
PROF. Dr. Talip Küçükcan, Duta Besar Turkiye untuk Indonesia, dalam Hidayatullah Global Forum bertajuk “Masa Depan Persahabatan Turkiye-Indonesia Dalam Dinamika Global” yang berlangsung di Pusat Dakwah Hidayatullah Cipinang, Rabu, 22 Dzulhijah 1446 (18/6/ 2025) menekankan pentingnya pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia sebagai kunci utama kemajuan peradaban.
Pesan ini mengandung makna mendalam, khususnya bagi gerakan dakwah seperti Hidayatullah yang menjadikan pembangunan peradaban Islam sebagai visi besarnya.
Sejarah mencatat bahwa membangun peradaban Islam bukanlah utopia belaka. Dalam rentang perjalanan umat manusia, Islam pernah menorehkan tinta emas sebagai peradaban besar yang memadukan spiritualitas, ilmu pengetahuan, keseimbangan lingkungan, dan keadilan sosial.
Hingga kini, jejak kontribusi Islam tetap terpatri dalam membentuk lanskap intelektual dunia.
Namun, di abad ke-21 ini, umat Islam, khususnya Hidayatullah, dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana membangun kembali peradaban Islam yang kontekstual, berakar pada wahyu, dan mampu menjawab persoalan zaman?
Al-Qur’an telah memberikan fondasi visi peradaban yang kokoh. Allah SWT berfirman:
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Ali ‘Imran: 110).
Ayat ini bukan sekadar seruan moral, melainkan panggilan untuk membangun masyarakat beradab yang menegakkan keadilan, ilmu, dan kebajikan universal.
Ketika ayat ini gagal terinternalisasi dalam diri kader, dampaknya adalah melemahnya semangat rekrutmen anggota, padahal hal ini merupakan kewajiban asasi setiap kader dakwah.
Rasulullah SAW adalah arsitek peradaban Madinah—sebuah masyarakat multikultural yang dibangun di atas nilai akhlak, hukum, dan kesetaraan.
Pegiat Hidayatullah hendaknya memahami realitas historis ini: bahwa peradaban Islam tegak di atas masyarakat majemuk, rahmatan lil ‘alamin. Maka, kesadaran multikultural bukan sekadar retorika, melainkan niscaya bagi umat Islam untuk relevan di panggung dunia modern.
Perlu diingat bahwa peradaban tidak lahir dari mimpi atau nostalgia masa silam. Ia dibangun melalui transformasi pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), serta penguatan identitas budaya.
Pendidikan menjadi kunci utama. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskan, “Tidak ada perbaikan di dunia tanpa perbaikan ilmu.”Artinya, kebangkitan Islam harus dimulai dari reformasi pendidikan yang memadukan ilmu naqli (wahyu) dan aqli (rasionalitas).
Karena itulah, kebutuhan akan sekolah kader dalam gerakan Hidayatullah menjadi mutlak. Sekolah ini bukan untuk meniadakan peran sekolah umum, tetapi melengkapinya, menghasilkan kader dakwah yang utuh—beriman, berpikir kritis, berjiwa pengabdi, dan merdeka secara intelektual. Sebab tugas kader bukan hanya mengisi pasar tenaga kerja, melainkan membentuk peradaban.
Peran IPTEK dalam peradaban Islam pun tak bisa dinafikan. Para ilmuwan Muslim terdahulu memandang ilmu sebagai manifestasi tauhid.
Tidak ada dikotomi antara “ilmu agama” dan “ilmu dunia”. Ibnu Sina, misalnya, mengajarkan bahwa agama dan pengetahuan saling melengkapi dalam mencari kebenaran dan memahami hakikat alam semesta. Inilah warisan intelektual Islam yang harus dibangkitkan kembali.
Namun, tantangan kontemporer menanti di depan mata: krisis lingkungan, intoleransi, degradasi moralitas, ketimpangan ekonomi global. Semuanya menuntut jawaban peradaban.
Islam, sebagai rahmat bagi semesta alam, menawarkan etika multikultural yang menyeimbangkan hak individu, masyarakat, dan alam.
Hadis Nabi SAW berbunyi: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR. Ahmad).
Inilah fondasi moral peradaban Islam: kemajuan bukan hanya soal digitalisasi atau teknologi, tetapi juga soal kesalehan sosial dan ketahanan lingkungan.
Pemikir besar seperti Muhammad Iqbal pernah berkata, “Bangsa-bangsa hidup dan mati karena ide-ide mereka.”
Maka, pembangunan peradaban Islam hari ini menuntut penanaman ide-ide besar tentang keadilan, kebebasan, dan perdamaian—ide yang berpijak pada wahyu Ilahi dan bergerak menjawab kebutuhan zaman.
Pembangunan peradaban Islam bukan tugas elit politik atau intelektual semata. Ini adalah amanah kolektif umat, dari keluarga, sekolah, masjid, hingga komunitas sosial.
Umat Islam tidak memerlukan imitasi terhadap Barat, tetapi juga tidak cukup hanya dengan romantisme kejayaan masa lalu. Yang dibutuhkan adalah pembaruan visi dan aksi nyata: dalam ruang kelas, kebijakan publik, pengelolaan lingkungan, hingga ekspresi seni dan budaya.
Di tengah dunia yang dilanda kebisingan informasi dan krisis makna, peradaban Islam hadir untuk menyinari seperti cahaya mentari; hangat, menyejukkan, dan penuh harapan.
Cahaya ini menuntut kesadaran kolektif, sebagaimana ditegaskan Prof. Talip Küçükcan, bahwa pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia adalah kunci keberhasilan pembangunan peradaban Islam.
Bagi Hidayatullah, tugas ini bermakna mengajak, melibatkan, dan mengonsolidasikan seluruh elemen umat dalam proyek peradaban ini—menjadikannya amanah kolektif umat Islam, sebagaimana warisan Rasulullah dan generasi emas Islam terdahulu.[]
*) Nursyamsa Hadis, penulis Ketua Bidang Dakwah dan Pelayanan Ummat Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah