ORGANISASI, baik itu dalam bentuk sekuler maupun berbasis agama, memiliki tujuan untuk mencapai visi, misi dan tujuan mulia yang telah ditetapkan. Organisasi, bagaikan sebuah bangunan megah, membutuhkan pondasi yang kuat dan sistem yang kokoh untuk berdiri tegak. Sayangnya, banyak organisasi, termasuk organisasi Islam, yang tumbang bukan karena diterpa badai besar, melainkan karena pondasi dan sistemnya yang rapuh.
Hal ini tidak hanya terjdi pada organisasi baru, sebab tidak sedikit organisasi yang yang sudah eksis puluhan bahkan ratusan tahunpun, pada akhirnya mengalami keruntuhan. Hal ini tidak hanya karena adanya pengaruh dari faktor eksternal, tetapi justru seringkali karena dipicu oleh kelemahan internal yang dibiarkan tumbuh tanpa penanganan.
Ketika kita berbicara tentang runtuhnya sebuah organisasi, kita tidak hanya berbicara tentang kegagalan dalam mencapai tujuan, tetapi juga tentang hilangnya orientasi, kepercayaan, martabat, dan harapan yang seharusnya dibawa bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya organisasi tersebut.
Dalam konteks organisasi Islam, keruntuhan seperti ini lebih dari sekadar kegagalan manajemen; ia adalah kegagalan moral dan spiritual yang meruntuhkan fondasi yang seharusnya dibangun di atas nilai-nilai Islam. Fenomena ini sering terjadi, dan tidak jarang disebabkan oleh faktor-faktor internal yang sebenarnya dapat dihindari jika pengelolaan organisasi dilakukan dengan baik.
Beberapa poin yang menyebabkan robohnya sebuah organisasi, setidaknya dapat digambarkan dalam uraian berikut.
Pertama, Ketergantungan pada Figur, Bukan Sistem
Salah satu penyebab utama runtuhnya sebuah organisasi adalah ketergantungan yang berlebihan pada figur atau tokoh tertentu. Meskipun dalam perspektif Islam kepemimpinan adalah faktor utama dalam sebuah organisasi, akan tetapi kebijakan dan keputusannya tidak mutlak, sebab dibatasi oleh sistem yang mengikatnya. Sehingga setiap kebiujakan dan kepusannya berbasis pada sistem dan mekanisme yang ada dalam organisasi itu.
Dalam banyak kasus, organisasi menjadi sangat bergantung pada satu atau beberapa individu, sehingga seolah menjadi superman. Akibatnya, ketika figur tersebut tidak lagi ada atau bisa jadi mulai menyimpang dari prinsip-prinsip yang dipegang, organisasi pun ikut goyah. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi tersebut tidak memiliki sistem yang kuat dan mandiri.
Dalam Islam, pentingnya sistem yang kuat dan adil ditegaskan dalam banyak ayat dan hadits, seperti dalam QS. Al-Maidah [5]:8 yang mengajarkan pentingnya berlaku adil: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…”
Ketika sebuah organisasi lebih bergantung pada sistem yang adil daripada figur, maka organisasi tersebut memiliki fondasi yang lebih kuat dan tidak mudah runtuh meskipun terjadi pergantian pemimpin kapanpun juga. Hal ini juga berpulang kembali kepada sistem dan mekanisme yang ada dalam setiap organisasi Islam.
Kedua, Rapat dan Syura yang Hanya Formalitas
Syura atau musyawarah adalah prinsip dasar dalam pengambilan keputusan dalam Islam, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Asy-Syura [42]:38: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka…”
Rapat dan syura seharusnya menjadi wadah untuk melahirkan keputusan kolektif yang bijaksana dibawah sebuah kepemimpinan. Namun, jika rapat dan syura hanya menjadi ajang formalitas, tanpa adanya diskusi yang mendalam dan pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat, maka organisasi akan sulit berkembang.
Apalagi jika dalam Syura, tidak berusaha untuk mendengarkan berbagai pandangan dan masukan, maka keputusan yang diambil cenderung bersifat subjektif dan tidak mewakili kepentingan bersama. Rapat-rapat yang hanya menjadi ajang formalitas ini menghilangkan esensi dari syura itu sendiri, yakni mencari solusi terbaik melalui pendapat kolektif yang dilandasi keikhlasan. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman : “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali ‘Imran: 159)
Hal yang lebih parah lagi, ketika pengambilan keputusan tidak lagi berdasarkan syura yang benar, tetapi lebih karena desakan atau bisikan dari orang-orang terdekat, maka organisasi tersebut akan kehilangan arah dan mudah terjebak dalam keputusan yang tidak bijaksana.
