
JAKARTA (Hidayatullah.or.id) — Dalam suasana zaman yang dibayang-bayangi krisis moral dan kaburnya pemahaman holistik terhadap Alquran, hadir sebuah buku yang membuka cakrawala baru dalam memahami metode dakwah Rasulullah SAW.
“Manhaj Nabawi Merujuk Sistematika Wahyu” karya Dr. Nashirul Haq, MA, menjadi jendela untuk menelaah kembali cara wahyu diturunkan, dipahami, dan dijalankan—sebuah pendekatan yang berakar dari pemikiran Ust. Abdullah Said, pendiri gerakan dakwah Hidayatullah.
Buku ini tidak sekadar membahas Alquran sebagai teks, tetapi sebagai sistem hidup yang diturunkan secara bertahap, sistematis, dan mengakar dalam jiwa.
Dari Al-Alaq, Al-Qolam, Al-Muzzammil, Al-Mudatstsir hingga Al-Fatihah, Dr. Nashirul menawarkan perspektif kepada pembaca untuk memahami bagaimana wahyu pertama membentuk tauhid dan pencerahan, melahirkan akhlak, menumbuhkan kesadaran ibadah, hingga menggerakkan dakwah sebagai rahmat bagi semesta.
Yang menarik, dalam bedah buku ini hadir pembanding yang juga memberikan apresiasi yaitu KH. Farid F. Saenong, MA, MSc, Ph.D, Koordinator Staf Khusus Menteri Agama RI.
Ia membuka pembicaraan dengan kenangan masa kecil yang akrab dengan Majalah Suara Hidayatullah, menandai benang merah perjalanannya dengan spirit dakwah Hidayatullah.
Ia bahkan mengajak hadirin untuk membacakan Al-Fatihah bagi Ust. Abdullah Said—sebuah penghormatan yang menyentuh.
“Bedah buku ini tidak mudah, karena penulisnya hadir langsung bersama kita,” ujarnya, disambut tawa hangat para peserta.
KH. Farid tidak menutup-nutupi adanya perbedaan pendekatan. Namun ia justru menekankan bahwa perbedaan itu tidak perlu dipertentangkan.
“Semakin lama saya hidup di Barat, saya merasa semakin tradisional dalam banyak hal,” ungkapnya, seraya menyampaikan bahwa justru dari Barat ia belajar untuk lebih berkontribusi bagi komunitas Muslim, bukan sekadar menyerap ilmu lalu pulang.
Ia menyebut buku ini sebagai karya yang “elitis”—bukan dalam makna eksklusif, tetapi karena kedalamannya membutuhkan pembacaan yang sungguh-sungguh.
“Ini bukan bacaan ringan. Tapi justru karena itu, pemahaman yang lahir dari buku ini sangat penting untuk dijadikan qowa’idul ‘ammah, pedoman umum dalam gerakan dakwah kita,” jelasnya.
KH. Farid juga mengakui bahwa awalnya ia menduga sistematika wahyu yang dibahas di buku ini bersifat utuh dan struktural dari awal sampai akhir mushaf.

“Ternyata saya keliru. Sistematika yang dibahas adalah tartib nuzuli pada lima surah pertama. Tapi justru dari simplifikasi inilah muncul kedalaman dan hikmah yang luar biasa,” katanya.
Salah satu hikmah itu adalah—menurutnya—adab dalam perbedaan. Bahwa umat Islam bisa bergerak dalam barisan masing-masing tanpa saling menghakimi, dan bahwa perbedaan tidak harus berujung pada konflik.
“Saya tidak menemukan aroma pertentangan dari buku ini. Justru saya menangkap ajakan untuk sikap yang lebih fair, terbuka, dan penuh akhlak. Bahkan tidak ada kalimat dari Ketum DPP Hidayatullah ini yang memuat narasi penghakiman atas perbedaan yang ada, ini wisdom saya kira,” ungkapnya.
Buku “Manhaj Nabawi Merujuk Sistematika Wahyu” bukan hanya tentang bagaimana wahyu diturunkan. Ia adalah tentang bagaimana manusia—khususnya umat Islam—dapat meniti jalan dakwah dengan bekal yang benar, cara pandang yang utuh, dan etika dalam perbedaan.
Buku ini mungkin bukan bacaan sehari jadi. Tapi ia pantas dibaca berkali-kali. Karena di balik tiap halaman, tersimpan jejak perjuangan membangun peradaban dengan cahaya wahyu—seperti yang telah dicontohkan Rasulullah SAW, dan kini diwariskan kembali melalui pemikiran para pewarisnya.*/






