AdvertisementAdvertisement

Munas VI dan Transformasi Dakwah Hidayatullah di Usia Ke-50 Tahun Kedua

Content Partner

HIDAYATULLAH yang dirintis sebagai pesantren pada 5 Februari 1973 (1 Muharram 1393 H) oleh Ustadz Abdullah Said di Balikpapan telah melampaui setengah abad perjalanan dakwah dan pendidikan.

Dari sebuah pesantren kecil, gerakan ini bermetamorfosis menjadi organisasi masyarakat Islam dengan jaringan dakwah, pendidikan, sosial, dan ekonomi di seluruh Indonesia dan mancanegara.

Lima puluh tahun pertama telah meneguhkan fondasi manhaj, kelembagaan, dan kaderisasi; kini Hidayatullah memasuki fase baru, 50 tahun kedua, dengan tantangan zaman yang jauh lebih kompleks: digitalisasi, pluralitas pemikiran, krisis lingkungan, dan kebutuhan umat yang semakin beragam.

Munas VI Hidayatullah yang akan diselenggarakan pada 20–23 Oktober 2025 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, menjadi momentum strategis untuk meneguhkan arah transformasi dakwah di tengah arus perubahan global.

Ketua Umum DPP Hidayatullah, KH Nashirul Haq, menegaskan bahwa Munas ini menjadi momentum konsolidasi gerakan dakwah berorientasi keumatan dan kebangsaan. Artinya, dakwah Hidayatullah harus semakin terhubung dengan realitas sosial bangsa, menjawab persoalan kemiskinan, krisis moral, dan tantangan peradaban digital dengan langkah-langkah yang konkret.

Dari perspektif sosiologi agama, dakwah selalu berhubungan erat dengan perubahan sosial. Ali Amran (2012) menulis bahwa dalam masyarakat yang berubah, dakwah Islamiyah harus mengikuti dinamika sosial, menyesuaikan metode, strategi, dan materinya agar efektif.

Ghozali dan M. Jamil (2019) menambahkan, “Dakwah dapat dipandang sebagai agen perubahan terencana dalam masyarakat.” Sementara itu, Ahmad Shofi Muhyiddin (2019) mengkaji bagaimana KH Abdurrahman Wahid mengubah orientasi dakwah dari ceramah ke tindakan sosial dan dialog budaya, yang mampu menjadi katalis transformasi masyarakat.

Dalam kerangka pemikiran para sosiolog seperti Max Weber, Émile Durkheim, dan Karl Marx, agama berperan penting dalam modernisasi dan legitimasi sistem sosial. Dari sini dapat disimpulkan bahwa dakwah sejati bukan hanya menyampaikan pesan keagamaan, tetapi menjadi kekuatan moral dan sosial yang menata ulang tatanan masyarakat.

Paradigma dakwah Hidayatullah, karenanya, perlu dimaknai secara lebih luas yang tidak hanya dakwah bil qawl (seruan lisan), tetapi juga dakwah bil hal (aksi nyata). Dakwah harus hadir dalam isu kesejahteraan, keadilan, kesehatan, pendidikan, dan kelestarian lingkungan.

Ustadz Abdullah Said pernah berpesan agar para dai menggunakan tutur kata yang santun, komunikatif, dan mendekatkan diri kepada umat. Pesan ini relevan untuk era kini, bahwa dakwah yang efektif adalah dakwah yang berakhlak, menyentuh hati, dan memberi manfaat nyata.

Kerangka Transformasi Dakwah

Menurut penulis, transformasi dakwah ke depan perlu bertumpu pada tiga dimensi: nilai, struktur, dan teknologi.

Pertama, dari sisi nilai, Hidayatullah harus terus meneguhkan manhaj nabawi, metodologi Rasulullah SAW dalam menyampaikan ajaran, membangun karakter, dan memperjuangkan keadilan.

Nilai akhlak, keseimbangan, dan kesederhanaan menjadi fondasi agar transformasi tidak kehilangan ruh spiritualnya.

Kedua, dari sisi struktur, organisasi dakwah perlu memperbarui sistem manajemen agar lebih profesional, transparan, dan partisipatif. Birokrasi yang sentralistik perlu bertransformasi menjadi tata kelola yang responsif terhadap aspirasi daerah.

Ketiga, dari sisi teknologi, dakwah harus menembus ruang digital. Platform e-learning tarbiyah, konten multimedia, dan sistem database kader perlu dikembangkan agar dakwah tak tertinggal oleh percepatan zaman.

Desentralisasi dan kontekstualisasi menjadi kunci. DPP perlu memberi ruang kreatif bagi DPW, DPD, dan DPC untuk merumuskan strategi dakwah sesuai karakter wilayah masing-masing, sembari menjaga kesatuan manhaj agar tidak terjadi fragmentasi nilai.

Sebagaimana ditegaskan dalam berbagai forum internal, kader di lapangan adalah ujung tombak dakwah; mereka harus menjadi teladan akhlak, berpikir kritis, menguasai literasi media, teknologi, dan advokasi sosial. Tanpa integrasi ilmu agama dengan ilmu dunia, dakwah akan kehilangan relevansinya.

Integrasi dan Dakwah Lintas Sektor

Salah satu yang menarik adalah tema lingkungan yang diangkat dalam Munas VI mencerminkan kesadaran ekologis Hidayatullah. Gerakan penghijauan yang dilakukan di Pesantren Gunung Tembak sejak 1980-an bahkan telah mengantarkan Hidayatullah memperoleh penghargaan Kalpataru pada 1984.

Kini, komitmen itu harus diperkuat menjadi dakwah ekologi: edukasi lingkungan, konservasi, dan advokasi kebijakan hijau.

Demikian pula, dakwah perlu merambah bidang kesehatan, pendidikan integral berbasis tauhid, ekonomi syariah, dan pemberdayaan masyarakat. Program koperasi pesantren, UMKM kader, serta integrasi dakwah-ekonomi menjadi instrumen memperkuat basis ekonomi umat.

Dakwah juga tak boleh tercerabut dari akar budaya lokal. Revitalisasi seni Islam, festival budaya pesantren, dan dialog antarbudaya dapat memperkokoh identitas keislaman sekaligus menumbuhkan nasionalisme religius.

Aksi kemanusiaan, tanggap bencana, dan advokasi sosial menjadi perwujudan nyata prinsip “rahmatan lil ‘alamin.” Semua ini menunjukkan bahwa dakwah tidak berhenti pada ceramah, melainkan mewujud dalam tindakan yang membebaskan dan menyejahterakan.

Roadmap Dakwah

Munas VI diharapkan tidak sekadar menghasilkan keputusan administratif, melainkan juga merumuskan roadmap dakwah jangka menengah 5–10 tahun ke depan. Roadmap itu harus memuat prioritas tema, target capaian, indikator kuantitatif dan kualitatif, serta mekanisme evaluasi.

Selain itu, penting membangun jejaring strategis dengan ormas lain, lembaga pemerintah, perguruan tinggi, dan komunitas lokal untuk memperluas jangkauan dakwah. Agar keputusan Munas inklusif, forum pra-Munas sebaiknya melibatkan kader lapangan dan pengurus daerah sebagai sumber ide dan kritik konstruktif.

Transformasi tentu tidak tanpa tantangan. Sebagian kader mungkin merasa nyaman dengan pola lama. Digitalisasi, transparansi, dan desentralisasi dapat menimbulkan gesekan internal. Kesenjangan kapasitas antarwilayah juga masih nyata; karena itu, pelatihan dan fasilitasi perlu diperkuat.

Di sisi lain, sorotan publik terhadap ormas Islam menuntut komunikasi yang moderat, terbuka, dan menjunjung citra Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Tantangan teknologi seperti hoaks, polarisasi media sosial, dan kecerdasan buatan juga menuntut kewaspadaan baru.

Yang paling mendasar, transformasi tidak boleh membuat Hidayatullah kehilangan identitas keislamannya. Jika perubahan terlalu pragmatis, ruh manhaj bisa terkikis.

Maka, setiap inovasi harus berpijak pada tauhid, akhlak, dan keadilan. Dakwah harus tetap menjadi energi moral yang membangun manusia dan masyarakat.

Transformasi dakwah Hidayatullah di usia ke-50 tahun kedua bukan sekadar pelestarian tradisi, tetapi lompatan kualitas menuju “organisasi peradaban.”

Munas VI harus menjadi momentum ideologis, struktural, dan praktis untuk mendefinisikan ulang arah dakwah agar tetap relevan dan efektif.

Dengan langkah strategis, kesiapan ide, dan keberanian berinovasi, saya yakin Hidayatullah dapat terus menjadi kekuatan inspiratif dalam lanskap dakwah Indonesia yang baru. Wallahu a‘lam.

*) Dr. Mashud, penulis adalah dosen Ilmu Dakwah, aktifis Hidayatullah dan Pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI) Orwil Jawa Timur (Jatim)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Indeks Berita Terbaru

Bantuan Mendesak Mengalir ke Langkat, Ratusan Warga Bertahan di Posko Darurat

LANGKAT (Hidayatullah.or.id) -- Air bah yang masih menggenangi Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, sejak Rabu sore (3/12/2025), terus memaksa warga...
- Advertisement -spot_img

Baca Terkait Lainnya

- Advertisement -spot_img