Sebab, salah satu tanda bahaya terbesar bagi sebuah organisasi adalah ketika ia lebih bergantung pada figur daripada sistem. Nabi Muhammad SAW telah memberikan teladan bagaimana membangun sistem yang kuat, bukan kultus individu. Beliau bersabda: “Aku hanyalah manusia biasa seperti kalian. Aku bisa lupa sebagaimana kalian lupa. Maka jika aku lupa, ingatkanlah aku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, Penyalahgunaan Wewenang dan Amanah
Penyalahgunaan wewenang adalah salah satu bentuk penghianatan terhadap amanah yang diberikan. Dalam Islam, amanah adalah tanggung jawab yang harus dijalankan dengan penuh kejujuran dan integritas. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58).
Ketika amanah disalahgunakan, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, maka kepercayaan yang menjadi landasan utama dalam sebuah organisasi akan hancur. Penyalahgunaan wewenang ini bisa berupa pengambilan keputusan yang tidak transparan, korupsi, atau nepotisme yang merusak integritas organisasi.
Salah satu penyalahgunaan amanah yang seringkali tidak dirasakan oeleh yang melakukan adalah jika pemegang struktural dalam organisasi lebih banyak menuntut haknya, dari pada menjalankan kewajibannya. Bahkan, tidak merasa bahwa hal demikian termasuk perbuatan bersalah/khianat jika tidak menjalankan kewajiban secara sadar, akan tetapi tetap menuntut hak-haknya untuk terpenuhi. Pada sisi lain hal ini cepat atau lambat akan diketahui oleh struktur dibawahnya atau anggotanya dan akan berpengaruh pada tingkat kepercayaan bagi struktur dibawahnya dan juga menurunkan kepercayaan bahkan muru’ah-nya dihadapan anggota Organisasi.
Keempat, Regulasi Tanpa Implementasi dan Pemberian Sanksi
Regulasi dan kebijakan dalam organisasi seharusnya menjadi pedoman yang jelas dalam beroperasi. Namun, ketika aturan-aturan ini hanya sebatas kata-kata di atas kertas dan tidak diterapkan secara konsisten, maka otoritas dan kredibilitas organisasi akan merosot. Membuat aturan tanpa penegakan adalah seperti membangun rumah di atas pasir.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang terpandang (terhormat) di antara mereka mencuri, mereka membiarkannya. Namun jika ada orang yang lemah di antara mereka mencuri, mereka menegakkan hukum atasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Setiap organisasi memiliki aturan dan regulasi yang seharusnya menjadi panduan dalam beroperasi. Namun, ketika regulasi tersebut hanya sebatas aturan yang tertulis tanpa ada penegakan saat terjadi pelanggaran, maka organisasi akan kehilangan otoritasnya dan akan menciptakan budaya pembangkangan.
Di mana pembangkangan dari struktur bawah terhadap struktur atas akan semakin sering terjadi, dan tanpa adanya sanksi atau tindakan tegas, organisasi akan kehilangan kendali dan akhirnya runtuh. Ketidakadilan dalam penegakan aturan tidak hanya merusak sistem, tetapi juga menghancurkan rasa keadilan dan kepercayaan anggota organisasi.
Kelima, Krisis Keteladanan
Salah satu aspek penting dalam kepemimpinan adalah teladan. Pemimpin yang hanya memberikan perintah tanpa menunjukkan contoh nyata akan kehilangan otoritas moral di hadapan pengikutnya. Pemimpin yang tidak memberikan teladan adalah seperti penunjuk jalan yang tidak pernah melakukan perjalanan. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Saff: 2-3)
Disisi ayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah contoh teladan terbaik, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Ahzab [33]:21: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Ketika pemimpin tidak mampu menjadi contoh yang baik, bahkan malah melanggar aturan organisasi, maka anggota organisasi akan kehilangan arahan dan motivasi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kehilangan kepercayaan dan disintegrasi dalam organisasi.
Keenam, Pembangkangan Struktural
Ketika struktur bawah membangkang terhadap struktur atas, ini adalah tanda bahwa rantai komando telah rusak. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 59)
Meskipun ayat ini berbicara dalam konteks yang lebih luas, prinsip ketaatan terhadap kepemimpinan yang sah juga berlaku dalam organisasi, selama kepemimpinan tersebut tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Dalam sebuah organisasi, hierarki dan rantai komando sangat penting. Namun, ketika pembangkangan terjadi dari struktur bawah terhadap struktur atas, tanpa adanya resolusi yang tepat, hal ini menjadi pertanda buruk bagi keberlangsungan organisasi. Pembangkangan ini sering kali terjadi karena ketidakpuasan terhadap kepemimpinan atau kebijakan yang dianggap tidak adil. Ketika pembangkangan dibiarkan tanpa penyelesaian, itu akan memicu keretakan lebih lanjut dalam organisasi, yang pada akhirnya menyebabkan kehancuran total.
