulullah membangun tauhid sebagai akar epistemologis ilmu dan spiritualitas sebagai prioritas strategis, sebagaimana akar bambu moso yang tumbuh diam namun menentukan kekuatan pertumbuhan berikutnya.

Penegasan ini semakin kuat ketika kita melihat Wahyu pertama, lima ayat awal Surah al-‘Alaq. Ayat-ayat tersebut menanamkan fondasi epistemologi keilmuan Islam: bahwa al-‘ilm harus berakar pada kesadaran ketuhanan, pengakuan bahwa Allah adalah sumber ilmu, dan bahwa kemampuan intelektual manusia hanya bisa berkembang melalui proses pembelajaran yang selalu bergantung kepada-Nya.

Seluruh surat dan ayat Makkiyah meneguhkan fondasi tauhid. Selama 13 tahun dakwah belum menunjukkan kebesaran struktural, namun dalam 10 tahun setelah hijrah Rasulullah mampu membangun peradaban yang tumbuh sangat cepat.

Pilar kedua kejayaan adalah kepemimpinan yang kuat (strong leadership). Pada fase Makkiyah, Rasulullah memimpin dalam kondisi serba terbatas: kekuatan sosial, ekonomi, dan politik hampir tidak ada; pengikut sedikit; serta tekanan dari elit Quraisy sangat kuat. Dalam teori kepemimpinan modern, ini sebanding dengan foundational leadership, yakni kepemimpinan yang memfokuskan diri pada pembentukan karakter, visi, dan integritas sebelum membangun struktur kekuasaan.

Kepemimpinan Rasulullah tidak dibangun melalui koersifitas atau otoritarianisme, tetapi melalui moral authority dan keteladanan. Model ini dalam studi kontemporer dikenal sebagai transformational leadership, yaitu kepemimpinan yang mengubah nilai dan orientasi pengikut sehingga mereka rela memberikan pengorbanan demi misi bersama. Reputasi sebagai al-Amin sebelum kenabian menjadi modal sosial yang sangat kuat, sementara praktik kepemimpinan partisipatif Rasulullah membangun kepercayaan dan menumbuhkan loyalitas kolektif.

Dalam konteks kekinian, aktualisasi transformational leadership menuntut pemimpin yang tidak hanya memiliki otoritas struktural, tetapi juga otoritas moral.

Di tengah disrupsi teknologi dan kompleksitas sosial, pemimpin transformatif menggerakkan perubahan dengan membangun kepercayaan, menumbuhkan motivasi intrinsik, dan menghidupkan budaya inovasi dalam organisasi.

Dari sini, jelas bahwa ilmu dan kepemimpinan tidak hanya menentukan kelangsungan peradaban, tetapi juga menentukan arah perjalanan suatu bangsa dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks.[]

*) Ust. Dr. Abdul Ghofar Hadi, penulis Ketua Bidang Perkaderan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

KHUTBAH JUM’AT Dua Do’a Penjaga Hati dan Jalan Menuju Husnul Khatimah

إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img