Oleh Masykur Suyuthi*
DALAM Silaturrahim yang dirangkai dengan Pengajian Jumat siang (19/7/2019), seorang pemateri berulang menyebut soal pentingnya cara pandang yang benar (Islamic Worldview) dalam hidup manusia.
Ia mengatakan semua boleh berubah. Bahkan nyaris tak tertahankan lagi. Tapi soal manusia, ia tidak boleh berubah.
Sejak awal diciptakan, manusia punya tujuan hidup. Itu tidak berubah hingga Hari Kiamat nanti. Bahwa selain menjalankan fungsi Khalifatullah, dia juga seorang hamba yang mesti taat kepada Tuhannya.
Apapun perubahan yang terjadi, manusia tetaplah harus istiqamah pada tujuan hidupnya dan bagaimana mematuhi agama sebagai panduan hidup. Lebih khusus, mereka siap memperagakan Islam, bukan sekadar membicarakannya saja lalu dianggap selesai.
Selain itu, semua bisa berubah dan berkembang. Mulai dari perubahan sosial, perkembangan fasilitas, kemajuan teknologi hingga pesatnya informasi beredar. Baik di pelosok dunia nyata hingga ke lorong-lorong jagat maya.
Dalam acara yang digelar di Mushalla Sakinah Jamilah, Balikpapan itu, sang pemateri menitip pesan. Bahwa santri, guru, mahasiswa, dosen dan semua yang ada di lingkungan tersebut harusnya tetap punya worldview yang sama (tidak boleh berubah).
Bahwa dulu, sekarang, hingga yang akan datang, areal seluas ratusan hektar tersebut tetap harus menjalankan fungsi utamanya. Yaitu mencetak kader dakwah. Bukan sekadar meluluskan sarjana Islam atau menamatkan santri dari sekolah, begitu saja.
Lebih jauh, pemateri tersebut mengutip penyampaian dari Dr. Nashirul Haq, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah. Ia mengatakan, pembangunan fasilitas fisik yang tidak beriring dengan pembangunan manusia, maka satu saat gedung-gedung itu berpotensi berubah menjadi berhala-berhala zaman modern.
Gedung-gedung mewah itu mungkin dibanggakan, dielu-elukan oleh banyak orang. Tapi sejatinya bangunan itu kosong dari nilai-nilai spritual dan semangat dakwah.
Olehnya, zaman bisa berubah. Tapi tujuan pendidikan, maksud ilmu, motivasi berlembaga tak boleh luntur. Siapapun harus siap menjadi pejuang dakwah. Menjadi kader Islam.
Inilah adab. Adab yang kelak membingkai ilmu dan amal seseorang. Mulai dari cara pandangnya, cara tuturnya, cara pikirnya, hingga cara sikapnya, semua kembali kepada orientasi dakwah dan perjuangan (al-Qur’an)
Tak heran, selalu dikatakan, butuh waktu bertahun-tahun untuk belajar adab. Apa itu adab? Adab ialah motivasi yang benar mengapa ia belajar, tujuan dia kuliah, untuk apa ia bergabung dalam lembaga, dan seterusnya.
Sebaliknya soal ilmu pengetahuan. Hari ini semua bisa instan. Orang bisa saja tiba-tiba pintar masak. Mendadak jago ceramah. Tahu-tahu ia berpenampilan ustadz, politisi, dan sebagainya. Sebab itu mungkin hanya butuh kemasan dan sedikit pencitraan
Lalu, kenapa adab itu penting? Mengapa cara pandang itu perlu selalu dievaluasi? Ingat saja, gara-gara keliru cara pandang, akhirnya Iblis menjadi terlaknat. Sebab ia mengaku lebih mulia dari Adam, ciptaan Tuhan yang berasal dari tanah. Gara-gara kehilangan orientasi, Iblis tidak mau taat untuk bersujud. Padahal itu perintah Allah kepadanya.
Ada yang menarik dalam teks Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, yaitu “Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya”. Rupanya jauh hari, pendiri bangsa ini sudah mengingatkan kemana bangsa ini mesti dibawa.
Tak lain yaitu membangun manusia seutuhnya. Bukan hanya otaknya. Tidak cuma fisiknya. Tak cuma fokus membngun infrastruktur atau sarana prasana. Tapi juga membangun ruh atau jiwanya. Bahkan itu lebih utama.
Dalam kesempatan sama, pemateri juga menyebut soal standarisasi pengkaderan di Perguruan Tinggi Hidayatullah (PTH). Bahwa spesisifikasi ilmu yang dipelajari dan kompetensi akademik boleh berbeda sesuai dengan program studi yang ada.
Tapi pastinya, output yang dihasilkan semuanya adalah sarjana dai. Orang-orang yang siap ditugaskan mengemban amanah dakwah, kemanapun mereka ditembakkan dari Bumi Ummul Quro, Gunung Tembak.
Terakhir, bagaimana mengukur bahwa cara pandang kita belum berubah? Benarkah kita masih istiqamah sesuai dengan pengakuan selama ini? Ataukah justru sudah terjadi zhaigh (pembiasan) dan iwajan (pembengkokan)?
Sederhananya, mari merenungi kalimat-kalimat ini. Tulisan di bawah ini disadur dari ceramah KH. Abdullah Said, pada Pengajian Malam Jumat, 26/8/1982 silam.
“Kita ingin menciptakan lingkungan yang anggota masyarakatnya tidak lagi berkecil hati hanya karena tidak punya rumah bagus. Tidak merasa ketinggalan cuma gara-gara belum memiliki kursi tamu yang bergaya ala Eropa, ranjang model baru, atau kendaraan yang mewah di rumahnya”
“Mereka semua puas dan menikmati kekayaan hati berupa ketenangan jiwa. Tidak lagi harus mempermasalahkan gejolak ekonomi antara pemasukan dan belanja kebutuhan setiap bulan”
“Faktor kerisauan itu berubah. Kini mereka galau kalau shalat berjamaahnya tanggal, beberapa kali ketinggalan rakaat, atau tidak sempat menunaikan shalat sunnah. Ia menyesal justru kalau terlambat bangun. Tidak sempat mendirikan shalat tahajjud”.
“Ia gelisah saat belum sempat mengeluarkan infak dalam sehari dan berbagi kepada tetangga Ini tentu saja adalah cita-cita mulia dan harapan besar yang tidak mudah menjabarkannya”.
*) Penulis adalah pendidik di Kampus Induk Pesantren Hidayatullah Balikpapan