
HUJAN tak berhenti turun sejak Selasa pagi, 25 November 2025. Langit tak memberi jeda sedikit pun, dan tetesan yang semula terdengar biasa berubah menjadi ancaman ketika air mulai meninggi, melewati batas yang semestinya.
Dari Sipange, kabar demi kabar mengalir melalui pesan keluarga. Awal yang masih bisa diikuti: hujan tak berhenti, air naik cepat, arus deras menghantam tanah coklat desa itu dengan kasar.
Dari arah atas, tanah-tanah menjulang mulai meluruh, jatuh tanpa ampun, menyapa kandang ternak dan asrama santri Pesantren Darussa’adah Sipange Purba, Tukka, Tapanuli Tengah (Tapteng).
Lalu, satu per satu, hal penting ikut tumbang. Listrik padam, internet goyah, dan akhirnya jaringan benar-benar lumpuh. Hening. Tidak ada kabar lanjutan.
Huft. Rasanya kacau balau. Pesan yang selalu ditunggu tiba-tiba berhenti. Umi Elly berada sendiri di rumah. Komunikasi terputus total. Sementara abah, yang sedang dalam perjalanan pulang dari Dumai, terjebak di jalur lintas yang juga tertutup tanah longsor. Situasi itu… sulit dibayangkan. Menyesakkan.
Namun justru dari mereka yang berada dalam keadaan paling genting, ketabahan itu muncul. Di tengah kondisi mencekam, mereka yang di Sipange tetap menyampaikan pesan menenangkan: “Semua akan baik-baik saja.”
Pesan singkat itu terasa seperti pegangan di tengah gelap, menghadirkan secercah ketenangan di saat informasi lain benar-benar berhenti.
Keputusan berat akhirnya diambil. Karena jalan dan jembatan rusak parah, perjalanan pulang harus ditempuh dengan kombinasi naik motor dan berjalan kaki.
Biasanya, perjalanan pulang memakan waktu tiga jam dengan motor. Kali ini, jalur yang mereka tempuh bukan lagi sekadar perjalanan pulang tetapi misi penyelamatan keluarga dan santri di Sipange, melewati rute yang berubah drastis akibat longsor.
Di setiap langkah, ada hikmah yang terhampar. Longsor yang menghancurkan bukan hanya menjadi kabar duka, tetapi tadabbur alam yang memaksa manusia menundukkan kepala: betapa rapuhnya kita di hadapan kuasa hujan dan bumi yang digerakkan oleh-Nya.
Hari berganti. Pesan-pesan WhatsApp yang terus dikirim sejak 25 November hanya bercentang satu, diam seperti menghilang.
Hingga akhirnya, pada 1 Desember 2025, tanda biru itu muncul. Kabar yang ditunggu-tunggu pecah menembus layar: mereka selamat. Lega tak terbendung.
Tim abah yang nekat berjalan kaki dari Padangsidempuan menuju Sibolga pun akhirnya tiba dengan selamat di Pondok Pesantren Agrowisata Sipange.
Warga dan para santri dinyatakan aman. Namun pemandangan di sana memukul hati: asrama dan kandang ternak porak poranda, luluh lantak disapa tanah longsor.
Di balik kerusakan yang tersisa, terselip rasa syukur—nyawa masih Allah selamatkan. Bumi bisa diperbaiki, bangunan bisa dibangun kembali. Tapi jiwa-jiwa yang selamat, itulah anugerah terbesar.
Bencana membawa duka, tetapi juga membuka ruang bagi kebersamaan, keberanian, dan keikhlasan untuk saling menguatkan. Sipange mungkin runtuh sebagian, namun semangat mereka tidak.

(Kiriman dari Ustadzah Siti Iffah, guru di Pondok Pesantren Hidayatullah Bontang Kaltim yang rumah orangtuanya terdampak banjir longsor di Sipange, Tapanuli Tengah)