Ketujuh, Transparansi dan Akuntabilitas yang Lemah
Transparansi dan akuntabilitas adalah dua pilar penting dalam manajemen organisasi yang sehat. Tanpa transparansi, keputusan-keputusan yang diambil akan selalu dipertanyakan oleh anggota organisasi, sementara ketiadaan akuntabilitas akan memicu perilaku koruptif dan penyalahgunaan wewenang.
Islam sangat menekankan pentingnya akuntabilitas, sebagaimana Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang memegang amanat dari urusan kaum Muslimin, lalu ia tidak berusaha semampunya untuk kebaikan mereka, maka ia tidak akan masuk surga bersama mereka.” (HR. Muslim).
Jika organisasi tidak memiliki mekanisme yang jelas untuk memastikan bahwa setiap tindakan dan keputusan dipertanggungjawabkan, maka kepercayaan dari anggota dan publik akan hilang, dan ini adalah awal dari runtuhnya sebuah organisasi. Sehingga tidak adaa sepeserpun dana yang dipergunakan untuk tidak dipoertanggungjawabkan dihadapan public, sebagai impkementaasi dari transparansi dan akuntabilitas disisi manusia, dan sekaligus pertanggung jawaban dihadapan Allah ta’ala di yaumil hisab kelak.
Tantangan bagi Organisasi Islam
Untuk mencegah kehancuran organisasi Islam, kita harus kembali kepada prinsip-prinsip dasar Islam. Syura harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan menjadi landasan pengambilan keputusan. Sistem dalam organisasi harus dibangun dengan kuat, di mana peran individu hanyalah bagian dari keseluruhan mekanisme. Transparansi dan akuntabilitas harus dijaga dengan ketat, dan setiap pelanggaran terhadap amanah harus ditindak dengan tegas sesuai dengan hukum dan regulasi yang berlaku.
Selain itu, keteladanan dari pemimpin sangat penting. Pemimpin yang baik bukan hanya seorang yang cakap dalam mengelola organisasi, tetapi juga memiliki integritas moral yang tinggi. Mereka harus menjadi contoh bagi yang lain, menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan rasa takut kepada Allah ta’ala.
Organisasi Islam memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan yang membawa perubahan positif bagi umat manusia. Namun, potensi ini hanya bisa terwujud jika organisasi tersebut dibangun di atas dasar sistem yang kuat, dijalankan dengan prinsip syura yang benar, dan dipimpin oleh individu-individu yang memiliki keteladanan yang baik. Jika tidak, organisasi tersebut hanya akan menjadi bangunan yang rapuh, yang suatu hari akan roboh dan hilang dari sejarah.
Penutup
Robohnya sebuah organisasi seringkali dimulai dari kelalaian dalam hal-hal kecil yang kemudian berkembang menjadi masalah besar. Ketergantungan pada figur, rapat yang hanya formalitas, penyalahgunaan wewenang, pelanggaran tanpa konsekuensi, ketiadaan teladan, dan kurangnya transparansi serta akuntabilitas adalah tanda-tanda jelas dari sebuah organisasi yang sedang menuju kehancuran.
Sebagai umat Islam, kita harus senantiasa mengingatkan diri kita tentang pentingnya menjalankan amanah dengan baik, berpegang pada prinsip syura, dan menegakkan keadilan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam organisasi. Dengan demikian, kita dapat membangun kembali organisasi yang kuat, kokoh, dan berlandaskan pada nilai-nilai yang benar, sehingga dapat bertahan dan relevan sepanjang zaman.
Akhirnya Robohnya sebuah organisasi Islam bukan hanya tragedi bagi organisasi itu sendiri, tetapi juga bagi umat Islam secara keseluruhan. Ini adalah peringatan bagi kita semua untuk selalu menjaga integritas, sistem, dan nilai-nilai Islam dalam berorganisasi. Allah ta’ala berfirman: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali ‘Imran: 103)
Ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya persatuan dan integritas dalam organisasi Islam. Hanya dengan kembali kepada prinsip-prinsip dasar Islam dan menerapkannya dengan sungguh-sungguh dalam berorganisasi, kita dapat membangun organisasi yang kokoh, bermanfaat bagi umat, dan mendapat ridha Allah SWT. Wallahu a’lam.
*) ASIH SUBAGYO, penulis peneliti senior Hidayatullah Institute (HI)