Hidayatullah.or.id — Kepala sekolah adalah pilar perjuangan yang bersentuhan langsung dengan mainstream gerakan tarbiyah dan dakwah. Sementara Hidayatullah adalah ormas berbasis kader, sehingga pendidikan Hidayatullah harus berbasis pelayanan, bukan berorientasi profit atau materi semata.
“Tidak masalah mahal, setengah mahal atau tidak membayar, karena pendidikan memerlukan biaya. Tetapi yang terpenting tetap orientasi kader dan pelayanan umat,” kata Pimpinan Umum Hidayatullah, Ustadz Abdurrahman Muhammad dalam arahanya di hadapan puluhan kepala sekolah di Kota Depok, Jawa Barat, belum lama ini.
Beliau menekankan, perlu terus dilakukan penguatan terhadap standar sistem sosial dan kultur pendidikan di Hidayatullah. Sistem sosial berdasarkan nilai nilai filosofis dan paradigmatik pendidikan berbasis Tauhid.
Beliau juga menyampaikan bahwa masih ada sebgian jamaah yang belum memahami maksud perubahan Hidayatullah dari organisasi sosial menjadi organisasi massa. Sehingga kemudian memunculkan kesalahpahaman dengan kebebasan karena dianggap terbuka tanpa taat kepemimpinan.
Sehingga, lanjut beliau, kepemimpinan hidayatullah mengambil kebijakan strategis yaitu perumusan konsep untuk alih konsepsi dan kultur Hidayatullah.
Dengan adanya alih konsepsi dan kultur yang dipadukan dengan keilmuan diharapkan ada kesempurnaan, semangat untuk melihat Hidayatullah ke depan.
“Kita tidak perlu terjebak dengan perangkap masalah sosial dan politik. Kita tetap harus fokus atau memperhatikan lebih terhadap pengembangan SDM yaitu lembaga lembaga pendidikan Hidayatullah yang sudah berdiri di seluruh nusantara,” ujarnya.
Training kepemiminan untuk kepala sekolah ini hanya pemicu untuk kepala sekolah bisa lebih baik, sehingga harus bisa mengembangkan diri lagi. Training ini juga sarana untuk wasilah pengalaman, keunikan, kelebihan masing masing pelaku pendidik, dan pengkader.
Beliau mengatakan, Hidayatullah sebagai lembaga perjuangan harus dipahami keunikan, perbedaannya dengan lembaga perjuangan yang ada. Salah satu keunikan Hidayatullah adalah adanya manhaj SNW dan kultur kepemimpinan.
“Organisasi tidak ada tanpa kepemimpinan atau leadership yang baik. Organisasi tidak ada tanpa manajerial yang baik. Organisasi tidak ada tanpa role atau aturan yg disepakati seperti pedoman dasar atau anggaran dasar.
Sehingga transformasi kultur banyak lewat halaqah, semua jamaah dan terutama guru wajib mengikuti halaqah,” ingatnya.
Karena itu beliau mendorong kepada para kader Hidayatullah khususnya kepala sekolah untuk berhalaqah, sebab ini adalah sarana untuk implementasi kultur sehingga akan lahir komunitas komunitas yang akhirnya menjadi penopang terbangunnya peradaban Islam.
Halaqah ini bisa dilalakukan dari rumah ke rumah, masjid masjid dan masyarakat. Mengingat begitu pentingnya halaqah yang merupakan manajemen kenabian dan kultur nubuwwah, maka halaqah diharapkan dari halaqah ini mentransformasikan kultur dan memimpin anggotanya.
“Sehingga halaqah berperan sebagai struktur kepemimpinan atau komando jamaah Hidayatullah,” pesannya.
Beliau menuturkan dalam diri orang beriman melekat fungsi kepemimpinan. Artinya, tidak ada keimanan jika tidak ada dalam dirinya karakter memimpin diri, keluarga, dan orang orang terdekat untuk mendekat bertauhid atau beriman kepada Allah.
“Karena iman itu sifatnya ekspansif. Harus ada ambisi berbuat baik. Agar bisa menarik orang juga berbuat baik atau peduli dengan orang lain untuk berbuat baik. Keinginan untuk terdepan dalam kebaikan adalah fitrah yang dibangun di atas wahyu. Itulah idealisme,” cetusnya.
Jadi, terang beliau, idealisme adalah implementasi semangat berwahyu untuk membangun masyarakat. Beliau menegaskan Islam berbeda dengan ideologi materialisme, sosialisme dan komunisme. Ideologi mereka terbangun di atas kepentingan materi. Karena itu, pesannya, guru dan murid harus dibentuk sesuai dengan persepsi, paradigma, dan idealisme yang benar.
“Jika mencari materi pribadi maka terjebak kapitalisme. Jika mencari keuntungan materi secara institusi, maka sosialisme. Jika memaksakan membuat lembaga pendidikan pribadi maka materialisme.
Hidayatullah berbeda dengan yang lain. Jika pendidikan Hidayatullah sama dengan yang lain maka lebih baik bergabung lembaga lain atau tidak perlu lahir Hidayatullah,” pungkasnya. /*Paryadi Abdul Ghofar